Secara umum perkembangan pemikiran estetika terbagi dalam lima periode yang terdiri dari : (1)periode klasik, (2)periode kritik, (3)periode positivisme atau ilmiah, (4)periode modernisme, (5)periode postmodernisme.
Tugas anda adalah mengirimkan salah satu gagasan para tokoh filsafat estetika dari kelima periode perkembangan pemikiran estetika.
1. Periode klasik,
Para pemikir periode ini adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles.
1. Periode klasik,
Para pemikir periode ini adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Gagasan yang dapat anda kembangkan di antaranya: apriori, mimesis, khatarsis, alur dramatik Aristoteles.
2. Periode Kritik,
Para pemikir periode ini adalah Baumgarten, Imanuel Kant, Friedrick Heger, Arthur Schopenhuer.
2. Periode Kritik,
Para pemikir periode ini adalah Baumgarten, Imanuel Kant, Friedrick Heger, Arthur Schopenhuer.
Gagasan yang dapat anda kembangkan di antaranya: Relativisme, Subjektivisme,
3. Periode Positivisme,
Para pemikir periode ini adalah Gustav Theodor Fechner, Friedrich Nietzsche, Leo Tolstoy, dan George Santayana.
3. Periode Positivisme,
Para pemikir periode ini adalah Gustav Theodor Fechner, Friedrich Nietzsche, Leo Tolstoy, dan George Santayana.
Gagasan yang dapat anda kembangkan: Estetika eksperimental, Estetika Induktif, Apollonian dan Dionysian,
4. Periode Modernisme,
Para pemikir periode ini adalah Beneditto Crose, Susanne K Langer, dan Robin Collingwood.
4. Periode Modernisme,
Para pemikir periode ini adalah Beneditto Crose, Susanne K Langer, dan Robin Collingwood.
Gagasan yang dapat anda kembangkan di antaranya: oposisi binner,
5. Periode Postmodernisme,
5. Periode Postmodernisme,
Para pemikir periode ini adalah Charles Sanders Pierce, Roman Jacobson, Jan Mukarovsky, Hans Robert Jauss,
Lotman, Roland Barthes, Umberto Eco, Michel Foucault, Julia Cristiva, Jacques Derrida.
Gagasan yang dapat anda kembangkan di antaranya: Teori ekspresi dan Intuisi, animal symbolicum, semiotika,
petanda & penanda, ikon-indeks-simbol, meaning & significance, litterariness, horizon harapan, dekonstruksi.
Nama :Oktri yuliyati
BalasHapusNIM :2102407154
Rombel:6
Komentar sejarah perkembangan estetika pada periode klasik mengenai Mimesis.
*PLATO*
Menurut plato: seni hanya nenyajikan suatu ilusi(khayalan) tentang kenyataan dan tetap jauh dari kebenaran.
Dalam kenyataan setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide asli,kenyataan yang dapat diamati dengan panca indera selalu kalah dengan dunia ide.
Menurut plato: seorang tukang lebih dekat pada kebenaran dari pada seorang pelukis atau penyair.Seorang tukang menjiplak kenyataan yang dapat disentuh dengan panca indera,sedangkan seorang pelukis atau penyair menjiplak suatu jiplakan,membuat copy dari sebuah copy,jiplakan tersebut tidak bermutu,satu-satunya yang dapat mereka capai ialah gambar-gambar yabg kosong yang mengambang.
*ARISTOTELES*
Menurut Aristoteles: seni melukiskan kenyataan,penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas dari yang satu dengan yang lainnya.Dalam setiap objek yang diamati didalam kenyataan terkandung idenya dan tidak dapat dilepaskan dari objeknya.
Bagi Aristoteles, mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan,melainkan merupakan sabuah proses kreatif penyair,sambil bertitik pangkal pada kenyataan,menciptakan sesuatu yang baru.Dengan bermimesis,penyair menciptakan kembali kenyataan.
Aristoteles menilai sastra lebih tinggi dari pada penulisan sejarah. Dalam sejarah ditampilkan sebuah peristiwa yang hanya satu kali terjadi,sebuah fakta,tetapi dalam sastra lewat sebuah peristiwa konkret dibeberkan suatu pemandangan yang umum dan luas.
Berbagai teori mimesis itu mempunyai satu unsur yang sama,perhatian diarahkan kepada hubungan antara gambar dan apa yang diganbarkan,tolok ukur estetik pertama ialah sejauh mana gambar itu sesuai dengan kenyataan. Apakah kenyataan itu merupakan dunia ide, dunia universal atau dunia yang khas,itu tidak begitu penting.
Rizka Fadhila
BalasHapus2102407049
Rombel 03
Wacana Estetika Pramodern
Pada hakikatnya estetika terlahir pada zaman kebudayaan Yunani. Penyadaran akan keindahan ini bermula melalui dialog antara Socrates dan Hippias tentang berbagai keindahan.Pada akhir dialog tersebut, Socrates berpendapat bahwa keindahan merupakan hal yang relatif. Keindahan yang mutlak didapat dari ciptaan Tuhan YME. Socrates juga berpendapat bahwa keindahan terbangun karena dirinya sendiri sehingga ia menyebutnya sebagai indah yang sesungguhnya.
Plato, seorang murid Socrates, memandang keindahan sebuah objek disadari manusia melalui keindahan "awal" atau keindahan yang mula-mula. Keindahan awal ini membangun asumsi objek tersebut memang indah. Asumsi inipun dapat dibangun karena adanya "cinta" yaitu membangun adanya keindahan yang ideal. Penyingkapan keindahan yang ideal ini membutuhkan kesucian hati dan jiwa serta berupaya mengosongkan pikiran dan membersihkan dosa. Upaya ini dilakukan untuk memperoleh keindahan yang sejati.
Jika Plato berpendapat bahwa keindahan didapat dari pikiran yang bersih menuju hakikat keindahan yang ideal, maka Aristoteles berpendapat bahwa keindahan objek dicapai melalui keserasian bentuk yang setinggi-tingginya. Menurut Aristoteles,karya seni dinilai lebih indah dibandingkan dengan alam, meskipun dapat pula alam lebih tinggi daripada karya seni. Mimesis atau peniruan alam dipandang Aristoteles sebagai tragedi. Menurutnya, ciri seni bukanlah semata meniru akan tetapi lebih kepada membedah alam dan mengupas esensinya. Oleh sebab itu, menurut Aristoteles bahwa karya seni dibuat untuk memperbaiki sesuatu yang buruk. Tidak hanya sebagai "imitasi" alam belaka.Keindahan pada karya seni itu dapat diperoleh melalui simbol-simbol keindahan yang dijumpai pada berbagai benda dan karya sastra yang indah maupun bangunan yang mempesona.
(Sachari, Agus.2002.Estetika Makna, Simbol dan Daya.Bandung:Penerbit ITB)
nama : ihda faradisa
BalasHapusnim : 2102407063
rombel: 3
Immanuel Kant dalam The Critique of Judgement (1790) yang dikutip oleh Porphyrios (1991) menyatakan bahwa suatu ide estetik adalah representasi dari imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu. Kant menyatakan adanya dua jenis keindahan yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. Keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam dirinya sendiri, sementara keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan manusia yang dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu.
Rina Masriyani
BalasHapus2102407037
Rombel 2
Wujud kebudayaan
Menurut J.J Honigmann dalam bukunya The world of Man (1959:halaman 11-12) membedakan adanya tiga wujud kebudayaan yaitu: ideas, activities, artifacts.
Koentjaraningrat berpendirian bahwa kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yaitu:
1.Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya
2.Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat
3.Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
Melihat hal-hal di atas, Posmodern menjadi bagian dari kebudayaan akibat dari pemikiran/ide beberapa ilmuwan/antropolog/sosiolog yang kemudian terwujud dalam pola tindakan sebagai pemberontakan dari modernisme yang kemudian diterima oleh masyarakat sekarang ini. Kesudahannya terlihat dari benda-benda yang dihasilkan manusia, baik yang berwujud nyata (desain, karya seni, bangunan, dsb) maupun yang tidak berwujud nyata (seperti internet, program komputer, dsb).
Definisi Posmodernisme
Sebelum menjabarkan definisi tentang posmodernisme, sebelumnya perlu diketahui tentnga definisi modernisme terlebih dahulu.
David Michel Levin, dalam bukunya The opening of Vision: Nihilsm and the Postmodern Situation, bahwa apa yang disebut dengan periode modern,” ...dapat dijelaskan berdasarkan kenyataaan bahwa manusia menjadi pusat dan ukuran dari semua ‘ada’ (beings)” (Levin 1988:3).
Bagi Hebernas, apa yang disebut oleh Hegel sebagi ‘zaman baru’, pada hakekatnya dapat dijabarkan melalui konsep-konsep yang bersifat dinamis, seperti revolusi, kemajuan, pertumbuhan, perkembangan, krisis, dan zeitgeist (Habermas 1990:60)
Menurut Heidegger, mengontrol citra-citraan sebagai suatu proses merupakan satu proses ideologis untuk mengontrol sesuatu yang bersifat transparan—menjaga pengertian, bahwa apa yang dilihat melalui citraan adalah nyata, walau sebenarnya semu. Inilah yang kemudian disebut dengan hyperrealis.
Selamat datang di dunia Hyperealis yang merupakan bagian dari posmodern (kelanjutan dari modern).
Bentuk-bentuk Posmodernisme
Idiom estetik yang merupakan bagian dari posmodernisme adalah:
1.Pastiche
Pastiche adalah imitasi murni, tanpa pretensi apa-apa. Teks prastiche mengimitasi teks-teks masa lalu, dalam rangka mengangkat dan mengapresiasikannya.. 2.Parodi
Parodi adalah:
1)Satu bentuk dialog (menurut pengertian Bakhtin), yaitu satu teks bertemu dan berdialog dengan teks lainnya
2)tujuan dari parodi adalah untuk mengekspresikan perasaan puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk.
3.Kitsch
Kitsch adalah sampah artistik/ selera rendahan/ seni rendahan.
Contoh: patung miniatur beethoven dari bahan plastik, patung ikonik botol Coca cola, produk-produk yang dilapisi imitasi: emas, perak, dsb.
4.Camp
Satu model estetisme, yaitu satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena estetik, dalam pengertian ‘keartifisialan’.
Contoh: penggunaan elemen-elemen art noveau dan art deco dalam bangunan-bangunan sekarang.
5.Skizofrenia
“...putusnya rantai pertanda yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna”
nama : Sigit adhi Wibowo
BalasHapusnim : 2102407046
rombel: 2
Estetika telah lahir ketika Sokrates dapat menjawab pertanyaan Hippias dengan perkataan kecantikan adalah bukan sifat tertentu dari 100 atau 1000 barang, karena sudah barang tentu manusia, kuda, pakaian, dara, dan gitar semuanya adalah barang-barang cantik. Akan tetapi di belakang itu semua terdapat kecantikan itu sendiri, ( the beauty itself) (Anwar, 1980:10). Plato sebagai murid Sokrates juga berusaha mengatur kembali pikiran gurunya dan berhasil melampauinya. Plato juga mengadakan dialog-dialog antara lain dengan Phaedo. Menurut Plato asal usul keindahan ialah karena adanya “Keindahan yang Pertama”, dengan hadirnya Keindahan Pertama ini maka barang yang indah menjadi indah (Anwar, 1980:10)
Ciri khas seni adalah mengupas alam dari hakikat yang sebenarnya, menurunkan manusia atau meninggikannya, ia merupakan imitasi, tetapi imitasi yang membawa kepada kebaikan. Baik Plato maupun Aristoteles sependapat bahwa karakter-karakter seni harus tampak lebih baik dari kenyataanya sehingga keindahannya yang luar biasa menjadi seolah-olah tidak nyata.
Perbedaan pemikiran dua filsuf ini adalah:
• Plato memandang bahwa idea keindahan mutlak sebagai prinsip transenden di atas subjek dan di atas alam: sebagai teladan asli yang abadi, idea murni yang berada di luar akal.
• Aristoteles memandang hanya sebagai teladan batin yang terdapat di dalam akal manusia, tidak mempunyai objek yang dapat kita temukan di luar diri kita. Seni adalah tidak lain kecuali kemampuan produktif yang dipimpin oleh akal yang sebenarnya (Anwar,1980:15).
Nur Fitri
BalasHapus2102407171
R.06
Pemikiran estetika menurut Plato
Teori Keindahan menurut Plato terdapat pada buku Symposium yang tema pokoknya adalah cinta. Buku tersebut memaparkan menganai dialog cinta dan keindahan.
Inti dari teori keindahan Plato adalah wujud atau forma dari keindahan. Artinya jika sesuatu benda semakin berpartisipasi pada bentuk abstrak ( ide ) maka benda tersebut memuat dan menunjukan keindahannya dan merupakan indah mutlak.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut Plato membedakan benda yang indah dan keindahan itu sendiri. Perbedaan tersebut yaitu:
1. Hal-hal atau benda-benda yang indah adalah kelompok benda yang berada dalam ruang lingkup ruang objek indra-indra kita, yakni benda-benda yang dapat kita lihat,kita nikmati dan kita dengar.
2. Sedangkan "keindahan" tidak melekat pada ruang objek indra, tapi berada pada dunia non temporal, nonspasial,. Keindahan itu berisi sari-sari pokok abadi dari pengetahuan, sehingga keindahan itu berdiri sendiri.
Bagi Plato keindahan itu diatas dunia indra dan pengalaman. Artinya pengalaman tentang keindahan itu tidak sama dengan pengalaman terhadap benda-benda indah. Sehingga pengalaman indah itu khusus, tidak bisa tuntas dideskripsikan seperti halnya ketika orang berbicara tentang pengalaman estetika/ pengalaman indah.
Plato juga memaparkan persamaan antara keindahan dengan benda indah, dikatakan bahwa "keindahan" berpartisipasi kepada sesuatu yang berciri iondah dan di dalam "keindahan" terdapat kesatuan dari hal-hal yang indah.
konsep pemikiran estetika dari Leo Tolstoy :
BalasHapusBerbicara tentang seni, banyak definisi yang dapat diberi. Namun begitu banyak takrif seni lebih menekan dan menjurus mengenai keinginan manusia untuk menghasilkan sesuatu aktivitas.
Menurut Herbert Read, seni adalah usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan.
Leo Tolstoy dalam bukunya ‘What is Art?’ (1896) pula menyatakan seni adalah hasil pengalaman dan perasaan yang tercerna melalui garis, warna, gerak, bunyi, kata-kata, bahasa dan rupa bentuk yang dikongsi bersama orang lain.
Konsep seni terus berkembang sejalan dengan berkembangnya kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang dinamis. Aristoteles mengemukakan bahwa, seni adalah kemampuan membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu, demikian juga dikemukakan oleh sastrawan Rusia terkemuka Leo Tolstoy mengatakan bahwa, seni merupakan kegiatan sadar manusia dengan perantaraan (medium) tertentu untuk menyampaikan perasaan kepada orang lain.
Ita Mayasaroh
2102407172
rombel 6
Perkembangan Estetika pada periode Kritik Menurut BAUMGARTEN
BalasHapusIstilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan. Baumgarten menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik. Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), penemu ilmu estetika Jerman
di pertengahan abad 18 mengatakan: "Estetika dibagi tiga: 1. Estetika sastra
- teori sastra, 2.Estetika Alam dan 3. Estetika Sosiologi. Baumgarten berpendapat bahwa seni dan keindahan tidak terpisahkan.Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari keindahan, Tapi orang
sekarang sering salah mengkaitkan dengan estetika jaman Antik dan Abad
Pertengahan atau Renaissance. Estetika terus berubah sesuai jamannya.
Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.
Inisiatif Baumgarten tidak dengan segera memunculkan teori yang meyakinkan. Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant ( 1724 - 1804 ), yang membuat estetika menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya "Kritik der Urteilskraft"(1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah".
Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai estetika terhadap karya Seni. Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber, yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan.
NOVITA LAELLY
2102407174
ROMBEL 6
PANDANGAN PLATO MENGENAI ESTETIKA
BalasHapusAjaran Plato mengatakan bahwa seni adalah pencarian dan penemuan secara spontan, wajar dan penuh kejujuran. Seni berkaitan dengan penemuan keselarasan (harmoni) yang sebenarnya ada pada diri semua orang.Namun juga mencakup seni dan pengalaman estetis, karena baik seni dan keindahan dipandang sebagai gejala (fenomena) yang kongkrit dan dapat ditelaah secara empirit dan sistimatik ilmiah.
Konsep bahwa seni selalu indah, bahwa seni adalah idealisasi dari alam oleh manusia (ars homo additus nature) seperti yang dianut kebudayaan Yunani kuno sebenarnya adalah salah satu dari yang ada. Ia berbeda dengan ideal seni Cina dan seni India yang cendrung kepada bentuk yang metafisik, abstrak, religius dan lebih bertumpu pada intuisi daripada rasio. Pada dasarnya seni bukanlah sekedar ekspresi dari setiap ideal yang spesifik dalam bentuk yang plastis. Seni adalah ekspresi dari semua ideal yang dapat diungkapkan oleh seniman kedalam tata bentuk plastis yang berkualitas estetis, baik yang serba menyenangkan maupun menakutkan, mengharukan bahkan memuakkan. Nampak bahwa seni tidak selalu mesti indah dan menyenangkan, keindahan harus diartikan sebagai kualitas abstrak yang merupakan landasan elementer bagi kegiatan artistik. Eksponen penting dalam kegiatan ini adalah manusia sedangkan kegiatannya diarahkan untuk menghayati serta menjiwai tata kehidupan (diantaranya termasuk kehidupan estetis).
Dalam peristiwa kegiatan terjadi tiga tahapan,
1.Proses pengamatan perseptual (indrawi) terhadap kualitas materi dari unsur-unsur gerak, warna suara,bentuk dan reaksi-reaksi fisiologis lain yang kompleks.
2.Tata susunan dari kualitas materi tersebut yang tejalin secara organik dalam tatanan bentuk dan pola yang harmonis. Melalui kedua tahapan penghayatan tersebut muncullah kesadaran estetis.
3.Apabila tata susunan yang harmonis tersebut dengan sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dengan perasaan (emosi). Maka dapat dikatakan, bahwa emosi atau perasaan itu akan memberikan ekspresi sebagai unsur komunikasi . dalam hal inilah dikatakan bahwa seni adalah ekspresi dan bahwa tujuan sebenarnya dari seni adalah untuk mengkomunikasikan perasaan melalui tatanan bentuk plastis yang harmonis. Sedangkan arti dari keindahan, sebenarnya lebih mengacu pada perasaan yang dikomunikasikan lewat tata bentuk itu. Keindahan adalah unsur emosional sesuatu perasaan terpesona yang menyenangkan pada diri kita, yang ditimbulkan dari unsur-unsur karya keindahan merupakan kesadaran yang bersifat apresiatif, suatu sensasi yang membangkitkan kekaguman dan penghargaan.
Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah lebih unggul.
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada
yunita tri lestari
2102407170
rombel 06
Dea Fristyana Lita
BalasHapus2102407031
rombel 2
Perkembangan pemikiran estetika
Periode Kritik
A.Relativisme
• Relativisme adalah suatu aliran atau paham yang mengajarkan bahwa kebenaran itu ada, akan tetapi kebenaran itu tidak mempunyai sifat mutlak.
• Istilah relativisme diangkat dari kata relatif, berasal dari kata latin reffere: membawa, mengacu, menghubungkan . dari situ timbullah kata relatio yang artinya relasi: hubungan, ikatan. Relativisme: adanya ikatan, adanya keterbatasa, nisbi.
B.SubjektiVisme
• Subjectivism: the restriction of knowledge to the knowing subject and its sensory. Affective and volitional states and to such external realities as may be inferred from the mind’s subjection states. (Subjectivism: aliran yang membatasi pengetahuan pada hal-hal (objek) yang dapat diketahui dan dirasa. Kecendrungan dan kedudukan kemauan pada realitas eksternal sebagai sesuatu yang bisa ditinjau dari pemikiran yang subjektif).
Sejarah Filsafat Barat :
Sejarah filsafat barat bisa dibagi menurut pembagian berikut : filsafat klasik, abad pertengahan, modern, dan kontemporer.
Filsafat Modern (Zaman Modern 1500M-1800M)
- Aliran Rasionalisme
- Aliran Empirisme
- Aliran Kritisisme
Pelopor aliaran ini adalah Immanuel Kant. Kant berpendapat bahwa pengetahuan tentang dunia berasal dari indera tetapi dalam akal ada factor-faktor yang menentukan bagaimana cara memandang dunia sekitar. Dia setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”). Namun dunia itu hanya seperti tampak “bagiku” atu “bagi semua orang”.
Dia memulai suatu “filsafat kritis”, yang tidak mau melewati batas-batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Menurut Kant metafisika menjadi suatu ilmu, yaitu “ilmu tentang batas-batas pemikiran manusiawi
Pemikiran filsafat pada masa sebelum Kant merupakan perubahan haluan filsafat umum dari objektivisme ke arah subjektivisme relatif oleh Descartes.
bahwa empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni
Baumgarten (1714-1762). Ia telah memperkenalkan kepada dunia nama “Aesthetika” (dipakai sebagai judul bukunya yang terbit tahun 1750) untuk bidang penyelidikan khusus yang menyengkut teori tentang keindahan. Term ini akhirnya dapat diterima sebagai nama dari setiap filsafat yang membahas tentang keindahan secara keseluruhan. Baumgarten mendapat julukan “Bapak Ilmu Estetika” karena jasanya ini (Anwar, 1980:18).
Kant memiliki banyak pengikut dan hampir semua sepakat bahwa buku kritik ketiganya merupakan karya terbaik dari ketiga karya kritiknya. Pengikut-pengikut Kant yang menonjol adalah Schiller, Schelling, Hegel, dan Arthur Schopenhuer.
Friedrick Heger
Konsep filsafat hukum juga berkaitan dengan person.
menurutnya, dalam uraian awalnya pada konsep roh subjektif menerangkan momen terakhir dari roh subjektif adalah kehendak bebas
agar berada dalam kebebasan objetifnya, kehendak mesti mengambil bentuk sukesifnya.
Dia memberikan makna tersendiri bagi moralitas, yang dengan itu berarti mengisi kekurangan yang ada pada Aristoteles; soal transendensi, dan kekurangan yang ada pada Kant, soal realitas norma yang ada dalam masyarakat.
Anik Tantining(2102407173)/rombel 6
BalasHapusSejarah Perkembangan Esetetika Periode Klasik.
Teori Plato mengenai mimesis.
Plato, seorang filsuf Yunani, hidup tahun 428-348 S.M. Keindahan menurut pandangan Plato dibagi menjadi dua:
Pandangan pertama mengingatkan kita akan seluruh filsafatnya tentanng dunia idea. Ia mengemukakan pandangannya dalam wawancara Symposion sebagai pendirian Socrates.
Pandangan kedua ada dalam Philebus. Di sana dinyatakan bahwa yang indah dan segala sumber keindahan adalah yanng paling sederhana, dan warna yang sederhana. Yang dimaksud sederhana adalah bentuk dan ukuran yang dapat dibatasi lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebbih sederhana lagi. Pandangan ini memiliki keistimewaan karena tidak melepaskan diri dari pengalaman inderawi yang merupakan unsur konstituitif dari pengalaman estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari.
Menurut Plato, dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat melewatinya lewat mimesis, peneladanan, pembayangan, atau peniruan (hal ini disebabkan terjemahan kata mimesis tdaklah mudah): misalnya pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan, kata meniru benda, dan bunyi meniru keselarasan ilahi, waktu meniru keabadian, dan seterusnya.
Bagi Plato mimesis terikat pada ide pendekatan. Lewat mimesis tataran yang lebih tinggi hanya bisa disarankan. Mimesis atau sarana estetik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari tataran Ada (different of being) yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia nyata yang fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Unusr teoritis menyatakan bahwa: segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli, yang terdapat di dunia idea dan jauh lebih unggul dari pada kenyataan di dunia ini. Karya seni merupakan tiruan dari kenyataan (mimesis memeseos).
Seni menurut Plato memiliki dua segi sekaligus: “ Art, therefore, has a double aspect: in its visible manisfetation it is a thing of the most inferior value, a shadow ; yet it has an indirect relation to the essential nature of things “ ( Vardenius 1949:19: maka itu seni mempunyai aspek ganda: dalam perwujudan yang tampak seni adalah benda yang sangat indah nilainya, bayangan, namun seni memiliki pula hubungan yang tak langsung dengan sifat hakiki benda-benda)
Seni yang terbaik lewat memesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu makna hakiki kenyataan itu. Maka dari itu seni yang baik harus truthful (benar); dan seniman harus bersifat modest (rendah hati); dia harus tahu bahwa lewat seni itu dia hanya bisa mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah. Seni menimbulkan nafsu sedangkan manusia yang berasio harus meredakan nafsunya. Teori memesis pada prinsipnya menganggap seni sebagi pencerminan, peniruan, atau pembayangan realitas.
Dalam penilaiannya atas karya seni yang terdapat dalam bukunya tentang tata negara, Plato tidak hanya berpendapat bahwa karya seni adalah tiruan yang jauh dari kebenaran sejati, tetap juga menyatakan bahwa dalam kenyataannya karya seni menjauhkan warga-negara, terutama para remaja, dari tugasnya untuk membangun negara. Di sini ia terutama melawan karya sastra dan seni drama, kaarenayang dipentaskan dan disyairkan hampir senantiasa hal-hal ynang tidak baik dan tidak benar. Misalnya, tingkah laku kasar para dewa, bohong-membohong, bunuh-membunuh, dan alin sebagainya. Plato bersedia menerima keberadaan para seniman dan penyair yang ia idamkan, asal mereka menyajikan apa yang benar, baik, sopan dan adil, dan ikut medidik rakyat.
Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen ( Yunani ; episteme = pegetahuan ) yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'.
Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan ( Yunani ; to kalon ), sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.
Sementara itu sudah seharusnya kita sadari bahwa karya tertulis Plato sendiri diakui sebagai salah satu karya sastra yang paling indah, menurut para ahli sastra dari berbagai zaman dan kebudayaan.
Daftar Pustaka:
1.Sutrisno,Mudji & ChristVerhaak.1993.Estetika Filasafat Keindahan.Kanisius:Yogyakarta.
2.Djelantik,A.A.M.1999.Estetika Sebuah Pengantar.Masyarakat Seni pertunjukan Indonesia:Bandung.
3.Teww,A.1988.Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra.Pustaka Jaya:Jakarta.
4.http//www.ndreh.2itb.com/contact
Periode Postmodernisme
BalasHapusDalam caltwalk postmodernisme, tampaklah dengan anggun beberapa pemikir berjalan beriringan memperkenalkan busana mereka. Francois Lyotard memperkenalkan busana kritik terhadap proyek manusia gagal (baca, dehumanisasi), Jacques Derrida memperkenalkan kebebasan dan pembongkaran pada penafsiran bahasa –seperti juga Roland Bhartes-, Jean Baurdillard menanggalkan selubung yang ada pada masyarakat konsumsi, dan terpenting Michel Foucault yang membongkar selubung kuasa dibalik segala realitas yang ada. Alur pemikiran post-modernitas yang bersifat dekonstruktif ini, menisbahkan pemikiran mereka kepada sang mahaguru eksistensialisme, Wilhelm Friedrick Nietszche.
Diantara pemikir postmodernisme, yang sangat dipengaruhi Nietszche adalah Michel Foucault dan Gilleze Deleuze. Kedua orang ini, sama-sama orang perancis. Sama-sama memikirkan Nietszche, dan lebih penting, sama-sama menghidupkan pemikiran gurunya dengan jiwa yang baru, -terutama- dalam konteks geneonologi dan hubungannya terhadap rezim kekuasaan.
Foucault membedakan tiga zaman perjumpaan kegilaan dan rasio, yaitu masa renaissance, klasik (abad 17) dan modern (abad 18). Pada masa renaissance, terdapat dialog antara kegilaan dan rasio, karena kegilaan masih dianggap menyimpan unsur kebenaran. Masa klasik, ilmu psikiatri mulai muncul dan memandang kegilaan sebagai hal yang harus disisihkan dari wilayah rasio. Untuk menanganinya maka di Perancis dan juga Inggris, didirikan tempat pengurungan bagi kegilaan dan juga tempat terapi bagi penyembuhannya. Pada akhirnya di zaman modern, psikiatri benar-benar berkuasa dan kedua praktik eksklusi ini sepakat mengeluarkan kegilaan sama-sekali dari wilayah rasio. Dengan demikian, pengetahuan mengenai kegilaan setiap zaman senantiasa berbeda, dan tentunya, hal ini diakibatkan kepada pemahaman struktur masyarakat yang membentuknya –epsteme-.
Rina Dwi Jayanti
2102407128
Rombel 05
Rizka Muntashofillail
BalasHapus2102407092
R. 4
perkembangan pemikiran estetika pada periode postmodernisme
Terminologi Pasca Modernisme
Tinjauan terminologis biasanya memudahkan kita untuk mulai menelusuri sebuah persoalan. Namun ternyata cukup sulit, ketika kita diminta mendefinisikan istilah pasca modernisme, karena pasca modernisme sendiri menolak pendefinisian terhadap segala sesuatu.
Francois Lyotard, bapak pencetus gagasan pasca modernisme asal Perancis telah mengemukakan penolakannya terhadap epistemologi pengetahuan modern yang melahirkan logika benar-salah. Lyotard menganut epistemologi yang memahami, membiarkan dan merengkuh kenikmatan keragaman. Wajar bila akhirnya pasca modernisme sendiri merupakan istilah yang paling banyak mengandung ketidakjelasan.
Gellner yang dikenal sebagai penentang gagasan pasca modernisme mengomentari, "Hampir mustahil untuk memberikan definisi dan paparan yang koheren mengenai pasca modernisme".
Bila ditelusuri lebih lanjut, istilah pasca modernisme pada mulanya digunakan dalam bidang humaniora, khususnya dalam sastra dan seni. Istilah ini lebih merupakan variasi estetik dan respon terhadap kecenderungan globalisasi seni yang menuju pada periode antiteori. Kecenderungan pada antiteori ini melenyapkan patokan tentang apa yang disebut sebagai sastra dan seni, sehingga seakan-akan dalam sastra dan seni itu mengarah pada bentuk ásal jadi’.
Pasca modernisme memasuki pada bidang sains. Haidar Baqir dalam jurnal Ulumul Qurán No: 1 Vol.V Th. 1994 merasa perlu menyebut Max Planck, Heisenberg dan lain-lain, karena mereka menggagas asas "ketidakpastian"yang sekarang sangat kuat disuarakan oleh pasca modernisme.
"Bukan suatu kebetulan", katanya. Karena kaselarasan pasca modernisme dan pemikiran-pemikiran yang mendahuluinya memang adalah suatu bentuk pemikiran yang sedang memberontak terhadap terhadap sains modern pasca renaissance (anggapan alam sebagai mesin).
Pasca modernisme ini pun melanda bidang sosial. Pemikiran pasca modernisme bersifat menentang hal yang baru dan berbau kemutlakan. Dalam hal ini Ernest Gellner menganggap pasca modernisme merupakan bentuk lain dari relativisme. Pasca modernisme yang bersifat anti rasionalisme, anti saintifik pada gilirannya menekankan pada relativisme dan pluralisme. Disinilah pasca modernisme, meminjam istilah Haidar Baqir, sebagai payung besar yang menaungi berbagai produk pemikiran. Dalam konteks keagamaan, pasca modernisme menjadi semacam perspektif yang menawarkan pandangan egaliter guna membentuk suatu cakrawala kehidupan yang dilandasi prinsip saling menghargai keberadaan yang lain dan saling mengakui.
Pertanyaan-pertanyaan bersar pun mulai muncul, termasuk tentang makna agama. Apakah agama berarti seperti yang dipahami selama ini (yang diistilahkan oleh pemikiran pasca modernisme sebagai bentuk konvensional), atau cara beragama yang mungkin bersifat sekuler dalam selubung isme baru? Menilik sifat pasca modernisme itu sendiri, tampaknya makna kedua yang lebih mewakili.
Ciri Mendasar pasca Modernisme
Untuk memahami pemikiran pasca modernisme, perlu dikenali terlebih dahulu karakteristik pemikiran-pemikiran ini. Secara umum akan ditemukan ciri pemikiran sebagai berikut :
Pertama, dekonstruksi, yaitu pertanyaan ulang terhadap seluruh konstruksi dasar dari alur pemikiran keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, anthropologi, psikologi, sejarah, bahkan (menurut perspektif pasca modernisme) termasuk juga agama. Dengan kata lain pasca modernisme berusaha merekonstruksi, kalau bisa dikatakan, seluruh konsep dan teori yang telah mapan. Kemudian mencari yang dianggap lebih relevan dengan realitas masyarakat masa kini.
Nama : Trimiati
BalasHapusNIM : 2102407040
Rombel 02
*Alexander Baumgarten adalah orang pertama yang mengembangkan pemikiran itu pada Abad ke 18. Pemikiran Baumgarten yang kemudian dikenal sebagai “Estetika” atau filsafat keindahan mengkaji rasa keindahan. Filosof ini mempersoalkan dunia rasa (sense) dan dampaknya pada pikiran. Baumgarten melihat persepsi rasa yang berkembang dari pengalaman merasakan keindahan merupakan aktivitas mental pada manusia.
Pertanyaan yang berkembang pada pemikiran Baumgarten : apakah fenomena keindahan bersifat material atau immaterial? Fenomena keindahan bisa bersifat immaterial seperti misalnya kenangan tentang sesuatu peristiwa, inspirasi, suasana, perasaan puitis, alunan lagu dan pembacaan kisah (cerita). Namun bisa juga bersifat material, seperti misalnya pemandangan alam, kecantikan, keserasian dan obyek yang membangkitkan kesenangan sensual
Selain mempersoalkan rasa keindahan, pemikiran Baumgarten menjelajahi pula kedua fenomena keindahan yang berbeda itu. Pemikiran ini mempertanyakan apakah perbedaan fenomena keindahan memunculkan rasa keindahan yang berbeda pula. Pertanyaan ini ternyata merupakan persoalan yang berliku dan mengundang banyak penafsiran. Namun pertanyaan ini tidak sampai membuat pemikiran Baumgarten terpusat pada persoalan ini. Pemikiran Baumgarten tetap lebih banyak mengkaji seluk beluk rasa keindahan pada kondisi mental manusia dan dampaknya pada pikiran.
Nama : Sri Lestari
BalasHapusNIM : 2102407024
Rombel : 02
Fechner adalah orang yang berjasa dalam merintis penggunaan eksperimen yang sistematis untuk membentuk estetika formil yang ilmiah. Dalam mempelajari pemikiran estetika Ia membagi menjadi:
1.estetika atas yaitu penyelidikan estetika dari segi filsafat murni;
2.estetika bawah atau eksperimental
3. estetika masa sekarang
Estetika Atas ( Von Oben ) Pemikiran estetika atas merupakan penyelidikan estetika yang menggunakan pendekatan metafisika atau dari segi filsafat murni. Estetika atas bertitik tolak dari pengertian-pengertian/definisi-definisi yang berwujud konsep. Model pendekatan lebih bersifat komprehensif. Ciri-ciri pemikirannya antara lain adalah bahwa banyak masalah estetika/penghayatan, penilaian, ide, selera perasaan adalah merupakan hal-hal yang bersifat subjektif. Artinya, sangat sulit untuk dikaji secara induktif/ilmiah/dicari objektifikasinya. Oleh karena itu pengembangan estetika dari segi pendekatan filosofis tidak dapat ditinggalkan (Anwar, 1980:31). Orang yang besar sumbangannya kepada estetika teoritis ini adalah Paul Souriau , ahli pikir dari Perancis. Souriau menulis tentang filsafat seni yang berjudul “ Teori tentang Penemuan 1881”, “Estetika Gerak”, “Uraian tentang data-data langsung dari Kesadaran, 1889”, “Usul-usul mengenai Seni, 1893”, “Imaginasi Seniman, 1901”dan “Keindahan Rasionil, 1904” (Anwar, 1980:32). Selain Souriau, tokoh dari Rusia yang patut dipertimbangkan adalah Leo Tolstoy yang menulis buku “ What is Art ”. Ia memberikan definisi tentang proses seni sbb. “To evoke in oneself a feeling one has experienced, and having evoked it in oneself, then by means of movement, lines, colours, sounds, or forms expressed in words so to transmit that feeling that others experience the same feeling – this is activity or art” . Artinya, “Aktivitas seni ialah untuk membangkitkan dalam diri seseorang suatu perasaan yang pernah dialaminya, dan setelah perasaan itu timbul, maka dengan perantaraan gerak, garis, warna, suara, atau bentuk kata-kata, perasaan tadi disampaikan kepada orang-orang lain agar mereka mengalami perasaan yang sama” (Anwar, 1980:33). Menurut Tolstoy, seni ialah suatu aktivitas kemanusiaan yaitu seseorang secara sadar, dengan perantaraan lambang-lambang tertentu, menyampaikan perasaan yang pernah dialami, agar orang lain terpengaruh oleh perasaan-perasaan itu dan juga ikut mengalaminya. Faktor kemampuan penyampaian seniman atau pemindahan kepada orang lain merupakan hal yang sangat penting (Anwar, 1980:33). Pendapat ini di kritik oleh Herbert Read , fungsi seni tidaklah untuk memindahkan perasaan agar orang lain dapat mengalami perasaan yang sama tetapi sebenarnya untuk mengejawantahkan perasaan dan menyampaikan pengertian/makna tertentu. Read menyatakan bahwa seni itu lazimnya dihubungkan dengan corak-corak visual / plastis /menciptakan bentuk-bentuk ( formatif art ) (Anwar, 1980:33-34). Ruskin , seorang filsuf dari Inggris berpendapat bahwa seni adalah termasuk ibadah. Keindahan adalah tersingkapnya bisikan-bisikan Tuhan. Diperlukan intuisi mistik dan teleologis terhadap alam bahwa segala yang indah itu tentu harus juga baik, dan dapat ditafsirkan menurut jiwa agama. Akal dan indera tidak mampu menyingkapkan keindahan Tuhan namun dengan kehendak Tuhan manusia menjelajahi apa yang dikehendaki Tuhan (Anwar, 1980:34).
Nietzche melalui tulisan-tulisannya yang berjudul “ Die Geburt der Tragoedie ” (Lahirnya Tragedi), “ Der Fall Wagner ”, “ Also Sprach Zarathustra ”, dan “ Unzeitgemaesse ” dapat digolongkan sebagai penulis humanis yang banyak menulis metaestetika (estetika atas/metafisik) abad 19. Estetika ditinjau dari sudut abstraknya bukan gejalanya. Schoupenhauer sebagai gurunya sangat mempengaruhi terhadap keyakinan dan pesimisme yang mendalam (pesimisme romantis). Jalan pikiran Nietzche isinya pesimisme, artinya seni itu sebetulnya banyak mengungkapkan kesan-kesan yang bersifat kesehatan, ketidakadilan, sakit dan sebagainya, sehingga seni itu semata-mata ungkapan perasaan keputusasaan seperti dalam tragedi dan sejenisnya. Ia mencoba menerangkan jiwa kepahlawanan dan inspirasi-inspirasi geni (semangat) di dalam seni dan geni dalam metafisika (Anwar, 1980:34). Selanjutnya Nietzche masuk pada periode positivisme skeptis, yaitu mengembalikan segala sesuatu kepada “kebebasan akal”. Akhirnya periode pembangunan kembali dengan menetapkan nilai-nilai yang diperlukan oleh hidup agar terus berlangsung dan mempunyai kekuatan (Anwar, 1980:35).
Endah puspita santi/2102407035
BalasHapusRombel 02
Pengertian estetrika dari satu nasa ke masa yang lain selalu mengalami perubahan. pemikir estetika yang terkenal antara lain adalah Aristoteles dan Immanuel Kant.Aristoteles sdalm Poetic menyatakan bahwa sesuatu dikatakan indah karena mengikuti aturanb tertentu. sedabngkan Immanuel menyatakan adanya dua jenis keindahan yatu keindahan natural dan keindahan dependen.
namun perkenbangan filsafat fenomenologi pada abad ke-20 mengkritisi pendekatan matematis dari modernisme kemudian menmbawea suatu pendekatan baru daklam estetika.
dalam fenomebnologi lebih diarahkan pada keberadaan subyek yang me→mpersepsi obyek daripada obyek itu sendiri. dan itu memungkinkan adfanya subyekyifitas.
Estetika dalam pertumbuhannya dibedakan dalam tiga periode:
1.perode dogmatis pada bagan berikut:
sokrates → perintis estetika
Plato →dewa estetika
Alexander Baumgasrten →Bapak setetika
2.periode kritika
disinilah terjadi perkembangan yang membawa estetika keluar dari penyelidikan antologi dan masuk kebidang penyelidikan. Estetika beralih dari periode Dogmatis ke periode kritika atau dari obyektivisme ke Relativisme atau lebih tepat ke arah subyektifitas.
3.periode positif
a. Estetika atas, penyelidikan estetika filsafat yang murni
b. Estetika bawah, merupakan eksperimental yang berkelanjutan hingga masa sekarang.
c. estetika dari bawah ke atas
Perkembangan estetika
1.Estetika klasik
Tokoh yang terkenal yaitu aristoteles dan Plato.di sini disebutkan karya imitasi(seni) harus memiliki keteraturan dan proporsi yang tepat.
2.Estetika abad pertengahan
Merupakan abad yuang gelap yangmenghalangi kreativitas seniman dalam berkarya.
3.Estetika pramodern
Di sini lebih ditekankan harmonis adalah yang utama dalamm karya seni. Jadi sebuah benda di katakah indah jika bentuknya saling berpengaruh secara harmoni.
4.Estetika modern
Ada pendapat Clive Bell Yaitu bentuk sangat penting dan merupakan unsur karya seni yang menjadikan karya itu bernilai atau tidak.
Jadi terlihat bahwa konsep estetika sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat dan pemikiran manusia dengan penambahan konteks ruang dan waktu
Nama : Retno Cahyaningtyas
BalasHapusNIM : 2102407003
Rombel : 01
1.Periode klasik
Gagasan Katharsis
Gagasan ini dikemukakan oleh salah satu tokoh filsafat yaitu Aristoteles. Dia mempertimbangkan kesenian puisi menjadi tiga jenis: tragedi, komedi dan epos. Tragedi menceritakan kehidupan kaum bangsawan. Komedi menceritakan tentang kehidupan orang jelata. Epos menceritakan tentang dewa-dewa.
Dalam seni puisi yang dinikmati keindahannya oleh manusia, Aristoteles menerangkan bahwa ada tiga unsur yang terlibat :
a.Obyek kesenian yaitu sasaran atau tujuan dan permasalahan yang ditampilkan kepada pendengar dan penonton.
b.Media kesenian merupakan alat penghubung yang digunakan seniman untuk menciptakan hubungan dengan sang penonton atau pendengar, seperti suaranya, bahasanya, mimiknya, nada, ritme, irama.
c.Penampilan kesenian yaitu cara menyampaikan puisi tsb, misalnya: menceritakan saja (naratif), secara sajak (deklamasi), percakapan (dialog).
Aristoteles menegaskan bahwa tujuan dari semua kesenian adalah baik: sambil menikmati keindahan seni yang disajikan, penonton membayangkan apa yang bisa terjadi pada dirinya sendiri. Dengan ikut merasakannya, mereka mengalami pembebasan. Pembebasan dari kesulitan dan ketegangan jiwa yang sedang menekan manusia dinamakan Katharsis. Biasa juga diartikan sebagai puncak dan tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi Disamping menikmati keindahan dalam menyaksikan kesenian, manusia mengalami katarsis itu sebagai pembersih jiwa dirinya, yang mempunyai efek pengobatan rohaniah.
Selama 2000 tahun lebih pandangan Aristoteles tentang Katharsis sangat mempengaruhi filsafat tentang karya seni, bahkan teori drama. Katharsis diharapakan terjadi dalam diri penonton kemudian dibawanya pulang sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia, sebagai pembebasan batin juga dari segala pengalaman penderitaan.
NANA DIANA
BalasHapus2102407104
ROMBEL 4
Sejarah Estetika di Indonesia
Yuswadi Saliya (1999) menyatakan adanya empat ciri arsitektur tradisional di Indonesia, yaitu pertama, semuanya sarat dengan makna simbolik, kedua, rumah menjadi simpul generasi masa lalu dengan generasi masa datang, ketiga pemenuhan kebutuhan spiritual lebih diutamakan daripadda kebutuhan badani, keempat, dikenalnya konsep teritorialitas dan kemudian mengejawantah menjadi batas.
Ciri pertama dan kedua menunjukkan adanya kosmologi dan orientasi non badaniah, dan karena spiritual-lah yang diutamakan, maka kebutuhan badaniah cenderung akan dikorbankan demi kepentingan spiritual. Dalam hal ini manusia merupakan pihak yang harus melakukan penyesuaian diri terhadap bentukan arsitektur (Soemardjan, 1983). Orientasi terhadap kosmologi ini masih banyak dijumpai di Indonesia hingga masa kini, terutama pada arsitektur tradisional.
Hal ini bukan berarti bahwa semua arsitektur di Indonesia berorientasi pada kosmologi. Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Pemikiran akan universalitas dan objektivitas Arsitektur Modern juga melanda arsitektur Indonesia. Seperti juga di Barat, fenomena arsitektur yang polos, tanpa ornamen dan tanpa konteks juga terjadi di Indonesia.
Seperti juga arus modernisme, arus Postmodernisme juga melanda Indonesia. Sebagai akibatnya, terjadi kesadaran akan konteks dan perlunya identitas.
Hadirnya Arsitektur Modern dan Postmodern secara bersamaan dengan (masih) hadirnya arsitektur tradisional menunjukkan adanya dualisme dalam arsitektur Indonesia. Arsitektur Modern dan Postmodern menunjukkan arsitektur yang berorientas pada kebutuhan badaniah manusia, sementara arsitektur tradisional Indonesia berorientasi kepada kosmologi dan spiritual.
Latar belakang pemikiran Estetika Kant yang meliputi pemikiran urnurn Kant di dalam filsafat kritisnya, dan juga Sejarah Estetika pra-Kant.
Dengan menggunakan filsafat kritisnya sebagai latar belakang, maka pemikiran Estetika Kant dipandang sebagai usaha untuk menjembatani "jurang" antara "keniscayaan alam" -- hasil pemikiran Critique of Pure Reason, dan "kebebasan" -- hasil Critique of Practical Reason. Jadi, keindah.an analog dengan keniscyaan alam, dan sublim analog dengan kebebasan. Sedangkan seni dan genius nienunjukkan analogi kerjasama antara alam dan kebebasan dalam menghasilkan suatu bal.
Dengan menggunakan Sejarah Estetika sebagai latar belakang, pemikiran Estetika Kant menjadi kulminasi dari permasalahan-permasalahan Estetika pra-Kant, terutama permasalahan Estetika yang dimunculkan oleh para filsuf Inggris. Unsur penyatu di dalam pemikiran Estetika Kant itu adalah "judgment".
Secara garis besar pokok-pokok permasalahan di dalam pemikiran Estetika Kant dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) permasalahan keindahan dan sublim, dan (2) permasalahan seni dan genius.
Pembahasan permasalahan keindahan dan sublim di.mulai dengan menggunakan sarana judgment of taste, dan judgment of taste itu sendiri diterangkannya dengan menggunakan momen-momen seperti yang terdapat di dalam Critique of Pure Reason. Menurut Kant, terdapat 4 momen judgment of taste, dan mereka disebut "momen-momen keindahan".
Keindahan dan sublim merupakan objek-objek yang menghasilkan peristiwa estetis. Keduanya memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu: keindahan bersifat sangat teratur, sedangkan sublim bersifat sangat tidak teratur -- sublim kemudian dibedakan menjadi sublim yang matematis dan sublim yang dinamis.
Setelah keindahan dan sublim adalah permasalahan seni dan genius. Maksud kedudukan seni dan genius di dalam "Deduksi Aesthetic Judgment" adalah bahwa, pertama-tama, genius di dalam seni menunjukkan peran atau sumbangan alam dalam "peristiwa keindahan" di dalam seni. Kedua, "seni" dalam arti Kantian adalah bukan objek khusus yang hadir di hadapan kita; "seni" dalam arti Kantian adalah semacam "proses", ia adalah suatu "gangguan" di satu atau dua pancaindera kita! "Proses permainan" itu terjadi di dalam dunia supersensible. Hal ini membuktikan keberadaan dunia supersensible. Kembali lagi pada persoalan genius di atas; hanya seorang genius saja yang dapat membuat atau berbuat hal seperti itu.
Rita Nur Hidayati
BalasHapus2102407184
rombel 6
Jacques Derrida (teori dekonstruksi)
Jacques Derrida arguably adalah yang paling terkenal filsuf kontemporer. Dia juga salah satu yang paling produktif. Distancing dirinya dari berbagai gerakan filosofis dan tradisi yang diawali di Perancis dia pemandangan intelektual (Fenomenologi, eksistensialisme, dan strukturalisme), pada pertengahan tahun 1960 ia mengembangkan suatu strategi yang disebut deconstruction.. Deconstruction tidak bersifat negatif, tetapi terutama berkaitan dengan sesuatu yang serupa dengan 'kritik' dari tradisi filosofis Barat, meskipun ini umumnya bertahap melalui analisis spesifik teks.. Untuk mempermudah urusan, deconstruction berusaha untuk mengungkapkan, dan kemudian ke menumbangkan, berbagai oppositions biner yang kita undergird dominan cara berpikir
Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.
Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris
Aliran Estetika Posmodernisme
BalasHapusPost Modern bila diartikan secara harafiah kata-katanya terdiri atas ‘Post’ yang artinya masa sesudah dan ‘Modern’ yang artinya Era Modern maka dapat disimpulkan bahwa Post Modern adalah masa sesudah era Modern ( era diatas tahun 1960 an ) .Post Modernism sendiri merupakan suatu aliran baru yang menentang segala sesuatu kesempurnaan dari Modernism, bahkan tak jarang menentang aturan yang ada dan mencampurkan berbagai macam gaya . Post Modernism tidak hanya di bidang arsitektur tetapi meliputi segala bidang kehidupan seperti sosial ,politik , dan budaya .
Era posmodern diawali dengan konsep adanya suatu wilayah yang tidak lagi dibatasi oleh satu negara, melainkan sistem informasi dan komunikasi yang dapat menembus dinding geografis dan politik. Postmodern menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme.Postmodernisme merupakan konsep periodiasi yang berfungsi untuk menghubungkan kemunculan bentuk-bentuk formal baru dalam sendi kultural dengan kelahiran sebuah tipe kehidupan sosial dan sebuah orde ekonomi yang baru; apa yang secara eufismistis disebut sebagai modernisasi masyarakat pasca industri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan atau kapitalisme multinasional.
Bila perupa modernis mencari hal-hal yang bersifat universal, maka perupa posmodernis malahan berupaya mengidentifikasikan perbedaan. Kalau modernis percaya pada kemungkinan seni sebagai komunikasi universal, posmodernis justru tidak percaya bahwa seni mampu mengemban misi sebagai bahasa komunikasi universal. Mereka mencari perbedaan spesifik dan khusus dengan memperlihatkan pluralisme pandangan, provisional, variabel, pergeseran dan perubahan. Gerakan Gerakan posmodernisme, kendati memiliki sikap skeptis dan kritis terhadap zamannya, tetapi sangat aktif merespons situasi sosial dan politik.
Medium dalam seni posmodern yang terjadi adalah anything goes, yaitu segala material bisa dijadikan sebagai media dalam berkarya, berbagai materi menjadi simbol untuk menemukan petanda-petanda yang baru. Implikasinya hasil karya seni rupa cenderung bisa menusuk tatanan yang telah dibakukan dan cenderung tidak lazim dan aneh bahkan membingungkan dalam menafsirkan.
Postmodern muncul karena budaya modern menghadapi suatu kegagalan dalam strategi visualisasinya. Kegagalan modernisasi bukan terletak pada tekstualitasnya tetapi pada strategi visualisasinya yang seragam dan membosankan. Jika sebelumnya budaya ‘barat’ didominasi oleh budaya verbal maka kini budaya visual menggantikannya. Program aplikasi komputer yang sebelumnya banyak menggunakan bahasa verbal dan sulit dihafal, kini bahasa gambar atau ikon banyak digunakan sebagai pengganti bahasa tersebut dan ternyata mudah dipahami.
Kelemahan dalam postmodernisme ialah mencampurkan gramatika dan tata bahasa visual yang tidak proporsional, contoh yang paling kentara adalah suguhan acara media tayang televisi yang menawarkan berbagai hal tanpa mencermati subjek, hierarki sosial ataupun budaya masyarakat, terlihat pada tayangan iklan rokok dilihat oleh anak-anak ataupun peristiwa serius dapat menjadi dagelan konyol ketoprak humor.
Manusia Sebagai Animal Symbolicum
Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan oleh Ernst Cassirer sebagaimana termaktub didalam bukunya yang cukup monumental, yakni “An Essay on Man”. Pendekatan simbolis ini pada dasarnya juga bersandar pada perspektif biologis. Cassirer sendiri sebagaimana diungkapkan didalam bukunya tersebut mengatakan sangat terpengaruh oleh teori biologis Von Uexkull, seorang biolog Jerman, yang berpandangan bahwa pada dasarnya organisme biologis manapun tidak dapat dilepaskan ekosistem yang melingkupinya. Ekosistem ini sangat bersifat khusus dan tepat bagi organisme yang bersangkutan. Setiap organisme mempunyai pengalamannya sendiri dan karena itu memiliki dunianya sendiri.
Gejala-gejala yang kita lihat dalam spesies biologis tertentu tidak dapat diterapkan kepada spesies-spesies lainnya. Pengalaman-pengalaman –dan karena itu juga realitas- dari dua organisme yang berlainan tidak dapat dibanding-bandingkan satu sama lain. Dengan kata lain antara struktur biologis suatu organisme dengan lingkungan yang dihadapinya sangatlah sesuai dan tepat.
Berangkat dari perspektif biologis gaya Von Uexkull inilah Ernst Cassirer meneliti pola kehidupan yang secara khas manusiawi. Menurut Cassirer, dunia manusiawi meskipun mengikuti hukum-hukum biologis sebagaimana semua kehidupan organisme lainnya. Namun ia memiliki karakteristik baru yang menandai ciri khas manusia. Lingkaran fungsi-onal manusia tidak hanya berkembang secara kuatitatif, tetapi juga mengalami perubahan-perubahan kualitatif. Manusia telah menemukan cara baru untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Diantara sistem reseptor dan sistem efektor yang terdapat pada semua spesies binatang, pada manusia terdapat mata rantai yang mungkin dapat kita sebut sebagai sistem simbolis.
Dengan pencapaian baru ini, maka kehidupan manusia segera mengalami perubahan yang sangat fundamental sekali. Manusia benar-benar hidup dalam dimensi realitas yang baru. Manusia tidak lagi hanya sekedar merespon lingkungannya secara instingtual dan langsung, tetapi secara intelektif mampu mengendalikan refleks biologis menjadi respons-respons interpretatif dan bahkan manipulatif. Dengan cara ini manusia tidak semata-mata hidup dalam dunia fisik semata-mata, tetapi ia hidup juga dalam suatu dunia simbolis.
Pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri khas yang betul-betul khas manusiawi dan seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. Dari sinilah manusia menyusun realitas kebudayaannya yang secara umum merupakan hasil dari proses simbolisasi dalam hidup dan kehidupannya. Oleh karenanya apabila kita ingin mengetahui realitas terdalam dari hidup dan kehidupan manusia hendaknya kita telurusi dari kemampuan simbolisnya ini. Dari dasar pandangan ini Ernst Cassirer kemudian merumuskan definisi baru terhadap hakekat manusia yakni, Animal Symbolicum (hewan yang bersimbol). Menurutnya, definisinya tersebut bukan bermaksud untuk menggantikan definisi yang telah klasik, yakni animal rationale (hewan yang berakal).
Tetapi dengan definisi tersebut ia berusaha untuk mengoreksi dan memperluas dimensi pengertian yang dikandungnya. Rasionalitas memang sifat yang melekat pada seluruh aktifitas manusia, tetapi definisi ini banyak menyimpan kesulitan-kesulitan tersendiri terutama dalam kaitannya dengan fakta-fakta kebudayaan manusia. Fakta-fakta kehidupan manusia manusia terutama sekali kebudayaannya tidaklah semata-mata bersifat rasional, tetapi kadangkala bersifat irrasional dan emosional.
IMA ISTIANI
2102407127
ROMBEL 5
1.Keindahan adalah kesatuan dari hubungan bentuk yang terdapat di antara penerapan inderawi dan segala sesuatu yang enak dipandang, elok.
BalasHapus2.Nilai estetik adalah cara mengetahui karya seni yang di dalamnya mengandung unsur keindahan yang mencakup nilai intrinsik, nilai ekstrinsik dan nilai hidup.
3.Pengalaman estetis/seni yaitu pengalaman yang melibatkan kegiatan penginderaan, nalar, emosi dan intuisi dalam rangka mengkomunikasikan nilai-nilai, kualitas perasaan dan pengalaman estetis tiap orang berbeda tergantung pada lingkungan di mana dia tinggal.
4.Keindahan Alam yaitu keindahan yang diciptakan oleh Tuhan dan bersifat alami. yang dimanfatkan manusia guna mencukupi kebutuhan hidupnya dan juga untuk dinikmati keindahan-keindahanya.
5.art adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dan hasil ciptaan itu merupakan kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur bersifat ekspresif yang termuat dalam suatu media inderawi.
6.Karya seni adalah suatu bentuk karya yang dibentuk sedemikin rupa oleh penciptanya sehingga mengandung nilai seni,nilai ekspresi atau nilai ungkap yang membentuk dalam kesatuan arti atau makna dan dapat dinikmati para penikmat seni.
7.Seni Murni yaitu seni mengenai pembuatan barang yang indah-indah. Ada juga yang mengatakan seni murni adalah karya seni yang diciptakan untuk dinikmati keindahannya saja.
8.Artifisial adalah sesuatu yang tidak alami atau buatan.
9.Licentia Poetica adalah suatu ijin yang telah diberikan pada karya sastra untuk boleh menggunakan bahasa apa saja dalam karya sastra tanpa menghiraukan Ilmu Linguistik.
10.Unity adalah suatu kesatuan organis dari unsur-unsur seni.
Harmony adalah selaras
Simetry dalam suatu karya seni harus seimbang dan juga selaras.
Balance karya sastra yang seimbang, selaras dan menarik dapat menimbulkan kesan positif di hati penikmat seni.
Contrast adalah berkebalikan atau berlawanan.
GALIH WICAKSONO
2102407088
ROMBEL 02
YOGA ARI S.
BalasHapus2102407071
Rombel -2
1.KEINDAHAN/BEAUTY
Pada abad ke-18, saat itu pengertian keindahan telah dipelajari oleh para filsuf. Menurut The Liang Gie, dalam bukunya “Garis Besar Estetika”(filsafat Keindahan) dalam bahasa inggris keindahan itu diterjemahkan dengan kata “Beatiful”.
Menurut saya keindahan adalah suatu keadaan, hal dimana keadaan tersebut bila kita pandang,dengar,atau kita rasakan dapat membuat kita senang karena keadaan tersebut baik dan bagus. Terdapat sesuatu yang menarik hati bagi yang melihatnya menimbulkan rasa nyaman dan senang. Keindaahan muncul dari suatu penilaian terhadap suatu objek. Dimana keindahan tersebut dapat dipandang secara berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Karena tentunya ukuran keindahan itu berbeda-beda dari masing-masing individu. Selain itu keindahan juga dapat diartikan sebagai rasa (sense). Keindahan dapat juga diartikan sebagai fenomena kecantikan, keserasian, kondisi liris, yang menimbulkan rasa.
2.NILAI ESTETIK
Suatu bentuk persepsi atau pandangan seseorang mengenai sesuatu yang indah atau baik. Dan penghargaan terhadap karya yang mengandung suatu keindaahan didalamnya
3. PENGALAMAN ESTETIS
Pada abad pertengahan, pengalaman estetis atau pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.
Selain itu pengalamn estetis merupakan suatu pengalaman yang memberikan kesan tersendiri bagi orang yang mengalaminya karena dinilai mengandung unsur keindahan didalamnya. Entah dari segi mana pengalaman tersebut dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pengalaman yang dialami oleh seseorang dimana pengalaman tersebut mengandung unsur keindahan.
4. KEINDAHAN ALAM
Terdapat suatu nilai indah di alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan yang maha esa. Keindahan yang terdapat di alam tersebut tidak ada tandingannya, karena manusiapun tidak dapat menandingi kemampuan Tuhan yang mampu menciptakan alam disekitar kita menjadi sesuatu yang benar-benar sangat indah. Keadaan alam yang nyaman dipandang mata tersebut akan memberikan rasa nyaman pada orang yang melihatnya. Keindahan alam yang dimaksud dapat berupa gunung, pantai, air terjun dan lain sebagainya.
5. ART
Art merupakan suatu kata terjemahan dari bahasa Inggris yang dapat diartikan sebagai seni Art atau seni adalah ekspresi dari kemampuan kreatif manusia terutama dalam bentuk visual. Menurut Rader, seni adalah bahasa spiritual yang mengungkapkan penilaian lebih daripada memformulasikan deskripsi-deskripsi objektif. Sedangkan menurut Thomas Munro, seni telah didefinisikan sebagai ekspresi dan transmisi dari pengingatan emosi.
6. KARYA SENI
Adalah suatu hasil karya manusia yang dituangkan pada suatu objek atau tindakan, yang didalamnya mampu memancarkan rasa indah yang dapat dinikmati oleh orang lain
Dimana Karya seni merupakan kumpulan segenap kegiatan budi pikiran seorang seniman yang secara mahir mampu menciptakan suatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia (The Liang Gie, Filsafat Keindahan, 1996, PUBIB, Yogyakarta). Hasil ciptaan kegiatan itu adalah suatu kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur yang bersifat ekspresif serta termuat dalam suatu medium inderawi.
7. SENI MURNI
Seni murni dapat diartikan sebagai karya seni yang diciptakan untuk dinikmati keindahannya saja. Sebagai contoh adalah lukisan, kaligrafi, dan patung. Berbeda dengan seni terapan, seni murni tidak untuk dimanfaatkan sebagai alat bantu lain. Yang dimanfaatkan pada seni ini adalah nilai keindahnnya.
8. ARTIFISIAL
Merupakan terjemahan dari bahasa inggris yang artinya buatan
9. LICENTIA POETICA
Merupakan suatu kebebasan dalam menggunakan kata-kata dalam proses pembuatan suatu karya. Dimana suatu bentuk kebebasan dari penyair untuk memanipulasi kata atau mempermainkan bahasa tersebut sehingga dapat menimbulkan efek atau kesan tertentu dari karyanya tersebut
10. UNITY berasal dari bahasa Inggris yang berarti kesatuan
HARMONY berasal dari bahasa Inggris yang berarti selaras.
SYMMETRI berasal dari bahasa Inggris yang berarti sejajar atau sepadan
BALANCE berasal dari bahasa Inggris yang berarti seimbang
CONTRAST berasal dari bahasa Inggris yang berarti berlawana atau berkebalikan.
1.Keindahan dapat diartikan sebagai rasa (sense). Keindahan dapat juga diartikan sebagai fenomena kecantikan, keserasian, kondisi liris, yang menimbulkan rasa.
BalasHapus2.Nilai estetis yaitu segala sesuatu yang merupakan masalah yang mendasar dalam bidang estetika yang mencakup nilai intrinsik, nilai ekstrinsik dan nilai hidup.
3.Pengalaman estetis disebut juga pengalaman keindahan. Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.
4.Keindahan alam yaitu suatu bentuk keindahan yang diciptakan oleh Tuhan, berupa alam semesta seperti pegunungan, gurun, pantai, dan sebagainya.
5.Art atau seni adalah ekspresi dari kemampuan kreatif manusia terutama dalam bentuk visual. Menurut Rader, seni adalah bahasa spiritual yang mengungkapkan penilaian lebih daripada memformulasikan deskripsi-deskripsi objektif. Sedangkan menurut Thomas Munro, seni telah didefinisikan sebagai ekspresi dan transmisi dari pengingatan emosi.
6.Karya seni adalah kumpulan segenap kegiatan budi pikiran seorang seniman yang secara mahir mampu menciptakan suatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia (The Liang Gie, Filsafat Keindahan, 1996, PUBIB, Yogyakarta). Hasil ciptaan kegiatan itu adalah suatu kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur yang bersifat ekspresif serta termuat dalam suatu medium inderawi.
7.Seni murni adalah seni yang hanya bisa dilihat keindahannya. Sebagai contoh adalah lukisan, kaligrafi, dan patung. Berbeda dengan seni terapan, seni murni tidak untuk dimanfaatkan sebagai alat bantu lain. Yang dimanfaatkan pada seni ini adalah nilai keindahnnya.
8.Artifisial Kata yang berasal dari bahasa inggris yang artinya buatan
9.Licentia Poetica yaitu manipulasi kata atau bahasa yang dilakukan penulis agar menimbulkan efek pada karya sastranya.
10.Dalam kamus Bahasa Inggris:
Unity berarti kesatuan
Harmony berarti selaras
Symmetry berarti sejajar atau sepadan
Balance berarti seimbang
Contrast berarti berlawanan atau berkebalikan.
MUSTAKIM
2102407070
Rombel:2
Dika Agung Marlianto
BalasHapus2102407086/r.02
Teori estetika baru lahir pertengahan abad ke-18 melalui pemikiran yang memisahkan estetika dari filsafat oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1750). Sejak kelahirannya, teori estetika telah melalui jalan panjangnya yang berliku-liku dengan warna dan semangat zamannya hingga hari ini. Di era modern misalnya, estetika dipandang sebagai sesuatu yang terbebas dari segala determinasi di luar dirinya. Ia adalah sesuatu yang otonom, artinya bentuk estetik (sastra, seni) harus memutuskan dirinya dari realitas sosial, dan secara murni bergelut dengan persoalan-persoalan formal; pemisahan seni tinggi dan rendah, yang estetis adalah seni tinggi.
Berbeda halnya di era pos-modernisme yang menolak adanya oposisi biner dalam bentuk-bentuk estetis, tidak ada seni tinggi atau seni rendah. Dalam pandangan ini, bentuk-bentuk estetika tidak lepas dari persoalan-persoalan di luar dirinya. Di dalamnya, bermain tanda-tanda yang penuh dengan persoalan sosial politik. Sastra dan seni tidak lagi dapat dipahami hanya dengan mengadakan analisis teks saja, tetapi analisis konteks juga sangat diperlukan untuk mengungkap makna-makna ironis yang terselubung.
B. widia Hayu Samapta
BalasHapusRombel 1
2102407006
Istilah estetika itu kita adaptasi dari kata `aesthetics’ bahasa Inggris. Kata itu dalam tradisi bahasa Inggris juga sesuatu yang baru, diperkenalkan di sekitar 1830 (lihat T.J. Diffey, A Note on Some Meaning of The Term `Aesthetic ‘ dalam `British Journal of Aesthetics Vol. 35, No_ 1, January,1995). Filosof yang pertama kali mempromosikan kata itu adalah Alexander Baumgarten (1714 - 1762), seorang filosof Mazhab Leibnitio-Wolfian Jerman dalam karyanya, Meditationes (1735).
Dalam hal ini, perlu dibedakan arti kata yang dalam penggunaan di tingkat akademis sering dipercampurkan, yaitu kata sifat ‘aesthetic’’ diterjemahkan menjadi estetik dan kata benda ‘aesthetics’ diindonesiakan menjadi estetika. Kata ‘aesthetic’, asalnya dari bahasa Yunani, ‘aesthetikos’ berarti `sesuatu yang dapat diserap ‘indera’, atau berkaitan dengan persepsi penginderaan, pemahaman, dan perasaan, lawan katanya yang lebih populer dalam penggunaan di dunia kedokteran adalah ‘anaesthetic’ , anestetik atau patirasa. Jadi, estetik adalah cara mengetahui melalui indera yang mendasar bagi kehidupan dan perkembangan kesadaran.
Meskipun demikian, makna inderawi dari kata estetik dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini semakin jarang dipakai. Kata estetik pada umumnya dikaitkan dengan makna ‘citarasa yang baik, keindahan dan artistik, maka estetika adalah disiplin yang menjadikan estetik sebagai objeknya. Estetika, dalam tradisi intelektual, umumnya dipahami sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas seni dan objek estetik lainnya. Dalam hal ini Louis Arnaud Reid memberikan batasan estetika filosofis sebagai disiplin yang mengkaji makna istilah-istilah dan konsep-konsep yang berkenaan dengan seni.
Cara kerja estetika filosofis dalam pemahaman Reid:
1.menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni
2.menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan konsep-konsep 3.memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi analitis dan sisi kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan positif yang memungkinkan beragam bagian memiliki keterpaduan yang utuh. Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti bahwa estetika bermula dari masa itu.
Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.
Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental.
Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep.
Plato yang dikenal sebagai tokoh filosof ldealisme, misalnya mengajukan konsep bahwa hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk). Pemahaman ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada kenyataan Idea. Bagi Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas. Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam. Lebih jauh, Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.
Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya. Dalam konteks penelitian, metodologi atau pendekatan dalam estetika filosofis yang cenderung spekulatif dianggap tidak memenuhi standar penelitian ilmiah. Dalam hal ini, kita dapat melangkah pada pembahasan estetika yang lain yaitu estetika yang bersifat keilmuan. Terutama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mulai mengarahkan minat pada fenomena seni sehingga secara berturut-turut dapat ditunjuk pertumbuhan sub-disiplin seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Psikologi Seni, Sosiologi Seni, Manajemen Seni. Cabang-cabang disiplin ini selain disebut sebagai Estetika Keilmuan, juga sering disebut dengan ilmu-ilmu seni. Estetika keilmuan atau ilmu-ilmu seni ini dalam pendekatannya bersifat empiris dan mengikuti tahap-tahap penelitian ilmiah seperti observasi, klasifikasi data, pengajuan hipotesis, eksperimen, analisis, dan penyimpulan teori atau dalil. Selain itu, pendekatan empiris pada karya seni melahirkan disiplin lain mencakup kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik.
Pengertian ‘llmu’ yang dipakai dalam konteks estetika keilmuan bukan dalam pengertian yang eksak sebagaimana ilmu alam. Thomas Munro seorang perintis dalam perkembangan estetika keilmuan memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif tentang arti kata ilmu sebagai cara berfikir yang secara berangsur berkembang dalam satu lapangan fenomena. Dalam hal ini, Munro mengartikan ilmu sebagai suatu cabang studi yang berkenaan dengan observasi dan klasifikasi fakta, khususnya dengan penetapan hukum-hukum yang teruji baik melalui induksi maupun hipotesis atau secara khusus, ilmu berarti pengetahuan yang disepakati dan terakumulasi serta disusun dan dirumuskan dengan merujuk kepada pendapatan kebenaran umum atau gerak hukum umum. Arti ilmu seperti ini memberi tempat bagi berkembangnya ilmu-ilmu seni, seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan lain sebagainya. Lebih jauh estetika keilmuan hendaknya tidak dipahami sebagai suatu subjek yang bertujuan menegakkan hukum universal tentang keindahan dan cita rasa yang baik yang dapat berlaku untuk semua orang, ataupun untuk membuktikan hendaknya seseorang memilih satu jenis seni dari yang lain. Dengan demikian ilmu-ilmu seni lebih dekat berada pada pengertian ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu sosial.
estetika empiris atau estetika keilmuan digolongkan ke dalam 2 kelompok. Kelompok yang pertama tertuju pada karya seni sebagai objek pengetahuan dan mencakup Kritik Seni, Morfologi Estetik, Semiotika, Teknologi Seni dan Metodologi (Penciptaan) Seni. Sedangkan pada kelompok yang kedua dengan fokus objek pada kegiatan manusia dan seni, yang meliputi Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan Manajemen Seni. Apabila di daerah asalnya yaitu negara Barat estetika keilmuan tergolong sebagai suatu disiplin yang masih baru berkembang, sekitar awal abad ke-20an, maka di Dunia Ketiga dan Indonesia pada khususnya, bidang estetika, baik yang filosofis maupun keilmuan masih dalam taraf pengenalan.
Di perguruan tinggi filsafat ataupun ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial disiplin ini belum banyak berkembang. Begitu juga di perguruan tinggi seni di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan estetika masih pada tahap permulaan. Kuliah-kuliah tentang estetika filosofis misalnya telah masuk dalam kurikulum di lembaga pendidikan tinggi seni pada masa 1970-an, termasuk Kritik Seni dan Tinjauan Seni. Di Departemen Seni Rupa ITB misalnya pengajaran mata kuliah Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni baru diadakan pada dekade 1990-an. Pembentukan kelompok keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni baru terlaksana pada periode itu.
Salah satu disiplin estetika empiris yang telah lama dipraktekkan di Indonesia adalah Kritik Seni. Bidang ini telah muncul pada awal lahirnya seni rupa modern pada dasawarsa 1930-an ketika Sudjojono yang juga seorang pelukis dan pendiri Persagi pada 1938 aktif menulis kritik terhadap peristiwa-peristiwa pameran pada masa itu. Sesudah masa kemerdekaan tradisi kritik seni dalam bidang seni rupa diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Trisno Sumardjo, Kusnadi, Sitor Situmorang, dan pada periode 1970an muncul Sudarmaji, Sanento Yuliman, Agus Dermawan dan sebagainya. Diantara nama-nama kritikus di atas yang secara konsisten menulis kritik dengan pendekatan empiris dan diakui integritasnya adalah Sanento Yuliman.
Sementara itu, di bidang Morfologi Estetik dan Semiotika masih belum berkembang secara berarti. Pada kelompok yang menyangkut interelasi kegiatan manusia dan seni, bidang yang relatif lebih berkembang adalah Sejarah Seni. Penelitian-penelitian tentang Sejarah Seni Rupa Indonesia baik periode masa lalu maupun masa kini cukup banyak dilakukan, bahkan bersamaan dengan pertumbuhan galeri dan meningkatnya frekuensi pameran karya seni serta penyerapan karya seni oleh para kolektor, para seniman baik yang senior maupun yang masih muda berinisiatif untuk menerbitkan buku-buku yang berkonotasi biografis kesejarahan.
Begitu juga penelitian sejarah seni yang terkait dengan penulisan skripsi, tesis, ataupun disertasi cukup banyak dilakukan. Bersama dengan itu dibukanya berbagai perkuliahan Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni pada strata S1 mendorong minat bagi penelitian-penelitian di bidang itu.
Dwi Retno Nugraheni
BalasHapus2102407131/R.05
POSTMODERN DALAM BIDANG SENI
Arsitektur postmodern lahir sebagai penolakan terhadap prinsip-prinsip arsitektur modern pada abad ke-20. Kehadiran postmodern dalam bidang seni juga menampakkan gejala penolakan yang serupa.
Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum modern menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya; dengan cara ini, para seniman modern mengatakan bahwa hasil karya seni mereka bersifat "murni" (orisinal). Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu: "univalence". Melalui ini, kebanggaan seniman modern hanyalah jika mereka mempunyai "stylistic integrity" (integritas gaya).
Sebaliknya seni postmodern berangkat dengan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau modern menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak murni."
Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan berbagai macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons.
Howard Fox, "Avant-Garde in the Eighties", dalam The Post-Avant- Garde: Painting in the Eighties, ed. Charles Jencks (London: Academy Editions, 1987), hal. 29-30.
Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman dengan teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur") menegaskan collage sebagai bentuk utama dari wacana postmodern. Perlahan namun pasti, "collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage" bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya.
Akhirnya seni pencampuradukan menjadi sebuah "pastiche". Tujuan teknik ini (yang digunakan oleh high-culture dan Video MTV) adalah memperhadapkan para penonton dengan gambar-gambar yang saling bertentangan sehingga tidak ada lagi makna objektif. Dengan pola yang saling bertentangan, warna yang tidak selaras, dan tata huruf yang kacau, "pastiche" menyebar dari dunia seni menuju kehidupan sehari- hari. Ini nampak dari sampul buku, sampul majalah, dan iklan-iklan yang ada.
Segala campuran dan keanekaragaman itu bukan hanya untuk menarik perhatian. Daya tarik sebenarnya tidak sedangkal itu, namun jauh lebih dalam. Ini merupakan bagian dari sikap postmodern, yaitu: menantang kekuatan modernisme yang ada dalam berbagai lembaga, tradisi, dan aturan. Seniman postmodern tidak suka kepada pengagung-agungan seorang seniman modern karena kemurnian hasil karyanya. Mereka tidak suka kepada apa yang disebut "stylistic integrity" (integritas gaya). Bagi mereka, tidak ada hasil karya seni yang tunggal. Mereka sengaja menggunakan metode pinjaman dari hasil karya lain, kutipan, petikan, kumpulan, dan pengulangan dari karya-karya yang ada. bagi mereka, "seniman tunggal yang menghasilkan karya tunggal" hanyalah dongeng belaka.
Kritik postmodern sangat radikal. Kritik tersebut dapat ditemukan dalam karya fotografi seorang bernama Sherrie Levine. Levine memfoto ulang foto-foto indah hasil karya dua fotografer terkenal Walker Evans dan Edward Weston. Setelah memfoto ulang, Levine menegaskan bahwa foto- foto itu adalah karya pribadinya. Pembajakannya sangat jelas sehingga orang lain tidak mudah mengecapnya sebagai plagiat (pengekor) biasa. Memang tujuannya bukanlah menipu orang-orang dengan mengatakan bahwa itu adalah hasil karyanya dan bukan hasil karya orang lain. Tujuan utamanya adalah membuat orang berfikir keras untuk membedakan manakah "yang asli" dan manakah yang "tiruan". Maka kesimpulannya: tidak ada perbedaan antara "karya asli" dan "karya tiruan."
Pratiwi Setyaningtyas
BalasHapus2102407206
Rombel 07
Sejarah Perkembangan Estetika menurut PLATO
Inti dari teori keindahan Plato adalah wujud atau forma dari keindahan. Artinya jika sesuatu benda semakin berpartisipasi pada bentuk abstrak(ide)maka benda itu memuat dan menunjukkan keindahannya, merupakan "indah mutlak". Berkaitan dengan pernyataan tersebut Plato membedakan antara benda yang indah dengan keindahan itu sendiri. Perbedaan itu adalah sebagai berikut (1)hal-hal atau benda yang indah adalah kelompok benda yang berada dalam lingkup ruang objek indera-indera kita, yakni benda-benda yang dapat kita lihat, kita nikmati dan kita dengar, (2)keindahan tidak melekat pada ruang objek indera, melainkan berada dalam dunia temporal, nonspasial (the intelligible word).Keindahan itu berisi sari-sari pokok abadi dari pengetahuan, sehingga keindahan itu berdiri sendiri.
Bagi Plato, keindahan itu diatas dunia indera dan pengalaman. Artinya pengalaman tentang keindahan itu tidak sama dengan pengalaman terhadap benda-bend indah.Sehingga pengalaman keindahan itu khusus, tidak bisa tuntas dideskripsikan seperti halnya ketika orang berbicara tentang pengalaman estetika/pengalaman indah.Kendatipun demikian Plato juga memaparkan persamaan antara keindahan dengan benda indah, dikatakan bahwa "keindahan"berpartisipasi pada sesuatu yang berciri indah dan di dalam "keindahan" terdapat kesatuan dari hal-hal yang indah.(George Dickie:Aestetics;1971)
Nama : Emi Hidayah
BalasHapusNIM : 2102407164
Rombel : 6
Periode Klasik
Pandangan Plato dan Aristoteles Mengenai Mimesis
1. Pandangan Plato Mengenai Mimesis
Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.
Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio,tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya idea mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu . Idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens1979:13).
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-Idea mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg:16).
Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal. (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew. 1984:221).
2. Pandangan Aristoteles Mengenai Mimesis
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979: 13).
KATARSIS, GAGASAN ARISTOTELES PADA MASA PERIODE KLASIK
BalasHapusPUISI, sebuah kesenian yang berkembang pada masa Aristoteles, terbagi menjadi tiga jenis, yakni tragedi–menceritakan kehidupan kaum bangsawan–, komedi–meneritakan kehidupan orang jelata–, dan epos–menceritakan dewa-dewa–.
Aristoteles memandang bahwa kesenian sebagai “imitasi”, “tiruan”, atau “pencerminan” dalam wujud yang indah dari apa yang sesungguhnya terdapat atau terjadi, baik di dunia yang dihuni manusia atau di dunia yang dihuni dewa-dewa.
Murid Plato ini menerangkan bahwa ada tiga unsur yang terlibat dalam seni puisi yang dinikmati keindahannya oleh manusia, antara lain objek, media, dan penampilan kesenian.
OBYEK KESENIAN, yang dimaksud adalah sasaran, tujuan, atau permasalahan yang ditampilkan kepada pendengar atau penonton. Ia menggolongkan obyek menurut kalangan di mana masalah itu terjadi menjadi tragedi, komedi, dan epos.
MEDIA KESENIAN, yakni alat penghubung yang digunakan sang seniman untuk menciptakan hubungan dengan sang penonton atau pendengar. Hal yang penting di sini antara lain suara, bahasa, mimik, nada, ritme, dan irama.
PENAMPILAN KESENIAN, yaitu cara-cara menyampaikan puisi itu, misalnya dengan menceritakan saja (naratif), secara sajak (deklamasi), berupa percakapan (dialog), atau sandiwara (drama) yang melibatkan lebih dari dua pelaku.
Aristoteles menegaskan bahwa tujuan dari semua kesenian (puisi dan drama) adalah baik. Sambil menikmati keindahan seni yang disajikan, para penonton membayangkan apa yang bisa terjadi pada dirinya sendiri, seolah-olah mereka sendiri mengalamai peristiwa dan masalah yang disajikan. Dengan ikut merasakannya, penonton mengalami “pembebasan” dari problem atau kesulitan serupa yang mereka hadapi pada kehidupan sehari-hari. Pembebasan dari kesulitan dan dari ketegangan jiwa yang sedang menekan manusia ia namakan KATARSIS. Di samping menikmati keindahan dalam menyaksikan kesenian, dan dengan rangsangan emosinya manusia mengalami katarsis itu sebagai pembersihan jiwa dirinya, yang mempunyai efek pengobatan rohaniah. (A.A.M. Djelantik, 1999 :116-117)
Ringkasnya, KATARSIS bisa dikatakan sebagai pembebasan jiwa dari permasalahan berupa kesulitan hidup yang dirasakan oleh penikmat seni sebagai hasil dari menikmati kesenian, baik berupa puisi, drama maupun selainnya.
EKO GUNAWAN
2102407036
Rombel 1
Teori estetika baru lahir pertengahan abad ke-18 melalui pemikiran yang memisahkan estetika dari filsafat oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1750). Sejak kelahirannya, teori estetika telah melalui jalan panjangnya yang berliku-liku dengan warna dan semangat zamannya hingga hari ini. Di era modern misalnya, estetika dipandang sebagai sesuatu yang terbebas dari segala determinasi di luar dirinya. Ia adalah sesuatu yang otonom, artinya bentuk estetik (sastra, seni) harus memutuskan dirinya dari realitas sosial, dan secara murni bergelut dengan persoalan-persoalan formal; pemisahan seni tinggi dan rendah, yang estetis adalah seni tinggi.
BalasHapusBerbeda halnya di era pos-modernisme yang menolak adanya oposisi biner dalam bentuk-bentuk estetis, tidak ada seni tinggi atau seni rendah. Dalam pandangan ini, bentuk-bentuk estetika tidak lepas dari persoalan-persoalan di luar dirinya. Di dalamnya, bermain tanda-tanda yang penuh dengan persoalan sosial politik. Sastra dan seni tidak lagi dapat dipahami hanya dengan mengadakan analisis teks saja, tetapi analisis konteks juga sangat diperlukan untuk mengungkap makna-makna ironis yang terselubung.
Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.
Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep.Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.
Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya.
Heti Novita Sari
2102407041
Rombel :02
NAMA :RISKI PAMEDHARSIH
BalasHapusNIM :2102407169
ROMBEL:6
Dalam perkembangan sejarah estetika yang dimulai dari periode klasik, periode kritik, periode positivisme,periode modernisme,hingga pada periode postmodernisme, muncul beberapa tokoh yang saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing, beberapa diantaranya adalah :
1.IMMANUEL KANT dalam Critique Of Judgement (1790) yang dikutip oleh Porphyrios (1991), menyatakan bahwa suatu ide estetis adalah representasi dari imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu . Kant menyatakan adanya dua jenis keindahan, yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam dirinya sendiri, sementara keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan manusiayang dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu.
2.ARISTOTELES, sedikit berbeda dengan pandangan dari Immanuel Kant, Aristoteles dalam Poetics menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan indah karena mengikuti aturan-aturan (order) dan memiliki magnitude atau memiliki daya tarik, sedangkan seni melukiskan kenyataan,penampakan kenyataan dan ide-ide yang tidak lepas antara yang satu dengan yang lainnya.Dalam setiap objek yang diamati didalam kenyataan terkandung idenya dan tidak dapat dilepaskan dari objeknya.Aristoteles menilai sastra lebih tinggi dari pada penulisan sejarah tertentu.
3.PLATO menyatakn bahwa keindahan adalah sesuatu yang disadari manusia melalui keindahan awal, dan memandang keindahan sebagai prinsip transenden di atas subjek dan di atas alam.
NILA ERMA WIDYAWATI
BalasHapus2102407072
ROMBEL :3
PERIODE KLASIK
1. Aristoteles (384-322)
Pandangan Aristoteles tentang Estetika. menurut Aristoteles, keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia. Titik pangkal pandangan Aristoteles ialah bahwa karya seni harus dinilai sebagai sutu tiruan yakni tiruan dunia alamiah dan tiruan dunia manusia. Dangan karya tiruan, Aristoteles tidak memaksudkannya sekedar "tiruan belaka". karya seni seharusnya memiliki keunggulan "filsafi"yakni bersifat dan bernada "Universal". dengan begitu karya seni diharapkan menjadi lambang atau simbol yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali oleh si penggemar karya seni itu., berdasarkan pengalamannya sendiri. Entah itu ia dalam posisi sebagai pemain atau penonton. Pokok pandangan Aristoteles yakni tentang "katarsis" artinya "pemurnian" yang diasalkan dari kata "katharos" artinya "murni" atau "bersih". Menurut Aristoteles,"katharsis" adalah puncak dan tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Pandangan Aristoteles tentang "katharsis" sangat mempengaruhi filsafat tentang karya seni, bahkan teori drama. Biasanya "katharsis" diharapkan terjadi dalam diri penonton dan yang kemudian dibawanya pulang sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia. Sebagai pembebasan batin juga dari segala pengalaman penderitaan. Dengan begitu "katharsis" memiliki makna terapeutis dari segi kejiwaan, bahkan didalamnya kerap kali terdapat unsur penyesalan dan perubahan, semacam pertaubatan dalam rangka religius. selain pengrtian diatas dewasa ini kerap kali ditekankan bahwa "katharsis" secara obyektif pertama-tama terjadi pada "diri" paran dalam susunan tragedi itu sendiri.
Purnaningrum L D
BalasHapusRombel 06
2102407166
Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam.
Lebih jauh, Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.
Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya.
Dalam konteks penelitian, metodologi atau pendekatan dalam estetika filosofis yang cenderung spekulatif dianggap tidak memenuhi standar penelitian ilmiah. Dalam hal ini, kita dapat melangkah pada pembahasan estetika yang lain yaitu estetika yang bersifat keilmuan.
Terutama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mulai mengarahkan minat pada fenomena seni sehingga secara berturut-turut dapat ditunjuk pertumbuhan sub-disiplin seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Psikologi Seni, Sosiologi Seni, Manajemen Seni.
Cabang-cabang disiplin ini selain disebut sebagai Estetika Keilmuan, juga sering disebut dengan ilmu-ilmu seni. Estetika keilmuan atau ilmu-ilmu seni ini dalam pendekatannya bersifat empiris dan mengikuti tahap-tahap penelitian ilmiah seperti observasi, klasifikasi data, pengajuan hipotesis, eksperimen, analisis, dan penyimpulan teori atau dalil. Selain itu, pendekatan empiris pada karya seni melahirkan disiplin lain mencakup kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik.
Atika Vidyaninggar
BalasHapus2102407149
Rombel : 6
Sejarah Perkembangan Estetika Periode Klasik Menurut Aristoteles
Seni menurut Aristoteles merupakan kegiatan meniru atau tiruan dari dunia, alam, benda dan manusia (konsep Mimesis dan Imitasi). Bagi Aristoteles Mimesis bersifat positif, karena dalam mimesis terdapat ide (from). Mimesis berarti representasi (representing). Selain itu juga Mimesis mimesis berarti membuat kemiripan (likeness, semblance). Mimesis merupakan penciptaan hal baru, bukan meniru yang sudah ada. hanya karya seni yang bersifat mimesis.Katarsis adalah luapan emosi, perasaan setelah menyaksikan drama tragedi.
Katarsis berupa sentakan emosi, kejutan, tak terduga sebagai emosi yang memuncak lalu menurun. Katarsis ini dianggap membebaskan batin manusia dari penderitaan dan tekanan. Katarsis bersifat mengharukan. Katarsis juga merupakan pemahaman yang mendalam tentang manusia dan bermakna mengobati jiwa (terapeutik). Katarsis juga memiliki makna pertobatan dari dosa atau kesalahan.
Periode Modernisme
BalasHapusSusanne K. langer merupakan pemikir estetika pada periode modernisme. Dalam gagasannya, beliau membicarakan mengenai simbolisme. Dalam kajian maknanya, simbolisasi suatu objek estetis menjadi suatu hal yang penting, karena makna secara tajam dapat diamati pada proses penyimbolan satu fenomena atau juga penyimbolan gagas estetik. Peranan Langer di sini dalam memaparkan teori simbol-simbol menjadi lebih penting.
Simbol yang ”diskursif” atau yang nalar dalam lingkup Neopositivisme, merupakan simbol logika modern untuk melakukan berbagai analisa pengungkapan. Simbol-simbol ini secara jelas terlihat dalam konstruksi logika kebahasaan. Tiap simbol mewakili satu nama, sehingga deretan simbol akan tersusun menurut aturan sintaksis tertentu yang menghasilkan suatu gambaran mengenai satu kenyataan tertentu. Simbol diskursif menyiratkan suatu struktur yang dibangun oleh berbagai unsur teratur yamg dapat dipahami maknanya. Tidak ditaatinya aturan yang menghubungkan unsur tersebut, akan menyebabkan tidak adanya stuktur yang jelas dan kaburnya makna simbol itu. Jika hal ini diterapkan dalam kalimat, misalnya tidak ditaatinya hukum sintaksis, maka menyebabkan kalimat tersebut kehilangan maknanya, sehingga tidak dapat dipahami.
Langer mempertanyakan kemungkinan suatu jenis simbol lain yang pemahamannya tidak bergantung pada hukum yang mengatur perhubungan unsur-unsurnya, tetapi pada intuisi. Jenis simbol inilah yang disebut sebagai simbol ”presentasional”. Simbol macam ini tidak berupa suatu konstruksi yang dapat diuraikan ke dalam unsur-unsurnya, tetapi suatu kesatuan bulat dan utuh. Simbol tersebut dapat menjadi unsur dari suatu simbol ”diskursif”. Sebagi unsur, simbol presentasional tidak dapat diuraikan lagi ke bagian yang lain yang lebih kecil. Simbol presentasional tidak harus menjadi unsur saja, namun dapat berdiri sendiri sebagai suatu simbol yang penuh , bukan sebagai konstruksi, bukan pula sebagai unsur dari suatu susunan. Simbol semacam itulah yang yang terdapat dalam kreasi seni atau karya estetik.
Oleh:
Munika Indra R.
2102407064
Rombel 03
Nama : Happy Fransisca
BalasHapusNIM : 2102407048
Rombel: 3
Pemikiran estetik klasik terutama Leibniz dan Baumgarten menjadi wacana penting di era pencerahan. Dua pemikiran tokoh ini dinilai bertolak belakang. Hal itu dijembatani oleh Emmanuel Kant secara lebih elegan antara paham besar estetika Leibniz (simbolisme, vitalisme, teleologisme) kemudian dan Baumgarten (estetika sebagai ilmu). Kant menawarkan agar prinsip-prinsip estetika dapat dipahami sebagai ilmu pengetahuan yang sebelumnya telah diupayakan oleh Baumgarten namun belum tuntas. Bousanquet bahkan berpendapat bahwa Kant adalah tokoh yang mampu menempatkan logika di dalam estetika dan menganalisis karya seni secara sangat ilimiah.
Nama : Tri Anjani
BalasHapusNIM : 2102407052
Rombel : 3
Di era Postmodern, estetika kembali menjadi bahan kupasan yang luas sebagai bagian dari kajian filsafat nilai. Hal itu karena penampakannya semakin terasa dan sejalan pula dengan fenomena sosial yang tengah dihadapi pelbagai bangsa di dunia. Tumbuhnya sub budaya baru yang meluas serta spirit multikulturalisme menjadikan runtuhnya sekat-sekat dalam wacana estetik, karena tidak ada lagi Timur-Barat, Atas-Bawah, Lokal-Global, KOntekstual-Universal, Makna-Instan, Realitas-Simulasi, Kelembutan-Horor, ataupun Tradisional-Modern. Semuanya masuk ke dalam percaturan Postrukturalisme. Dalam situasi tersebut, dunia estetika kembali memposisikan diri dalam situasi "chaos" dan "anomali". Tidak ada lagi nilai-nilai, makna, kebenaran, dan keindahan yang absolut. Estetika mengalami kondisi kebuntuan paradigma, karena tatanan kebudayaan yang bernilai telah mengalami perubahan yang substansial. Bingkai falsafahnya mengalami 'retakan-retakan' yang kian membesar.
Para pelaku estetis dan pemikir estetika masa kini, secara tidak langsung telah memberi "tanda budaya" dan menggiring kognisi sosial masyarakat ke arahdunia yang retak-retak tersebut. Masyarakat tidak lagi peduli terhadap nilai-nilai, norma-norma, kepatutan, kebaikan, ataupun kearifan. Pelipatan dan percepatannya berlangsung bertubi-tubi, terutama sejak media tayang elektronika mengalamikemajuan, baik dalam gagas lunak maupun operasional. Situasi tersebut mempercepat proses keruntuhan nilai konvensional yang semakin mendasar karena apa pun yang dilakukan untuk menggoncang peradaban dapat disahkan sebagai karya estetik, seperti horor, teror, pornografi, pembajakan, despritualisasi, dehumanisasi sampai demoralisasi. Dalam kondisi inilah estetika Barat dituntut berdiri di depan untuk menuntun dunia seni agar tak terperosok semakin jauh ke arah kegelapan.
Plato tokoh filosof ldealisme, mengajukan konsep bahwa hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk). Pemahaman ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada kenyataan Idea. Bagi Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas. Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme
BalasHapusKomentar perkembangan sastra pada perkembangan kritik.
BalasHapusKritik membutuhkan teori dan teori sesungguhnya hanya berperan sebagai alat bantu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Kemenangan kaum fenomenologi pada kritik sastra ikut memengaruhi selera estetik hingga berdampak pada sistem penilaian, yakni apakah sastra (karya sastra) itu bernilai estetik atau tidak. Jika kita mengikuti pemahaman tradisi hermeneutik modern dan fenomenologis, peran penafsir, pembaca, dan juga kritikus bergerak dari sifat obyektif menuju posisi intersubyektif kemudian menjadi subyektif lagi. Kondisi ini menimbulkan satu pertanyaan bagi kita semua yakni, bagaimanakah posisi teori sastra itu sendiri?
Keberadaan teori sastra menjadi kabur, kaku, dan sebagai hakim yang menentukan bernilai estetik atau tidaknya suatu karya. Teori sastra menjadi ”dewa” dalam memberi pengadilan pada karya. Kondisi ini telah melupakan dan mengasingkan hakikat kehadiran karya itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan teori sastra sebagai ”alat mekanik” atau ”estetik mesin”. Melihat inter-relasi hadirnya karya, muncul tiga konsep yang berinteraksi dalam satu lingkaran yakni karya, pembaca, dan pengarang. Ketiga komponen tersebut merupakan satu dialog. Pemisahan terhadap komponen yang satu dengan yang lain merupakan ciri kritik sastra kita yang menurut sudah tidak relevan. Namun, amat bermasalah jika menggabungkan antarkedudukan komponen tersebut tanpa mempertimbangkan konsep-konsep teori yang tentu saja mengandungi paradigma yang berbeda. Hal ini menurut saya akan menghasilkan kritik gado-gado yang kehilangan selera dan rasa. Tapi, mengapa kita masih mengikuti tradisi itu?
Jika melihat perkembangan dalam dunia kritik sastra, kita mengenal konsep formalisme, strukturalisme, Marxis, pasca-Marxis, dan pascastrukturalisme, termasuk pascamodern. Kaum formalis membatasi kritik pada level tekstual dan teknik-metodelogis. Strukturalisme ternyata telah melakukan pembunuhan terhadap subyek dalam menerapkan kritiknya. Pascastruktural hanya menjadikan kritik sebagai wacana, reproduksi makna, melakukan decentering terhadap logosentris, dekontruksi terhadap struktur, dan melakukan strukturasi sehingga melakukan penngrusakan struktur dan melampaui struktur itu sendiri. Pasca-Marxis berusaha membangkitkan subyek yang terbunuh oleh struktrualisme dalam relasi kelas dalam mana subyek tersebut dijadikan sebagai penyalur berbagai subyek imajiner dalam pembangunan suatu wacana.
Semua kritik sastra yang bersumber pada teori sastra tersebut gagal menjawab hubungan inter-relasi pada hakikat kehadiran atau terciptanya satu karya seni (sastra). Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengatasi kegagalan tersebut?
Pertanyaan yang belum mampu dijawab oleh kritik sastra dan teori sastra kita itu masih ditambah dengan perkembangan selera dan ekspresi manusia dalam bersastra yang mencapai taraf ketidakpercayaan, permainan, dan kehausan. Kritik yang berkembang pada periode selanjutnya adalah ”studi”. Embrio tersebut sesungguhnya telah ada dalam studi lanjut bidang ilmu sastra, yakni Studi Sastra Banding. Perkembangan tersebut direspons dengan muncul kritik sastra yang bernama ”Kajian Budaya”. Istilah kajian budaya atau culture studies ini merupakan istilah yang rumit dan kompleks. Kajian ini (kritik) berbeda dengan kajian sastra Pasca-Marxis. Tujuan dari pendekatan ini tidak lain untuk mengungkapkan kompleksitas inter-relasi hadirnya obyek karya dengan proses yang berlangsung dalam pengkonstruksian nilai estetik suatu karya. Pendekatan ini akhirnya jatuh pada pembuktian konstruktif dari teori sastra dan kritik sastra sebelumnya. Inilah kegagalan kajian budaya dan mengapa kajian budaya terus digunakan?
Melani Budianta (2002) menyebutkan istilah kunci untuk kajian (sastra). Pertama, genealogi atau sejarah asal-muasal yang menelusuri teori-teori budaya dari Mathew Arnold hingga teori pascamodern. Kedua, aneka ragam kajian budaya kontemporer dengan teori dan pendekatan yang berbeda. Ketiga, sejumlah konotasi tentang agenda dan orientasi sekelompok ilmuwan yang tidak dibahas secara koheren dan eksplisit.
Kritik sastra yang berpedoman pada kajian budaya tersebut pada akhirnya jatuh pada pembuktian konstruksi estetik semata. Paradigma yang terakhir dalam dunia kritik sastra atau teori sastra sejak zaman romantik Inggris, formalis, strukturalisme, hermeutik, pasca-Marxis, pascastrukturalis, pascamodern dan culture studies atau dari abad XX hingga XXI telah menunjukkan kelemahan dan kegagalan dalam mendekati dan membaca karya sastra.
Pendekatan kritis menawarkan satu teori sastra yang membongkar wacana kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik sastra adalah konstruksi dari bagian dalam pembentukan subyek dan realitas sehingga terlibat pada kepentingan tertentu, baik politik dan ekonomi. Kritik sastra, teori sastra dan sejarah sastra harus mengenali dan mengakui subyektivitasnya sendiri. Obyektivitas dalam bentuk apapun tidak akan tercapai dalam inter-relasi kehadiran karya itu sendiri.
Ilmu sastra yang meliputi teori, kritik, sejarah dan sastra bandingan sesungguhnya harus melepaskan dirinya dari strukturisasi dan konstruksi. Ilmu sastra harus mengambil posisi bersifat murni dan kritis terhadap kekuatan hegemonik yang dihadapi.
Keadaan ini seharusnya diperhatikan untuk peneliti, pembelajar dan pengajar atau profesor sastra dan linguistik/bahasa untuk direnungkan kembali kekuatan hegemonik apa yang berada dan bersembunyi di balik ilmu yang mereka agung-agungkan dan mereka pelajari serta ajarkan. Jika tidak, betapa mereka yang telah menjadi budak yang bodoh dan tukang yang tak bernama, selayaknya kita merenungkan satu pernyataan dari Spivak berikut ini: ”Tanpa menghadapkan pandangan kita ke Barat, kita tidak mungkin menjadi seorang intelektual”.
MUSTAKIM
2102407070
ROMBEL 02
Yoga Ari Subagyo
BalasHapus2102407071
rombel 2
Menurut saya, Teori estetika baru lahir pertengahan abad ke-18 melalui pemikiran yang memisahkan estetika dari filsafat oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1750). Sejak kelahirannya, teori estetika telah melalui jalan panjangnya yang berliku-liku dengan warna dan semangat zamannya hingga hari ini. Di era modern misalnya, estetika dipandang sebagai sesuatu yang terbebas dari segala determinasi di luar dirinya. Ia adalah sesuatu yang otonom, artinya bentuk estetik (sastra, seni) harus memutuskan dirinya dari realitas sosial, dan secara murni bergelut dengan persoalan-persoalan formal; pemisahan seni tinggi dan rendah, yang estetis adalah seni tinggi.
Estetika mulai dikenal pada tahun 1735 oleh Baumgarten, hal tersebut tidak berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.
Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep.Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.
Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya.
MUHAMMAD ELLY YULIANTO
BalasHapus2102407067
ROMBEL 2
PANDANGAN PLATO
Ajaran Plato mengatakan bahwa seni adalah pencarian dan penemuan secara spontan, wajar dan penuh kejujuran. Seni berkaitan dengan penemuan keselarasan (harmoni) yang sebenarnya ada pada diri semua orang.Namun juga mencakup seni dan pengalaman estetis, karena baik seni dan keindahan dipandang sebagai gejala (fenomena) yang kongkrit dan dapat ditelaah secara empirit dan sistimatik ilmiah.
Konsep bahwa seni selalu indah, bahwa seni adalah idealisasi dari alam oleh manusia (ars homo additus nature) seperti yang dianut kebudayaan Yunani kuno sebenarnya adalah salah satu dari yang ada. Ia berbeda dengan ideal seni Cina dan seni India yang cendrung kepada bentuk yang metafisik, abstrak, religius dan lebih bertumpu pada intuisi daripada rasio. Pada dasarnya seni bukanlah sekedar ekspresi dari setiap ideal yang spesifik dalam bentuk yang plastis. Seni adalah ekspresi dari semua ideal yang dapat diungkapkan oleh seniman kedalam tata bentuk plastis yang berkualitas estetis, baik yang serba menyenangkan maupun menakutkan, mengharukan bahkan memuakkan. Nampak bahwa seni tidak selalu mesti indah dan menyenangkan, keindahan harus diartikan sebagai kualitas abstrak yang merupakan landasan elementer bagi kegiatan artistik. Eksponen penting dalam kegiatan ini adalah manusia sedangkan kegiatannya diarahkan untuk menghayati serta menjiwai tata kehidupan (diantaranya termasuk kehidupan estetis).
Dalam peristiwa kegiatan terjadi tiga tahapan,
1.Proses pengamatan perseptual (indrawi) terhadap kualitas materi dari unsur-unsur gerak, warna suara,bentuk dan reaksi-reaksi fisiologis lain yang kompleks.
2.Tata susunan dari kualitas materi tersebut yang tejalin secara organik dalam tatanan bentuk dan pola yang harmonis. Melalui kedua tahapan penghayatan tersebut muncullah kesadaran estetis.
3.Apabila tata susunan yang harmonis tersebut dengan sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dengan perasaan (emosi). Maka dapat dikatakan, bahwa emosi atau perasaan itu akan memberikan ekspresi sebagai unsur komunikasi . dalam hal inilah dikatakan bahwa seni adalah ekspresi dan bahwa tujuan sebenarnya dari seni adalah untuk mengkomunikasikan perasaan melalui tatanan bentuk plastis yang harmonis. Sedangkan arti dari keindahan, sebenarnya lebih mengacu pada perasaan yang dikomunikasikan lewat tata bentuk itu. Keindahan adalah unsur emosional sesuatu perasaan terpesona yang menyenangkan pada diri kita, yang ditimbulkan dari unsur-unsur karya keindahan merupakan kesadaran yang bersifat apresiatif, suatu sensasi yang membangkitkan kekaguman dan penghargaan.
Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah lebih unggul.
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada.
ARISTOTELES (384-322)
Pandangan Aristoteles tentang Estetika. menurut Aristoteles, keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia. Titik pangkal pandangan Aristoteles ialah bahwa karya seni harus dinilai sebagai sutu tiruan yakni tiruan dunia alamiah dan tiruan dunia manusia. Dangan karya tiruan, Aristoteles tidak memaksudkannya sekedar "tiruan belaka". karya seni seharusnya memiliki keunggulan "filsafi"yakni bersifat dan bernada "Universal". dengan begitu karya seni diharapkan menjadi lambang atau simbol yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali oleh si penggemar karya seni itu., berdasarkan pengalamannya sendiri. Entah itu ia dalam posisi sebagai pemain atau penonton. Pokok pandangan Aristoteles yakni tentang "katarsis" artinya "pemurnian" yang diasalkan dari kata "katharos" artinya "murni" atau "bersih". Menurut Aristoteles,"katharsis" adalah puncak dan tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Pandangan Aristoteles tentang "katharsis" sangat mempengaruhi filsafat tentang karya seni, bahkan teori drama. Biasanya "katharsis" diharapkan terjadi dalam diri penonton dan yang kemudian dibawanya pulang sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia. Sebagai pembebasan batin juga dari segala pengalaman penderitaan. Dengan begitu "katharsis" memiliki makna terapeutis dari segi kejiwaan, bahkan didalamnya kerap kali terdapat unsur penyesalan dan perubahan, semacam pertaubatan dalam rangka religius. selain pengrtian diatas dewasa ini kerap kali ditekankan bahwa "katharsis" secara obyektif pertama-tama terjadi pada "diri" paran dalam susunan tragedi itu sendiri.
IMMANUEL KANT
Dalam Critique Of Judgement (1790) yang dikutip oleh Porphyrios (1991), menyatakan bahwa suatu ide estetis adalah representasi dari imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu. Kant menyatakan adanya dua jenis keindahan, yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam dirinya sendiri, sementara keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan manusiayang dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu.
RATNA PUSPITA DEWI
BalasHapus2102407062/Rombel 03
Gagasan Tokoh Filsafat Estetika Pada Masa/periode Kritik Terhadap Modernitas
Albert Camus (1913-1960)
Albert Camus adalah seorang penulis Prancis yang memperjuangkan kebebasan, keindahan, dan harga diri manusia masyarakat modern. menurut Camus, seniman adalah seseorang yang berkreasi melalui seni dengan logika tersendiri yang berbeda dengan logika bidang-bidang lain. seorang seniman mengalami pengalaman estetis yang tersusun atas empat hal yaitu:
1. objek
pengalaman estetis tanpa objek tidak akan ada pengalaman apapun.
2. intuisi
pemahaman langsung terhadap objek yang tidak berdasarkan pada kualitas kategoris.
3.pengetahuan
pengetahuan tenytang nilai-nilai kategori ideal seperti keteraturan, kejelasan dan kesempurnaan.
4.pengalaman
melalui pengalaman seseorang memiliki kemampuan menempatkan suatu objek sehingga bernilai estetis.
Kreativitas dalam diri manusia memiliki keistimewaan dibandingkan yang lain. manusia tidak sekedar memproduksi kreativitas, tetapi mampu melakukan kritik, memperbaiki, memperbarui dan menciptakan yang baru.
Syarat-syarat munculnya kreativitas:
1. kebebasan
dengan adanya kebebasan dapat tercipta suatu kreativitas dengan merenungkan dan mencipta bentuk dan peluang baru.
2.hubungan/komunikasi
untuk melakukan tukar informasi dan pengalaman
3.keberanian
merupakan penentu akhir aktualisasi kreativitas.
Dalam beberapa tulisannya Camus memaparkan peran yang dilakukan kreativitas estetis pada seniman dalam kehidupan yang lebih luas. Diluar bingkai kesenian, seniman adalah orang yang menolak sekaligus menerima dunia.Seniman juga ingin mengubah dunia menjadi lebih indah, lebih teratur dan lebih bermakna. Lukisan, patung, novel adalah usaha manusia untuk menghadirkan dunia khayal yang diimpikannya.Kreativitas dalam berkesenian adalah pemberontakan, tatanan sosial, dan pada diri sendiri.
pemberontakan memberi nilai pada kehidupan, mengembalikan kebesaran pada eksistensi manusia
pada zaman modern, ketika semangat kebudayaan semakin rasional dengan pandangan dunia yang mekanitis, seni menunjukan perkembangan yang impersonal.Ketika masyarakat Barat semakin menjadi komunitas industrial peran agama-agama besar memudar dan sekularisme tumbuh. Saat itulah, seni mulai kehilangan kendali dari pusat kekuasaannya sehingga leluasa untuk memilih jalan yang hendak ditempuhnya.
Camus sebenarnya memberontak terhadap dampak negatif modernitas yang terjadi di masyarakat Barat. Karya-karyanya mempertanyakan eksistensi manusia modern yang serba absurd, mustahil, tak masuk akal, semua boleh, dan naif.
Tawarannya untuk mengatasi semua hal itu adalah "bunuh diri" melalui pemberontakan pada semua hal dan pada semua substansi, termasuk keberadaan dirinya sendiri.
RATNA PUSPITA DEWI
2102407062
Rombel 03
LUKHI AMBARWATI
BalasHapus2102407168
Rombel 6
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ESTETIKA PADA PERIODE POSTMODERNISME Menurut Charles Sanders Pierce
seperti halnya yang terjadi pada kemunculan aliran kritisme yang mengkritik faham/aliran sebelumnya yakni klasik dogmatisme, aliran postmodernisme ini juga muncul sebagai upaya dari sebuah pergerakan pemikiran para tokoh pemikir untuk mengkritik pandangan atau pemikiran modernisme. hal ini karena dalam banyak hal, selain memperlihatkan segi-segi positif, modernisme sebagai faham yang berkembang begitu luas dalam berbagai bidang kehidupan tetapi juga memperlihatkan segi-segi negatif.
PENGERTIAN ALIRAN POSTMODERNISME
Postmodernisme merupakan reaksi dan penolakan terhadap pandangan modernisme yang dianggap terlalu banyak cara. Postmodernisme menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang merosotnya wewenang modernisme dan munculnya epistimologi baru yang dalam jangkauan khasanah kesenian dan intelektual memutuskan hubungan dan atau berlawanan dengan paradigma modernisme. Dalam faham postmodernisme, pluralitas, heterofinitas, dialog, interaksi, dan relasi dengan unsur-unsur realitas yang lain, kreativitas yang mengalir terus mendapat tempat dan lebih dihargai. Postmodernisme memberikan kebebasan kehidupan dan kreativitas untuk menemukan unsur-unsurnya sendiri atau jati dirinya. beberapa aspek sentral yang diasosiasikan dengan postmodernisme dalam seni adalah penghapusan batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, ekologis, lebih bersentuhan dengan lingkungan alam, runtuhnya perbedaan hirarkhis antara kebudayaan populer dan kebudayaan elit, eklektisisme stilistik dan pencampuran kode atau aturan.
Postmodernisme adalah sebuah gerakan di kebudayaan kapitalis lebih lanjut, secara khusus dalam seni, yang memberikan pemahaman baru yang berbeda atas apa-apa yang telah menjadi semacam mistifikasi atas kebenaran atau kenyataan tunggal yang dikembangkan oleh ideologi modernisme.
TEORI EKSPRESI DAN INTUISI
Teori ekspresi adalah pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai sesuatu peristiwa yang bersifat menyatakan atau menjelaskan, misalnya suara, senyum, pandangan, isyarat, harapan dan kekecewaan. Sedangkan Intuisi adalah bisikan hati, gerak hati, daya batin untuk mengerti atau mengetahui sesuatu tidak dengan berpikir atau belajar.
ANIMAL SYMBOLICUM (simbol-simbol pada binatang)
merupakan segala sesuatu yang melambangkan adanya suatu tanda/lambang pada binatang yang terbentuk atas dasar konvensi sebagai identitas diri.
SEMIOTIKA menurut Pierce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence), atau kerja sama 3 subjek yaitu tanda, objek dan interpretasi. tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal/kapasitas. Tanda dapat berarti sesuatu bagi seseorang jika hubungan yang berarti ini diperantarai oleh interpretasi. jadi esensi tanda menurut Pierce adalah kemampuan "mewakili" dalam beberapa hal/kapasitas tertentu. Semoitika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya:cara berfungsinya, hubungannya, dengan tanda-tanda lain., pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakan.
PETANDA & PENANDA
Petanda (signifie) adalah unsur konseptual, gagasan,atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut.Sedangkan Penanda (signifient) adalah berupa bunyi-bunyi ujaran/huruf-huruf tulisan. Misalnya bunyi 'buku', bunyi atau tulisan buku itulah yang disebut penanda, sedangkan sesuatu yang diacu itulah petanda. dalam teori Saussure, walau keduanya dapat disebut sebagai dwitunggal hubungan antara penanda dengan petanda bersifat arbiter artinya hubungan antara wujud formal bahasa dengan konsep/acuannya, bersifat "semaunya" berdasarkan kesepakatan sosial. antara keduanya tidak bersifat identik bahwa bunyi 'buku' itu mengacu pada benda itu, hal itu terjadi karena masyarakat pemakai tanda (bahasa) itu menyepakatinya. kenyataan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, mata, bentuk tulisan, warna, karya seni, dll.
IKON merupakan simbol yang mempunyai arti pada objek yang ditandainya. selain itu, ikon adalah tanda gambar dari wujud yang dapat diwakili.Dapat dikatakan ikon jika ia berupa hubungan kemiripan. INDEKS adalah tanda yang menunjukkan adanya sesuatu yang lain seperti ada asap ada api. indeks merupakan sesuatu yang menyebabkan sutu peristiwa yang berkaitan. Disebut indeks jika ia berupa hubungan kedekatan eksistensi. SIMBOL adalah segala sesuatu yang melambangkan adanya sesuai benda yang digunakan identitas sendiri. Disebut simbol jika ia berupa hubungan sudah terbentuk secara konvensi.
Meaning dan significance (signifikasi) merupakan proses kebudayaan sebagai proses komunikasi, jadi sistem signifikasi yang mendasarinya sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman. Kode adalah sistem signifikasi yang merangkaikan kenyataan yang ada dengan unit-unit yang tidak ada. Jika sesuatu yang benar-benar tersaji pada persepsi orang yang dituju mewakili sesuatu yang lain, itu berarti ada signifikasi. Sistem signifikasi adalah konstruk semiotika yang otonom, yang mempunyai model eksistensi abstrak, bebas dari kemungkinan tindak komunikatif yang dimungkinkannya.
LITTERARINESS dalam bahasa latin yang berarti mengenai sastra. Sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun/dipakai untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan berlangsung untuk sementara waktu. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. sastra merupakan suatu luapan emosi yang spontan. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain, sastra tidak bersifat komunikatif. Karya sastra yang otonom bercirikan suatu koherensi, karena sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling berkaitan, dan sastra mengungkapkan yang tak terungkap misalnya makna puisi itu sulit dipahami secara sekilas.
HORISON HARAPAN yaitu penafsiran masing-masing pembaca, dalam hal ini pembaca diminta menyelesaikan sendiri ending ceritanya.
Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertekstualitas, mencari bekas-bekas teks-teks lain. seorang kritikus yang mengikuti paham dekonstruksi menguraikan struktur-struktur retorik yang dipakai mencari pengaruh-pengaruh dari teks-teks yang dulu pernah ada, meneliti etimologi kata-kata yang dipergunakan lalu berusaha agar dari teks yang sudah ada dibongkar itu disusun menjadi sebuah teks baru. Yang menjadi sasaran dekonstruksi adalah memperlihatkan sejauhmana seorang pengarang mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk kepada suatu visi tertentu. Tugas terpenting seorang dekonstruksi adalah terus-menerus melacak kembali bekas-bekas lain itu. Aliran dekonstruksi mengatakan bahwa mereka didukung oleh suatu filsafat tertentu serta sebuah pandangan mengenai bahasa.
Wacana Estetika Pramodern
BalasHapusPada hakikatnya estetika terlahir pada zaman kebudayaan Yunani. Penyadaran akan keindahan ini bermula melalui dialog antara Socrates dan Hippias tentang berbagai keindahan.Pada akhir dialog tersebut, Socrates berpendapat bahwa keindahan merupakan hal yang relatif. Keindahan yang mutlak didapat dari ciptaan Tuhan YME. Socrates juga berpendapat bahwa keindahan terbangun karena dirinya sendiri sehingga ia menyebutnya sebagai indah yang sesungguhnya.
Plato, seorang murid Socrates, memandang keindahan sebuah objek disadari manusia melalui keindahan "awal" atau keindahan yang mula-mula. Keindahan awal ini membangun asumsi objek tersebut memang indah. Asumsi inipun dapat dibangun karena adanya "cinta" yaitu membangun adanya keindahan yang ideal. Penyingkapan keindahan yang ideal ini membutuhkan kesucian hati dan jiwa serta berupaya mengosongkan pikiran dan membersihkan dosa. Upaya ini dilakukan untuk memperoleh keindahan yang sejati.
Jika Plato berpendapat bahwa keindahan didapat dari pikiran yang bersih menuju hakikat keindahan yang ideal, maka Aristoteles berpendapat bahwa keindahan objek dicapai melalui keserasian bentuk yang setinggi-tingginya. Menurut Aristoteles,karya seni dinilai lebih indah dibandingkan dengan alam, meskipun dapat pula alam lebih tinggi daripada karya seni. Mimesis atau peniruan alam dipandang Aristoteles sebagai tragedi. Menurutnya, ciri seni bukanlah semata meniru akan tetapi lebih kepada membedah alam dan mengupas esensinya. Oleh sebab itu, menurut Aristoteles bahwa karya seni dibuat untuk memperbaiki sesuatu yang buruk. Tidak hanya sebagai "imitasi" alam belaka.Keindahan pada karya seni itu dapat diperoleh melalui simbol-simbol keindahan yang dijumpai pada berbagai benda dan karya sastra yang indah maupun bangunan yang mempesona.
(Sachari, Agus.2002.Estetika Makna, Simbol dan Daya.Bandung:Penerbit ITB)
Teori estetika baru lahir pertengahan abad ke-18 melalui pemikiran yang memisahkan estetika dari filsafat oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1750). Sejak kelahirannya, teori estetika telah melalui jalan panjangnya yang berliku-liku dengan warna dan semangat zamannya hingga hari ini. Di era modern misalnya, estetika dipandang sebagai sesuatu yang terbebas dari segala determinasi di luar dirinya. Ia adalah sesuatu yang otonom, artinya bentuk estetik (sastra, seni) harus memutuskan dirinya dari realitas sosial, dan secara murni bergelut dengan persoalan-persoalan formal; pemisahan seni tinggi dan rendah, yang estetis adalah seni tinggi.
BalasHapusBerbeda halnya di era pos-modernisme yang menolak adanya oposisi biner dalam bentuk-bentuk estetis, tidak ada seni tinggi atau seni rendah. Dalam pandangan ini, bentuk-bentuk estetika tidak lepas dari persoalan-persoalan di luar dirinya. Di dalamnya, bermain tanda-tanda yang penuh dengan persoalan sosial politik. Sastra dan seni tidak lagi dapat dipahami hanya dengan mengadakan analisis teks saja, tetapi analisis konteks juga sangat diperlukan untuk mengungkap makna-makna ironis yang terselubung.
Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.
Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep.Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.
Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya.
yulia puspitasari/2102407116/r5
Estetika adalah disiplin yang baru di Indonesia. Hingga kini masih sedikit tulisan-tulisan yang berkaitan dengan bidang ini. Beberapa buku tentang Estetika yang bersifat pengantar memang bermunculan pada tahun-tahun belakangan ini, tapi isinya terlalu umum bagi mereka yang memiliki minat kuat menerapkan estetika dalam penelitian seni. Istilah estetika itu kita adaptasi dari kata `aesthetics’ bahasa Inggris. Kata itu dalam tradisi bahasa Inggris juga sesuatu yang baru, diperkenalkan di sekitar 1830 (lihat T.J. Diffey, A Note on Some Meaning of The Term `Aesthetic ‘ dalam `British Journal of Aesthetics Vol. 35, No_ 1, January,1995). Filosof yang pertama kali mempromosikan kata itu adalah Alexander Baumgarten (1714 - 1762), seorang filosof Mazhab Leibnitio-Wolfian Jerman dalam karyanya, Meditationes (1735).
BalasHapusDalam hal ini, perlu dibedakan arti kata yang dalam penggunaan di tingkat akademis sering dipercampurkan, yaitu kata sifat ‘aesthetic’’ diterjemahkan menjadi estetik dan kata benda ‘aesthetics’ diindonesiakan menjadi estetika. Kata ‘aesthetic’, asalnya dari bahasa Yunani, ‘aesthetikos’ berarti `sesuatu yang dapat diserap ‘indera’, atau berkaitan dengan persepsi penginderaan, pemahaman, dan perasaan, lawan katanya yang lebih populer dalam penggunaan di dunia kedokteran adalah ‘anaesthetic’ , anestetik atau patirasa.
Jadi, estetik adalah cara mengetahui melalui indera yang mendasar bagi kehidupan dan perkembangan kesadaran. Meskipun demikian, makna inderawi dari kata estetik dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini semakin jarang dipakai. Kata estetik pada umumnya dikaitkan dengan makna ‘citarasa yang baik, keindahan dan artistik, maka estetika adalah disiplin yang menjadikan estetik sebagai objeknya.
Estetika, dalam tradisi intelektual, umumnya dipahami sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas seni dan objek estetik lainnya. Dalam hal ini Louis Arnaud Reid memberikan batasan estetika filosofis sebagai disiplin yang mengkaji makna istilah-istilah dan konsep-konsep yang berkenaan dengan seni.
Cara kerja estetika filosofis dalam pemahaman Reid, pertama, menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni; kedua menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan konsep-konsep; ketiga, memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi analitis dan sisi kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan positif yang memungkinkan beragam bagian memiliki keterpaduan yang utuh.
Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan.
Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.
Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera.
Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis.
Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep. Plato yang dikenal sebagai tokoh filosof ldealisme, misalnya mengajukan konsep bahwa hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk). Pemahaman ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada kenyataan Idea.
PENDAPAT PLATO
Bagi Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas.
Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam.
Lebih jauh, Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.
Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya.
Dalam konteks penelitian, metodologi atau pendekatan dalam estetika filosofis yang cenderung spekulatif dianggap tidak memenuhi standar penelitian ilmiah. Dalam hal ini, kita dapat melangkah pada pembahasan estetika yang lain yaitu estetika yang bersifat keilmuan.
Terutama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mulai mengarahkan minat pada fenomena seni sehingga secara berturut-turut dapat ditunjuk pertumbuhan sub-disiplin seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Psikologi Seni, Sosiologi Seni, Manajemen Seni.
Cabang-cabang disiplin ini selain disebut sebagai Estetika Keilmuan, juga sering disebut dengan ilmu-ilmu seni. Estetika keilmuan atau ilmu-ilmu seni ini dalam pendekatannya bersifat empiris dan mengikuti tahap-tahap penelitian ilmiah seperti observasi, klasifikasi data, pengajuan hipotesis, eksperimen, analisis, dan penyimpulan teori atau dalil. Selain itu, pendekatan empiris pada karya seni melahirkan disiplin lain mencakup kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik.
Pengertian ‘llmu’ yang dipakai dalam konteks estetika keilmuan bukan dalam pengertian yang eksak sebagaimana ilmu alam. Thomas Munro seorang perintis dalam perkembangan estetika keilmuan memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif tentang arti kata ilmu sebagai cara berfikir yang secara berangsur berkembang dalam satu lapangan fenomena. Dalam hal ini, Munro mengartikan ilmu sebagai suatu cabang studi yang berkenaan dengan observasi dan klasifikasi fakta, khususnya dengan penetapan hukum-hukum yang teruji baik melalui induksi maupun hipotesis atau secara khusus, ilmu berarti pengetahuan yang disepakati dan terakumulasi serta disusun dan dirumuskan dengan merujuk kepada pendapatan kebenaran umum atau gerak hukum umum. Arti ilmu seperti ini memberi tempat bagi berkembangnya ilmu-ilmu seni, seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan lain sebagainya. Lebih jauh estetika keilmuan hendaknya tidak dipahami sebagai suatu subjek yang bertujuan menegakkan hukum universal tentang keindahan dan cita rasa yang baik yang dapat berlaku untuk semua orang, ataupun untuk membuktikan hendaknya seseorang memilih satu jenis seni dari yang lain. Dengan demikian ilmu-ilmu seni lebih dekat berada pada pengertian ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu sosial.Bagan Ruang Lingkup Estetika dan Ilmu-Ilmu Seni
Seperti yang dapat dilihat pada bagan yang diatas, estetika empiris atau estetika keilmuan digolongkan ke dalam 2 kelompok. Kelompok yang pertama tertuju pada karya seni sebagai objek pengetahuan dan mencakup Kritik Seni, Morfologi Estetik, Semiotika, Teknologi Seni dan Metodologi (Penciptaan) Seni.
Sedangkan pada kelompok yang kedua dengan fokus objek pada kegiatan manusia dan seni, yang meliputi Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan Manajemen Seni. Apabila di daerah asalnya yaitu negara Barat estetika keilmuan tergolong sebagai suatu disiplin yang masih baru berkembang, sekitar awal abad ke-20an, maka di Dunia Ketiga dan Indonesia pada khususnya, bidang estetika, baik yang filosofis maupun keilmuan masih dalam taraf pengenalan. Di perguruan tinggi filsafat ataupun ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial disiplin ini belum banyak berkembang.
Begitu juga di perguruan tinggi seni di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan estetika masih pada tahap permulaan. Kuliah-kuliah tentang estetika filosofis misalnya telah masuk dalam kurikulum di lembaga pendidikan tinggi seni pada masa 1970-an, termasuk Kritik Seni dan Tinjauan Seni. Di Departemen Seni Rupa ITB misalnya pengajaran mata kuliah Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni baru diadakan pada dekade 1990-an. Pembentukan kelompok keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni baru terlaksana pada periode itu.
Salah satu disiplin estetika empiris yang telah lama dipraktekkan di Indonesia adalah Kritik Seni. Bidang ini telah muncul pada awal lahirnya seni rupa modern pada dasawarsa 1930-an ketika Sudjojono yang juga seorang pelukis dan pendiri Persagi pada 1938 aktif menulis kritik terhadap peristiwa-peristiwa pameran pada masa itu.
Sesudah masa kemerdekaan tradisi kritik seni dalam bidang seni rupa diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Trisno Sumardjo, Kusnadi, Sitor Situmorang, dan pada periode 1970an muncul Sudarmaji, Sanento Yuliman, Agus Dermawan dan sebagainya.
Diantara nama-nama kritikus di atas yang secara konsisten menulis kritik dengan pendekatan empiris dan diakui integritasnya adalah Sanento Yuliman. Sementara itu, di bidang Morfologi Estetik dan Semiotika masih belum berkembang secara berarti. Pada kelompok yang menyangkut interelasi kegiatan manusia dan seni, bidang yang relatif lebih berkembang adalah Sejarah Seni.
Penelitian-penelitian tentang Sejarah Seni Rupa Indonesia baik periode masa lalu maupun masa kini cukup banyak dilakukan, bahkan bersamaan dengan pertumbuhan galeri dan meningkatnya frekuensi pameran karya seni serta penyerapan karya seni oleh para kolektor, para seniman baik yang senior maupun yang masih muda berinisiatif untuk menerbitkan buku-buku yang berkonotasi biografis kesejarahan.
Begitu juga penelitian sejarah seni yang terkait dengan penulisan skripsi, tesis, ataupun disertasi cukup banyak dilakukan. Bersama dengan itu dibukanya berbagai perkuliahan Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni pada strata S1 mendorong minat bagi penelitian-penelitian di bidang itu.
Pandangan Aristoteles Mengenai Mimemesis
BalasHapusAristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi Teew mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica , Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan.
Nila Haryu kurniawati
2102407144
Rombel 5
Muhammad Burhanudin
BalasHapusNIM 2102407051
Rombel 02
Seni Sebagai Katarsis
Dalam karyanya Aristoteles selalu mempertimbangkan kesenian puisi, yang pada masa itu terbagi atas tiga jenis:
1. Tragedi (menceritakan tentang kehidupan bangsawan)
2. Komedi (menceritakan tentang kehidupan orang jelata)
3. Epos (menceritakan tentang dewa-dewa)
Aristoteles masih memandang keenian sebagai “imitasi” atau “tiruan“ dalam wujud yang indah dari apa yang sesungguhnya terdapat atau terjadi, baik dunia yang di huni dewa maupun manusia.
Dalam seni puisi yang dinikmati keindahannya oleh manusia, Aristoteles menerangkan bahwa ada tiga unsur yang terlibat:
a. Obyek kesenian (sasaran/tujuan dan permasalahan yang ditampilkan kepada penonton)
b. Media kesenian (alat komunikasi seniman dengan penonton, hal yang penting: suara, bahasa, mimik, nada, ritme, irama)
c. Penampilan kesenian (cara penyampaian puisi itu, misal: menceritakan/naratif, secara sajak/deklamasi, percakapan/dialog, sandiwara/drama.)
Tujuan semua kesenian adalah baik: sambil menikmati keindahan seni yang disajikan, para penonton membayangkan apa yang bisa terjadipada dirinya sendiri dan seolah mengalami peristiwa tersebut. Bila sudah merasakan, mereka mengalami “pembebasan” dari masalah yang serupa yang mereka hadapi sehari-hari. Pembebasan dari kesulitan dan dari ketegangan jiwa yang sedang menekan manusia itu dinamakan katarsis. Disamping menikmati keindahan dalam menyaksikan kesenian, dan dengan rangsangan emosinya manusia mengalami katarsis itu sebagai pembersihan jiwa dirinya yang mempunyai efek pengobatan rohaniah.
Gagasan ini dapat dikembangkan supaya orang yang melihat kesenian benar-benar mendapatkan katarsis, bukan malah menambah masalahnya. Salah satu caranya dengan menyaksikan suatu kesenian berdasarkan pada tingkat kesukaannya, hal ini dikerenakan kesukaan kesenian antara orang yang satu dengan yang lain mempunyai selera kesenian yang bebeda. Sehingga penonton benar-benar bisa menikmatinya dan mendapatkan katarsis.
Menjelajahi Estetika dalam Ruang tanpa Batas
BalasHapusMENDISKUSIKAN estetika berarti membincangkan manusia dan kebudayaan, yang juga berarti membicarakan sesuatu yang kompleks. Seperti halnya manusia yang mengalami peralihan besar kebudayaan dari budaya modern ke arah budaya pos-modern, estetika juga mengalami peralihan besar dari estetika modernisme menuju pos-modernisme. Peralihan inilah yang kemudian menjadi perdebatan yang tak berkesudahan tentang estetika, khususnya perdebatan mengenai konsep, metode dan teori estetika.
Teori estetika baru lahir pertengahan abad ke-18 melalui pemikiran yang memisahkan estetika dari filsafat oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1750). Sejak kelahirannya, teori estetika telah melalui jalan panjangnya yang berliku-liku dengan warna dan semangat zamannya hingga hari ini. Di era modern misalnya, estetika dipandang sebagai sesuatu yang terbebas dari segala determinasi di luar dirinya. Ia adalah sesuatu yang otonom, artinya bentuk estetik (sastra, seni) harus memutuskan dirinya dari realitas sosial, dan secara murni bergelut dengan persoalan-persoalan formal; pemisahan seni tinggi dan rendah, yang estetis adalah seni tinggi.
Berbeda halnya di era pos-modernisme yang menolak adanya oposisi biner dalam bentuk-bentuk estetis, tidak ada seni tinggi atau seni rendah. Dalam pandangan ini, bentuk-bentuk estetika tidak lepas dari persoalan-persoalan di luar dirinya. Di dalamnya, bermain tanda-tanda yang penuh dengan persoalan sosial politik. Sastra dan seni tidak lagi dapat dipahami hanya dengan mengadakan analisis teks saja, tetapi analisis konteks juga sangat diperlukan untuk mengungkap makna-makna ironis yang terselubung.
Untuk melacak perjalanan atau periodisasi estetika secara lengkap dan runut memang sangat sulit dilakukan. Meskipun demikian, ia dapat dilacak melalui tokoh-tokoh yang telah menggali berbagai konsep tentang estetika dalam periodenya masing-masing. Hal inilah yang telah dilakukan oleh Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. melalui bukunya yang berjudul “Estetika Sastra dan Budaya” ini.
Ia telah membawa pembaca menjelajahi estetika dari periode modern ke pos-modern, dari Barat ke Timur, dari estetika dalam sastra ke estetika budaya. Buku ini adalah buku yang keempat yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Pelajar. Ketiga buku sebelumnya berjudul “Paradigma Sosiologi Sastra” (2003), “Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif” (2004), dan “Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta” (2005).
Perkembangan Periode Modernisme
Oleh Sussane Langer
Sussane Langer menyelidiki bagaimana kesenian bisa berfungsi di dalam dunia estetika kita. Ia mengatakan bahwa apa yang disajikan kesenian kepada kita hanya”ilusi” atau “bayangan”, artinya bukan sesungguhnya. Bukan hanya apa yang kita lihat pada waktu meniikamati keindahan lukisan, tetapi juga apa yang kita nikmati alam keindahan musik, atau perasaan indah sewaktu membaca{seni sastra} dianggap bayangan belaka. Di sini lagi dipergunakan kata yang menjebak.
Menurut Sussane Langer kesenian adalah penciptaan wujiud-wujud yang berupa simbol dari perasaan manusia. Dalam kata lain: yang dituangkan oleh seniman dalam karyanya adalah simbol dari perasaannya, sesuatu yang mewakili perasaannya. Tergantung dari sang pengamat apakah dia bisa mengartikan simbol itu, mengerti apa yang dimaksud oleh pencipta.
ARIE IKHA SAFITRI
2102407060
R 3
Dewi Noverawati E
BalasHapus2102407097
Pend.Bhs.Jawa
Rombel :4
Gagasan Baumgarten tentang Estetika
Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999)
Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.
Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah. Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu ‘indah’ dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Terhadap hal ini, tugas tugas yang diberikan pada perkuliahan Nirmana 3 Dimensi adalah bentuk bentuk yang memiliki nilai betul, walaupun pada beberapa tugas tertentu sebagian siswa dapat mencapai nilai indah.
Banyak pemikir Seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood.(Sutrisno,1993)
TEORI SEMIOTIKA
BalasHapusSemotik (dari kata Yunani: semeion yang berarti tanda) adalah ilmu yang meneliti tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmu yang mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979: 6). Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bersifat representatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvesi tertentu. Konvensi yang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan menjadi tanda itu disebut juga tanda sosial. (Yosep Yapi Yaum, 1997: 40)
Meskipun kajian mengenai tanda dilakukan sepanjang abad, tetapi pengkajian secara benar-benar ilmiah baru dilakukan awalabad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama, tetapisama sekali tidak saling mengenal. Kedua sarjana tersebut adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1914). Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Pierce adalah ahli filsafat dan logika, tetapi disamping itu ia juga menekuni bidang ilmu kealaman, psikologi,astronomi, dan agama. Saussure menggunakan istilah semiologi (sebagai mzhab Eropah Kontinental), sedangkan Pierce menggunakan istilah semiotika (sebagai mazhab Amerika, mazhab Anglo Sakson). Dalam perkembangan berikut, istilah semiotikalah yang lebih populer.
Semiotika tidak hanya diterapkan dalam karya seni, tetapi dalam semua bidang kehidupan praktis sehari-hari, juga dalam mode show atau reklame, seperti tata busana, tata hidangan, perabot rumah tangga, asesori, seperti model, dan sebagainya.(Nyoman Kutha Ratna, 2007: 97-101)
Semiotikus kontemporer yang cukup berwibawa adalah Umberto Eco, lahir di Italia tahun 1932. pada dasarnya Eco menjadi terkenal melalui dua novelnya yang mempermasalahkan masa lampau yang berjudul The Name of The Rose dan Foucault Pendulum. Menurut Eco (1979:7) semiotika berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tidak harus eksis atau hadir secara aktual. Jadi, semiotika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Batu, sebagai semata-mata batubukanlah tanda, melainkan benda, material, tetapi apabila batu tersebut dimanfaatkan untuk mewakili sesuatu yang lain, misalnya, sebagai jimat, maka batu tersebut sudah berubah menjadi tanda.
Dengan adanya tanda-tanda sebagai ciri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia, dari komunikasi yang paling alamiah hingga sistem budaya yang paling kompleks, maka bidang penerapan semiotika pada dasarnya tidak terbatas. Eco menyebutkan beberapa bidang penerapan yang dianggap relevan, di antaranya:
semiotika hewan, masyarakat nonhuman,
semiotika penciuman,
semiotika komunikasi dengan perasa,
semiotika pencicipan, dalam masakan,
semiotika paralinguistik, suprasegmental,
semiotika medis, termasuk psikiatri,
semiotika kinesik, gerakan,
semiotika musik,
semitika bahasa formal: morse, aljabar,
semiotika bahasa tertulis: alfabet kuno,
semiotika bahasa alamiah,
semiotika komunikasi visual,
semiotika benda-benda,
semiotika struktur cerita,
semiotika kode-kode budaya,
semiotika estetika dan pesan,
semiotika komunikasi massa,
semiotika teks.
(Nyoman Kutha Ratna, 2007: 105-107)
chafid ibnu abdillah
2102407134
R.4
Periode Klasik
BalasHapusMimesis menurut Plato (428-348)
Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Pertama Yang Indah adalah benda material, umpamanya tubuh manusia dan jiwa. Kedua ada dalam Philebus. Bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana.
Pandangan Plato terhadap karya seni dalam Politeia (Republik) dalam penilaiannya ada dua unsur,yaitu teoritis dan praktis. Unsur teoritis menyatakan bahwa segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli. Karya seni merupakan tiruan dari "mimesis memeseos". Oleh karena itu, Plato menilai rendah karya seni. Tafsiran Plato tentang karya seni sebagai tiruan "mimesis" dari kenyataan yang ada di dunia ini tidak hanya jauh dari pandangan karya seni dewasa ini, tetapi sudah pada jaman Plato dan dalam karyanya sendiri tafsiran ini mengalami kesulitan.
Karya seni rupa dan sebagian karya sastra bisa ditafsirkan sebagai tiruan / mimesis dari kenyataan, tetapi karya seni musik amat sulit ditafsirkan sebagai tiruan.
Plato melawan karya sastra (umpamanya Homeros) dan seni drama, karena yang dipentaskan dan disyairkan hampir senantiasa hal-hal yang tidak baik dan tidak benar. Misalnya, tingkah laku kasar para dewa, bohong-membohong, bunuh-membunuh. Plato bersedia menerima keberadaan seniman dan penyair dalam negara yang ia idamkan, asal mereka menyajikan apa yang benar, baik, sopan dan adil, dan ikut mendidik rakyat.
ANIS HARTURI
2102407110
Rombel 04
1.Periode Klasik (Aristoteles, gagasan Mimesis)
BalasHapusSalah satu penggagas Yunani yang penting adalah Aristoteles, yang beranggapan bahwa keindahan suatu benda hakikatnya tercermin dari keteraturan, kerapihan, keterukuran, dan keagungan. Keindahan yang dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Bagi Aristoteles, karya seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih dibandingkan keindahan yang terjadi di alam, meskipun tidak tertutup terdapatnya karya seni yang lebih rendah daripada alam. Konsep mimesis (peniruan alam) kemudian menjadi ciri utama estetika Yunani dalam percaturan filsafat. Pendapat ini merupakan bias dalam menafsirkan pendapat Aristoteles. Aristoteles justru menyatakan “tragedi” ketika manusia harus meniru alam, atau meniru bentuk makhluk-makhluk di alam (“Puisi”, pasal 15 dan pasal 2). Beberapa karya seni memang menunjukkan “imitasi” alam yang membawa kebaikan, karena dibuat untuk memperbaiki sesuatu yang dinilai buruk. Melalui seni, manusia harus mampu membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sebenarnya. Menurut Aristoteles, ciri khas seni adalah kemampuannya membedah alam dan mengupas esensinya.
2.Periode Kritik (Beardsley, gagasan Relativisme)
Beardsley telah menerangkan bahwa di dalam masing-masing kriterium ada magnitudenya, “pentarafannya”. Yang menentukan tingginya taraf kehadiran mutu seni dari masing-masing kriterium dalam suatu karya seni adalah sang penilai sendiri. Di samping ketergantungan pada intuisinya, kemahiran masing-masing orang dalam mengukur kehadiran kriterium yang ditentukan ikut berperan. Dengan demikian, telah nyata bahwa sifat relativisme (kenisbian) dari segala penilaian sudah diperhitungkan dalam teori Beardsley.
3.Periode Postmodernisme (Derrida, gagasan Dekontruksi)
Dekontruksi dalam tradisi filsafat – terutama gagasan Derrida – berkeyakinan manusia hakikatnya berpikir melalui ‘jejak’ tanda dengan penafsirn subjektivitasnya. Artinya, appun yang dipikirkannya tidak terlepas dari ‘jejak-jejak’ masa lalu. Untuk mengamatinya, pengamat ‘diberi’ peran menafsirkan dan merekonstruksinya secara bebas.
VANIA KUMALASARI
2102407005
rombel 1
RESTU MARDHIKAWATI
BalasHapus2102407015
ROMBEL 01
Periode Klasik
Pandangan objektif tentang karya seni di mulai semenjak plato, konsepnyayang terkenal yaitu tentang mimetis atau meniru. Seorang seniman tidak menciptamelainkan meniru, sehingga tidak produktif. Keindahan yang sebenarnya hanyadapat ditangkap dalam dunia idea, sebab itu usaha seniman mencapainya akansia-sia belaka, karena mereka terkungkung dalam batas pengalaman duniawiyang tidak dapat mereka hindari. Seni hanya sebagai bukti akan adanya keinginandan usaha yang tidak pernah berhasil untuk mencapai rewalitas yang benar(actual reality) dan nilai-nilai yang hakiki. Dunia ini adalah suatu realita yang mendahului keaktifan manusia. Siseniman bukannya mencipta melainkan hanya mengimitasi. Mimesis atau imitasimenjadi prinsip pokok bukan saja dalam estetika plato tetapi bahkan seluruhperiode klasik. Abad pertengahan dan renaisans. “realitas” lah mempersyaratiseniman, yang kemudian merenungkan dan memprodusir kembali. Mula-mula iahanya mengira-ngirakan rewalita duniawi yang kemudian menggambarkannyalebuh mendekati kenyataan atau realita Ilahi (heavenly realirty) yang tetap, yaknisuatu taraf dimana keduniaan hanya merupakan refleksi semu. Bagi Aristoteles,imitasi adalah wajar pada manusia sejak keecil. Ia memandangnya sebagai suatukelebihan manusia dari mahkluk yang lebih rendah (binatang). Manusia adalahmahkluk imitator, sehingga iminitasi adalah intrinsik pada seniman. Semuamanusia pada dasarnya tidak dapat mencipta, melainkan hanya memperhatikandan mengetahuinya kemudian mengiminitasi. Bagi Aristoteles imnitasi bukansekedar deskripsi dari apa yang telah terjadi, apa yamng telah terjadi adalah tugasahli sejarah. Para seniman harus mengkonsentrasikan pada masalah kemungkinan(probability), keharusan (necessity), kesatuan (coherence), dan keselesaian(completeness) (Abdulkadir, 1947: 5, 11-14). Pandangan objektif tentang karya seni juga terdapat pada pendapat bahwaseni sebagai representasi dari kualitas. Seorang seniman pada awalnyaberhadapan dengan objek. Objek itu dapat berupa benda-benda atau kejadian-kejadian konkret. Seorang seniman melihat atau mencerap kualiatas yangterdapat pada sesuatu. Kualitas yang ditangkap oleh seniman iitu kemudiandiwujudkan dalam ungkapan karya seni seperti : likisan, sajak, musik, atau tarian.
Dalam mewujudkan kualitas itu seniman harus bergulat dengan mediumnya
untuk mencapai bentuk representasi yang pas atau cocok. Representasi seni
bukan merupakan deskripsi atau informasi tentang kenyataan. Seni harus
berbeda dengan informasi fakta belaka (Jacob Sumarjo, 2000: 53-54). Seperti
yang dikatakan Aristoteles bahwa pada pada pengalaman kita sering menjumpai,
wlaupun objek yang ditampilkan mungkin tidak sedap dipandang, kita kagummelihat representasi realistiknya dalam seni. Sebagai contoh : Gambaran bentuk-brntuk binatang terendah dan bangkai-bangkai (Abdul kadir, 1974: 11-12).Jelaslah disini bahwa representasi suatu karya seni walaupun bersifat mimesisatau meniru tidak sekedar mendeskripsikan atau menempilkan objek apa adanya,seperti halnya tujuan ilmu pengetahuan. Mungkin seorang yang tinggal danterbiasa ditepi pantai atau dipegunungan tidak menangkap kualitas itu danmewujudkannya dalam lukisan, syair, musik sehingga keindahan itu dapat diapresiasi oleh orang lain. Disamping itu, di Italia terdapat beberapa seniman yang merangkapsebagai teoritikus dan dan filsuf ksenian. Perintisnya adalah Leon Battista Alberti(1409-172), seorang arsitek yang menelidiki ayarat-ayarat yagng harus dipenuhidalam karya seni lukis, seni pahat dan arsitektur dari sudut pengolahan materi.Ayarat tersebut adalh keselarasan yang terdapat diantara segala bagian karayaseni yang membentuk kesatuan. Buonarotti (1475-1564 ), Sanzio Raphael (1483-1520 ) dan Donatto Bramante (1444- 1415), yakni bahwa dalam mencuptakankarya seni, seniman perlu berpegang pada pedoman umum bahwa karya senimanapun akan takluk pada ilham. Asal ilham tersebut adalah alam sehingga harus“ta’at” pada alam. Ini bererti harus meniru alam begitu saja, namun representasiilham si seniman dalam karya seni harus terjadi berdasarkan pengamatan danpenelitiannya terhadap alam, khususnya tubuh manusia. Makin taat pada alammakin berhasillah dia “berbicara” lewat karya seni (udji Sutrisno, 1993;44 ).
Pandangan Subjektif tentang Karya Seni.
Pandangan eststika dan karya seni bersifat objektif atau teori mimetis dalam
karya seni, berlangsung semenjak periode yunani klasik dimulai oleh plato
selanjutnya, Aristoteles, bahkan Platonos masih meneruskan tradisi ini. Abad
pertengahan dan zaman Renaisan masih meneuskan tradisi ini, namun pada
zaman Renaisan, mulai nampak benih-benih yang hendak mengalihkan prinsip
estetika dan karya seni objektif menuju prinsip subjektif. Terdapat usaha-usaha
untuk merubah anggapan seni yang dipandang sebagai mimesis dengan yang
difahamkan sebagai kreasi.
Perpindahan tersebut paling nampak pada karya Leonardo da Vinci.
Baginya seniman itu mencipta bukan mengimitasi. Ia yakin bahwa Tuhan tidak
sedemikian absolut, sehingga manusia juga dapat melatih kemampuan kreatifnya
sendiri. Kemampuan kreatif manusia menyerupai kemampuan kreatif Tuhan.Penggambaran tentang dunia natural bukanlah suatu ciptaan, tetapi sekedarrekreasi artistik. Namun demikian, diatas kanvas dan dengan kuasnya si pelukisbenar-benar dapat menciptakan dunia atau alam yang sebenarnya tidak ada. Iadapat menciptakan fantasi personal yang berisi mahkluk-mahkluk yang samasekali berbeda dengan figur-figur malaikat dan fiur-figur setan buas. Usaha-usahauntuk memindahkan problem estetika ke dalam pandangan realitas subjektif,meluas pada abad 17. Pandangan subjektif ini awalnya tidak mendapat dukungankonsep metafisik yang juga berorientasi subjektif pada masa Leonardo da Vincimaupun jaman renaisan (Abdul Kadir, 1974:24-28).
Walaupun problematik objektivitas dan subjektivitas tidak langsung
berjalan sejajar dengan problematik bentuk dan isi dalam karya seni, namun ada
hubungan antara keduanya. Teori mimesis yang menganggap bahwa seni itu
meniru alam seperti diawali oleh Plato dan Aristoteles jelas menunjukkan bahwa
pendapat ini mendasarkan pada representasi seni yang menggambarkan
kenyataan. Artinya bahwa wujud dari seni itu berupa gambaran atas realitas
konkret atau bertumpu pada peristiwa-peristiwa konkret. Sedangkan pandangan
subjektif tenteng karya seni lebih menekankan pada kreativitas atau suasana batin
subjektif seniman.
Rizqiya A.N.
BalasHapus2102407103
R.4
Pemikiran dalam postmodernisme
Di era postmodern, estetik kembali menjadi bahan kupasan yang luas sebagai bagian dari filsafat nilai. Dalam eara ini estetika kembali memposisikan diri dalam situasi chaos dan anomaly. Tidak ada lagi nilai, makna, kebenaran, dan keindahan yang absolute. Estetik menglami kebuntungan paradigma, karena tatanan kebudayaan yang bernilai telah mengalami perubahan yang substansial. Bingkai falsafahnya mengalami keretakan yang besar. Masyarakat tidak lagi peduli dengan nilai, norma, kepatutan, kebaikan ataupun kearifan. Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi komuniksi ang berkembang pesat. Situasi ini mempercepat keruntuhan nilai konvensional, karena apapun yang dilakukan dapat di anggap sebagai karya estetik, seperti horror, terror, pornografi, pembajakan, despritualisasi, dehumanisasi sampai demoralisasi.
Pada dasarnya Grenz (2001:200) menjelaskan, bahwa sebenarnya ada tiga tokoh yang menonjol sebagai pemikir postmodernisme, yaitu Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Richard Rorty. Mereka bertiga adalah trio nabi postmodernisme, kadang-kadang bernyanyi bersama dengan harmonis, tetapi lebih sering menghasilkan musik yang tidak harmonis yang merupakan ciri postmodern. Postmodernisme tidak mempunyai dunia pemikiran. Intinya adalah penolakan adanya realitas yang utuh sebagai objek dari persepsi kita. Postmodern menolak usaha untuk menyusun sebuah cara pandang tunggal. Secara khusus, era postmodern menandai berakhirnya konsep “universe” – berakhirnya cara pandang yang total dan utuh (Grenz 2001:68). Dalam beberapa contoh misalnya, arsitektur postmodern sengaja memberikan ornament (hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Ditekankan kembali oleh Grenz (2001:40) bahwa arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik gaya seni tradisionil, sedangkan arsitektur modern membuang segala gaya dan teknik seni tradisionil. Hal itu juga ditegaskan oleh Umberto Eco (2004:375) bahwa elemen-elemen ini tidak memiliki fungsi struktural: elemen-elemen tersebut tidak menyokong apa pun. Elemen-elemen tersebut murni dibubuhkan sebagai perhiasan, seraya berlagak memiliki fungsi. Di dalam kasus-kasus tertentu, bahkan terjadi pembunuhan arsitektur. Hanyalah style-nyalah yang diberi kesempatan hidup.
Oleh karena itu, Jones (1970) menegaskan: “mendesain bukan lagi sekedar meningkatkan stabilitas dunia buatan manusia: mendesain berarti mengubah, secara lebih baik atau lebih buruk, hal-hal yang menentukan arah perkembangannya” (Lawson 2007:125). Demikian arsitektur bertutur untuk menjawab dimensi keruangan alam semesta ini. Perjalanan pemahaman dan pemikiran telah berlangsung lama dalam merancang lingkungan maupun bangunan. Pemikiran dan teori berkonsultasi menjadi sebuah konsep yang harus diimplementasikan dalam sebuah rancangan. Nuansa pendekatan akademis dan intuitif menjadi sebuah komponen dalam perjalanan ‘berarsitektur’, kapan harus dimulai dan kapan harus diakhiri.
Ekspresi dan intuisi
Croce menyebutkan bahwa ekspresi tidak dapat dipisahkan dari intuisi. Kita dapat mengidentifikasi seni melalui fakta estetik contohnya karya seni yang memiliki ciri intuitif. Namun para filsuf menentang anggapan bahwa semua intuisi adalah seni. Menurut mereka, seni merupakan sebuah intuisi yang sangat khusus. Jadi intuisi artistik berbeda dengan intuisi pada umumnya karena memiliki faktor X yang lebih. Tidak ada perbedaan spesifik sehingga tidak seorangpun mampu menunjukkan apa faktor X itu. Ada yang merumuskan seni adalah intuisinya intuisi namun anggapan ini tidak mencukupi.
Intuisi artistik sama dengan intuisi biasa. Namun fungsi artistik jangkauannya lebih luas sehingga perbedaannya tidak bersifat intensif tetapi lebih pada ekstensif. Menurut Croce, dimana batas dari ungkapan intuisi yang disebut seni sifatnya empiris dan tidak dapat didefinisikan. Bagi Croce hanya ada satu estetika, sains tentang pengetahuan intuitif atau pengetahuan ekspresif yang merupakan fakta artistik. Kejeniusan artistik atau intuitif seperti bentuk aktivitas manusia lainnya adalah selalu sadar. Jika tidak ia akan menjadi suatu mekanisme buta. Croce menentang pandangan bahwa ketidaksadaran (unconsciousness) sebagai kualitas utama dari kejeniusan artistik. Kelebihan para jenius artistic terletak pada kesadaran reflektif.
Fakta estetik bukan hanya terdiri atas isi dan juga bukan merupakan titik temu antara bentuk dan isi, yaitu impresi plus ekpresi. Dalam fakta estetik, aktivitas ekspresif tidak hanya menambah impresi namun lebih pada elaborasi dan pemberian bentuk pada impresi. Peniruan alam bukan berarti seni membuat reproduksi mekanis (membuat duplikat objek alami yang sempurna). Ilusi dan halusinasi tidak ada kaitannya dengan wilayah intuisi artistik. Jika seniman melukis pemandangan maka kita melihat suatu aktivitas spiritual dan intuisi artistik.
Intuisi merupakan pengetahuan dan seni adalah pengetahuan. Pernyataan bahwa seni tidak menunjukkan kebenaran dan bukan termasuk dunia teoritis adalah klaim yang muncul dari ketidakmampuan untuk mengerti ciri teoritis dari intuisi biasa. Menurut Croce, teori bahwa ada kemampuan indera estestis khusus juga timbul dari kegagalan untuk mendudukkan dengan benar, perbedaan karakter antara ekspresi dan impresi (bentuk dan materi). Ungkapan estetis adalah sebuah sintesis dan tidak dapat dibedakan mana yang langsung dan mana yang tidak langsung masuk ke dalam indera estetik.
Setiap ekspresi merupakan ungkapan yang utuh, melebur, menyatukan impresi – impresi menjadi kesatuan organic. Fakta ini yang selalu dicari orang ketika mereka mengatakan bajwa karya seni memiliki kesatuan dalam keragaman meskipun hal ini bertentangan dengan fakta bahwa kita membagi karya seni menjadi puisi yang terbagi menjadi kalimat, kata, dan lainnya. Pembagian merusak karya seni, karena karya seni harus mendeduksi bagian dan membangun bagian menjadi ungkapan utuh. Dengan menggabungkan impresi, manusia dapat membebaskan diri dari impresi tersebut. Fungsi seni sebagai yang membebaskan merupakan sisi lain dari karakternya sebagai aktivitas. Aktivitas berfungsi sebagai pembebas karena aktivitas menghasilkan kepasifan.
*Teori Croce sangat idealis bahwa seni adalah suatu intuisi yang utuh, pembebas dan memurnikan. Seni tidak berbeda dengan pengetahuan dan berisikan kebenaran. Hal ini membuat kedudukan seniman dengan ilmu sains menjadi setara sehingga seni tidak dapat diremehkan. Selama ini masyarakat amat merendahkan kedudukan seni. Dengan teori Croce kita dapat membalikkan sains yang kaku dan terlalu berkuasa
Sejarah perkembangan estetika periode kritik
BalasHapusMenurut Immanuel Kant estetika dipandang sebagai usaha untuk menjembatani "jurang" antarana "keniscayaan alam", hasil pemikiran Critique of pure reason. Jadi, keindahan analog dengan keniscayaan alam, dan sublim analog dengan kebebasan. Pemikiran estetika Kant menjadi kulminasi dari permasalahan estetika pra-Kant.
Pokok-pokok permasalahan di dalam pemikiran estetika Kant dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Permasalahan keindahan dan sublim
Pembahasan permasalahan keindahan dan sublim dimulai dengan menggunakan sarana judgment of teste. Keindahan dan sublim merupakan objek-objek yang menghasilkan peristiwa estetis.
2. Permasalahan seni dan genius
Maksud kedudukan seni dan genius di dalam "deduksi aesthetic judgment" adalah bahwa pertama-pertama genius di dalam seni menunjukan peran atau sumbangan alam dalam "peristiwa keindahan" di dalam seni. Kedua "seni" dalam arti Kantian adalah bukan objek khusus yang hadir dihadapan kita. "seni" dalam arti kantian adalah semacam "proses" ia adalah "gangguan" di satu atau dua panca indra kita.
Widiana
2102407008
Rombel 1
Sejarah perkembangan Periode Positivisme :
BalasHapusSecara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. P
Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999)
Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.
Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah. Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu ‘indah’ dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Terhadap hal ini, tugas tugas yang diberikan pada perkuliahan Nirmana 3 Dimensi adalah bentuk bentuk yang memiliki nilai betul, walaupun pada beberapa tugas tertentu sebagian siswa dapat mencapai nilai indah.
Banyak pemikir Seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood.(Sutrisno,1993)
Deddy Dwi Wijaya
2102407095
R.2
YUNITA DYAH WAHYUNINGRUM
BalasHapus2102407022
ROMBEL 1
1.Periode Klasik
Menurut Aristoteles khatarsis adalah pembebasan dari sebuah kesulitan dan ketegangan jiwa yang sedang menekan manusia. Aristoteles menegaskan bahwa tujuan dari semua kesenian (puisi atau drama) adalah baik: sambil menikmati keindahan seni yang disajikan, para penonton membayangkan apa yang bisa terjadi pada dirinya sendiri, seolah-olah mereka sendiri yang mengalami peristiwa dan masalah yang disajikan. Dengan ikut merasakannya, mereka mengalami “pembebasan” dari problem atau kesulitan yang serupa, yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut yang dinamakan khatarsis.
2.Periode Kritik
Subjektivisme menurut Imanuel Kant adalah keindahan itu dipandang sebagai fungsi daripada struktur yang memang sudah ada dalam diri si “subyek”. Struktur dalam budi itu membuat manusia mampu mengentarakan unsur-unsur yang membangkitkan rasa indah estetika dalam budi itu, seolah-olah subyek itu sendirilah yang menciptakan keindahan.
3.Periode Positivisme
Nietzche mendasarkan definisi seni di dalam dua kecenderungan jiwa yaitu Apollonian ( dewa mimpi ) dan Dionysian ( dewa mabuk anggur ) yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa seni adalah luapan hasrat jiwa manusia sebagai sebuah tiruan. Jadi seniman menukik ke kedalaman kemabukan Dionysian dan peniadaan diri dan terpisah dari kebanyakan orang yang menikmati seni dan kemudian melalui inspirasi impian Apollonian, keadaannya sendiri yaitu kesatuannya dengan dasar alam semesta ini, diwahyukan kepadanya dalam suatu gambaran impian simbolis.
4.Periode Modernisme
Modernisme menganggap bahwa kelebihan manusia terletak pada rasionya. Rasio ini digunakan manusia untuk memahami dunia, dan pemahaman atas dunia secara rasional memerlukan bahasa.
Pandangan tentang bahasa itu menunjukkan ada dua hal yang diyakini dalam modernisme. Pertama, modernisme percaya bahwa bahasa dapat menjadi media bagi pesan dan makna. Kedua, bahasa adalah media bagi manusia untuk melakukan kegiatan berkomunikasi dengan makna yang rasional.
Konsekuensi dan fanatisme modernis terhadap kemampuan bahasa dalam menyampaikan makna melahirkan berbagai pemilahan (oposisi) biner. Oposisi tersebut berfungsi menstrukturkan dunia sehingga dapat dengan mudah dipahami. Contoh dari opisisi biner ini adalah laki-laki-perempuan, baik-jahat, gelap-terang, rasional-irrasionaldan sebagainya.
Dengan adanya berbagai oposisi biner ini kenyataan menjadi dapat dijelaskan. Dengan kata lain, kenyataan yang ada dalam dunia modern adalah kenyataan yang diciptakan dan dibentuk oleh semua oposisi biner.
5.Periode Postmodernisme
Teori ekspresi dan intuisi:
teori ekspresi adalah pencetusan emosi sang seniman dalam karyanya yang juga bermaksud untuk menyampaikan pesan yang lebih mendalam pada masyarakat yang terkandung dalam hati sanubarinya.
Teori intuisi adalah “bisikan hati” atau “daya batin” untuk mengerti atau mengetahui sesuatu tidak dengan berfikir atau belajar
RATNA INDRAWATI (2102407004)
BalasHapus1.Periode Klasik (Aristoteles)
Salah satu penggagas Yunani yang penting adalah Aristoteles, yang beranggapan bahwa keindahan suatu benda hakikatnya tercermin dari keteraturan, kerapihan, keterukuran, dan keagungan. Keindahan yang dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Bagi Aristoteles, karya seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih dibandingkan keindahan yang terjadi di alam, meskipun tidak tertutup terdapatnya karya seni yang lebih rendah daripada alam. Konsep mimesis (peniruan alam) kemudian menjadi ciri utama estetika Yunani dalam percaturan filsafat. Pendapat ini merupakan bias dalam menafsirkan pendapat Aristoteles. Aristoteles justru menyatakan “tragedi” ketika manusia harus meniru alam, atau meniru bentuk makhluk-makhluk di alam (“Puisi”, pasal 15 dan pasal 2). Beberapa karya seni memang menunjukkan “imitasi” alam yang membawa kebaikan, karena dibuat untuk memperbaiki sesuatu yang dinilai buruk. Melalui seni, manusia harus mampu membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sebenarnya. Menurut Aristoteles, ciri khas seni adalah kemampuannya membedah alam dan mengupas esensinya.
2.Periode Kritik (Beardsley, gagasan Relativisme)
Beardsley telah menerangkan bahwa di dalam masing-masing kriterium ada magnitudenya, “pentarafannya”. Yang menentukan tingginya taraf kehadiran mutu seni dari masing-masing kriterium dalam suatu karya seni adalah sang penilai sendiri. Di samping ketergantungan pada intuisinya, kemahiran masing-masing orang dalam mengukur kehadiran kriterium yang ditentukan ikut berperan. Dengan demikian, telah nyata bahwa sifat relativisme (kenisbian) dari segala penilaian sudah diperhitungkan dalam teori Beardsley.
3.Periode Postmodernisme (Derrida, gagasan Dekontruksi)
Dekontruksi dalam tradisi filsafat – terutama gagasan Derrida – berkeyakinan manusia hakikatnya berpikir melalui ‘jejak’ tanda dengan penafsirn subjektivitasnya. Artinya, appun yang dipikirkannya tidak terlepas dari ‘jejak-jejak’ masa lalu. Untuk mengamatinya, pengamat ‘diberi’ peran menafsirkan dan merekonstruksinya secara bebas.
LITA DWI ARIYANTI
BalasHapus2102407033
ROMBEL 2
Estetika mulai dikenal pada tahun 1735 oleh Baumgarten, hal tersebut tidak berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam
sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.
Menurut pandangan Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas.
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan.
Septian Riztiana
BalasHapus2102407021
Rombel 01
Sejarah Perkembangan Estetika
1 Periode Klasik
Kant mengemukakan bahwa didalam budi manusia sudah apriori (dari asal mulanya) terdapat suatu struktur, suatu susunan yg berfungsi untuk menikmati keindahan menurut hukum-hukum tersendiri. Sedangkan khatarsis adalah pembebasan dari kesulitan dan dari ketegangan jiwa yang sedang menekan manusia.
pembebasan yang dimaksud adalah problem atau kesulitan yang serupa, yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
2.Periode Kritik
Subyetivisme yang terdapat dalam pandangan filsuf khant tentang keindahan. Khant memandang keindahan itu sebagai fungsi daripada struktur yang memang sudah ada di dalam si subyek. struktur dalam budi itu membuat manusia mampu mengentarakan unsur-unsur yang membangkitkan rasa indah estetika dalam budi itu, seolah-olah subyek itu sendirilah yang menciptakan keindahan.
3.Periode Positivisme
Nietzche mendasarkan definisi seni di dalam dua kecenderungan jiwa yaitu Apollonian ( dewa mimpi ) dan Dionysian ( dewa mabuk anggur ) yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa seni adalah luapan hasrat jiwa manusia sebagai sebuah tiruan. Jadi seniman menukik ke kedalaman kemabukan Dionysian dan peniadaan diri dan terpisah dari kebanyakan orang yang menikmati seni dan kemudian melalui inspirasi impian Apollonian, keadaannya sendiri yaitu kesatuannya dengan dasar alam semesta ini, diwahyukan kepadanya dalam suatu gambaran impian simbolis.
4.Periode Modernisme
Modernisme menganggap bahwa kelebihan manusia terletak pada rasionya. Rasio ini digunakan manusia untuk memahami dunia, dan pemahaman atas dunia secara rasional memerlukan bahasa.
Pandangan tentang bahasa itu menunjukkan ada dua hal yang diyakini dalam modernisme. Pertama, modernisme percaya bahwa bahasa dapat menjadi media bagi pesan dan makna. Kedua, bahasa adalah media bagi manusia untuk melakukan kegiatan berkomunikasi dengan makna yang rasional.
Konsekuensi dan fanatisme modernis terhadap kemampuan bahasa dalam menyampaikan makna melahirkan berbagai pemilahan (oposisi) biner. Oposisi tersebut berfungsi menstrukturkan dunia sehingga dapat dengan mudah dipahami. Contoh dari opisisi biner ini adalah laki-laki-perempuan, baik-jahat, gelap-terang, rasional-irrasionaldan sebagainya.
Dengan adanya berbagai oposisi biner ini kenyataan menjadi dapat dijelaskan. Dengan kata lain, kenyataan yang ada dalam dunia modern adalah kenyataan yang diciptakan dan dibentuk oleh semua oposisi biner.
5.Periode Modernisme
Pengertian ekspresi memuncak dalam masa romantik. kalangan kesenian beranggapan bahwa semua seni adalah cetusan emosi yang meluap dari sang seniman. Ekspresi pada masa romantik terutama menyangkut emosi yang dituangkan perasaan yang dicetuskan maka pada masa sekarang ekspresi juga meliputi segala macam pernyataan,perwujudan karya seni, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
MOCHAMMAD IRFAN LUTHFI
BalasHapus2102407039
R.06
Senjakala Modernisme
Untuk mengkaji ulang apa itu "modernisme" mungkin baik juga kita menengok ke belakang dahulu. Seorang kritikus seni terkemuka tahun 1940-an , Clement Greenberg, mempopulerkan istilah "modernisme" itu dalam bidang wacana kesenian. Dalam essaynya "Avant-Garde and Kitsch" (1939) dan " Towards a Newer Laocoon" (1940), Greenberg menyatakan bahwa karya seni yang maju adalah yang bergerak dari kompleksitas tinggi ke arah yang lebih sederhana.1 Karya seni macam ini biasanya berfungsi serentak sebagai perlawanan terhadap kecenderungan totaliterisme standarisasi penilaian dan degradasi nilai oleh "kitsch" kultur pop. Sementara dalam essaynya yang lain yaitu "Modernist Painting" (1961) Greenberg menulis lagi :
"Essensi Modernisme terletak pada ......digunakannya suatu metode dari
disiplin tertentu justru untuk mengkritik disiplin itu sendiri. .....Apa yang harus ditampilkan adalah hal yang unik dan tak terreduksikan dari karya seni itu. Setiap seni itu harus menampilkan kekhasan effek-effeknya..."2
Pendeknya Greenberg menghendaki agar setiap medium artistik itu merujuk dirinya sendiri dan dari sana bergerak dengan proses abstraksi menuju hal yang essensialnya. Misalnya, kekhasan lukisan yang mesti di eksplorasi seorang pelukis adalah bidang datar dan pembatasan bidang datar itu. Maka katakanlah Greenberg ini menganggap khas kemodernan terletak pada keterpilahan bidang-bidang kesenian itu secara tegas. Tentu saja pandangan macam ini langsung terasa sangat miskin, dan karenanya menjadi bahan perdebatan yang ramai juga.
Satu hal yang jelas adalah kenyataan bahwa sejak tahun 1900-an hingga 1970-an kesenian, terutama seni rupa, mengalami perubahan konseptual sangat cepat yang tak pernah ada padanannya sebelumnya dalam sejarah. Secara garis besar perubahan itu dapat dikategorikan sebagai berikut ini : Pertama, seni sebagai representasi realitas, yang isi konsepnya berubah-ubah diwakili oleh Impressionisme, Cubisme, Dadaisme dan akhirnya Surrealisme. Masing-masing dari aliran yang disebut ini sesungguhnya pun sangat berbeda satu sama lain pandangannya mengenai apa itu "representasi" namun pada dasarnya mereka masih dapat dimasukkan dalam kategori besar "representasi" ini. Kedua, seni sebagai presentasi dari realitas yang tak terpresentasikan . Dapat dimasukkan dalam kategori-payung (umbrella category) ini adalah Abstrak Ekspressionisme, Konstruktivisme, De Stijl dan Minimalisme. Dan akhirnya , ketiga, adalah seni yang berpusat justru pada "non-representasi" dimana proses estetik cenderung tak dianggap perlu. Konsep ini agaknya diwakili terutama oleh Konseptualisme.
Semua itulah yang kerap disebut sebagai seni "modern". Maka menjadi jelas disana bahwa kemodernan lebih ditandai oleh kecenderungan "diskontinuitas" dalam rangka mencari "originalitas". Kecenderungan yang biasa disebut juga sebagai kecenderungan "Avant-garde" ini adalah kecenderungan untuk senantiasa ber-eksperimentasi mencari kebaruan tak habis-habisnya, eksplorasi kemungkinan baru terus-menerus. Yang menarik adalah bahwa kecenderungan macam ini membawa konsekuensi logis disangkalnya terus-menerus konsep-konsep sebelumnya, hingga akhir yang sudah terraba adalah disangkalnya kata "kesenian" itu sendiri : "The end of art", seperti kata Arthur Danto.3 Tidaklah mengherankan bila orang menganggap bahwa modernisme sudah selalu mengandung konsep "post" ( sesudah), sehingga kelak ketika muncul istilah "post-modern" pengertiannya menjadi kacau balau.
Sebagai paradigma sebetulnya kekhasan modernisme terletak pada konsep humanismenya yang liberal dan rasional, serta pada keyakinannya yang agak naif terhadap idealisme "kemajuan" ala Pencerahan ( Enlightenment). Di balik keyakinan ini terdapatlah praandaian bahwa dasar objektif baik bagi nilai-nilai dasar dan universal, maupun bagi tindakan-tindakan yang otonom itu mungkin.4
Lepas dari persoalan apakah sebagai kerangka filsafati idealisme modern itu dapat terpenuhi atau tidak , dalam kerangka kesenian proyek modernisme itu telah menggelindingkan arus eksperimentasi diatas tadi yang pada dasarnya merupakan gerakan-gerakan yang hendak menjadikan seni sebagai wilayah otonom . Yang dianggap sebagai "kemajuan" dalam bidang seni ternyata umumnya adalah aneka perubahan dan inovasi teknis guna mendapatkan pengalaman "estetik" yang lebih murni. Di balik hingar-bingar aliran-aliran baru itu , dalam perjalanannya kesenian modern macam itu ternyata makin jauh dari perkara-perkara sosio-kultural real dan makin masuk dalam suatu wilayah teknis dan imajiner tersendiri, wilayah kenikmatan reflektif ideal yang asing.
Namun barangkali yang membuatnya makin hari makin kehilangan wibawa adalah kenyataan bahwa kegilaan melabrak pola-pola baku sebelumnya yang terkandung dalam semangat avant-garde itu akhirnya juga melembaga. Modernisme menjadi suatu institusi kultural tersendiri yang menguasai sekolah-sekolah kesenian . Keradikalannya hilang dan ia menjadi kultur resmi, tempat berkumpul justru kaum neokonservatif. Memang ironis. Karya-karya Picasso, Joyce, Lawrence, Brecht, Pollock dan Sartre misalnya akhirnya menjadi karya-karya standard yang digunakan sebagai acuan baku studi akademis sedemikian hingga berbagai bentuk dan kegiatan seni yang tak bersesuaian dengan kanon tersebut menjadi tersisih, dianggap tak penting. Modernisme menjadi hegemoni kultural yang monolitis.
Itulah sebabnya kegiatan seni maupun kritik-kritik seni yang muncul sejak tahun 1960-an umumnya berkecenderungan justru untuk membongkar mitos modernisme yang monolitic itu , menumbangkan hegemoni gagasan dari para "empu" modern. Dominasi Abstrak ekspressionisme, Nouveau Roman, Eksistensialisme, film-film Avant-garde, New Criticism,dsb. segera digerogoti oleh bentuk-bentuk kesenian baru yang umumnya ( sengaja) bertolak belakang terhadap konsep-konsep modern itu. "Pop-art", misalnya, dengan sengaja mengolah tema-tema dan objek dari wilayah budaya-pop yang bisanya dianggap budaya rendahan oleh modernisme; "Minimalisme" misalnya, kendati sering dianggap juga produk modernisme akhir, toh di sisi lain justru merupakan sinisme karikatural atas kecenderungan formalistik modernisme yang berlebihan. Ada pula kecenderungan untuk justru memadukan berbagai disiplin seni seperti tarian di campur dengan lukisan dan sastera,misalnya. Dari gerakan-gerakan ini semua akhirnya yang dirombak bukanlah hanya "gaya" yang bersifat teknis, melainkan konsep tentang apa itu "seni" sendiri.
Gagasan-gagasan kritis di wilayah filsafat lantas seperti menggarisbawahi semua kecenderungan mendobrak paradigma modernisme itu. Pemikiran-pemikiran dari Sekolah Frankfurt, Roland Barthes, Michel Foucault, Jean Baudrillard, Jaques Derrida, Jaques Lacan dsb. akhirnya menggeser fokus dari kritik terhadap para "empu" dan "adikarya" modern ke arah cara kerja Modernisme itu sendiri, dan dari pemilahan modern yang ketat atas disiplin-disiplin ke arah pola interaksi dan kajian interdisipliner atas dinamika bentuk-bentuk representasi kultural manusia kontemporer. Misalnya saja dibukalah kajian-kajian atas peran mitos-mitos kultural dalam representasi, konstruksi representasi dalam sistem-sistem sosial, dsb.
Demikian dalam situasi dimana paradigma modern kian luruh, bentuk-bentuk ungkap kesenian tampil sangat berbeda kini karena konsep maupun materi yang diolahnya pun berbeda : pengolahan tubuh dalam seni "performance", penggunaan gas, telepati, dan skala-skala besar dalam seni yang berkaitan dengan isu lingkungan, intervensi-intervensi terhadap intitusi sosial-politik, penggunaan komputer dan media-media elektronik, dsb. Seniman telah menciptakan pula kartu-pos, rekaman-rekaman CD Rom, bahkan menulis buku,dst. Dan makin hari makin jelas bahwa kecenderungan pembauran interdisipliner kian kuat, seperti pada model seni "installasi", "performance art", "Action" dsb.dsb.. Kian kuat pula kecenderungan seni untuk terlibat dalam persoalan-persoalan sosio-kultural konkrit.
Di Indonesia, kendati denyutnya tak sehingar-bingar itu toh pergeseran yang serupa terjadi juga. Kesenian "modern" yang sempat diwakili sejak Raden saleh, Basuki Abdullah lantas Soedjojono, Affandi, Hendra Goenawan, dsb. hingga generasi A.D. Pirous, Sadali, dsb. sempat digebrak oleh Gerakan Senirupa Baru tahun 1975-an dan Pameran "senirupa Kepribadian apa" tahun 1977-an, yang menampilkan kecenderungan jauh lebih bebas dalam pola-pola ungkap keseniannya, serentak memperkarakan kiblat dan konsep dasar kesenian di Indonesia umumnya. Sejak itu para seniman generasi berikut hingga kini praktis berkiblat dan berkiprah sesuai dengan kecenderungan kontemporer seperti di dunia Barat. Sebut misalnya Heri Dono, Krisna Murti, Agus Suwage, Marintan Sirait, Dadang Kristanto, dsb.dsb. Adapun dalam dunia musik , pola musik kontemporer menjamur pula dengan sosok-sosok utamanya seperti Paul Gutama Soegiyo, Harry Rusli, Tony Prabowo,Sukahardjana, dsb. Dalam bidang teater kita kenal Putu Wijaya, sedang di bidang sastera ada Sutardji Calzoum Bachri, Danarto dan Budidarma; di bidang seni tari kita kenal Sardono W.Kusumo, dst.
Yang menarik adalah bahwa di Indonesia kecenderungan kontemporer itu serentak berpadu dengan upaya menggali inspirasi-inspirasi dasar dari khasanah tradisi. Hasilnya seringkali sangat memikat dan mencengangkan . Berbagai pencapaian sangat berarti dalam hal perpaduan itu misalnya : G.Sidharta dalam seni patung; Dadang Kristanto , Heri Dono dan Krisna Murti dalam seni installasi; Sardono dalam seni tari; Garin Nugroho dalam film; Sukahardjana dan Tony Prabowo dalam musik; Danarto , Putu Widjaja dan Sutardji dalam sastra. Untuk menyebut beberapa saja yang langsung terasa menonjol.
HANY USWATUN NISA / 2102407001
BalasHapusrombel 1
Komentar sejarah perkembangan estetika pada periode klasik mengenai Mimesis.
1. Pandangan Plato Mengenai Mimesis
Menurut plato: seni hanya nenyajikan suatu ilusi(khayalan) tentang kenyataan dan tetap jauh dari kebenaran.
Dalam kenyataan setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide asli,kenyataan yang dapat diamati dengan panca indera selalu kalah dengan dunia ide.
Menurut plato: seorang tukang lebih dekat pada kebenaran dari pada seorang pelukis atau penyair.Seorang tukang menjiplak kenyataan yang dapat disentuh dengan panca indera,sedangkan seorang pelukis atau penyair menjiplak suatu jiplakan,membuat copy dari sebuah copy,jiplakan tersebut tidak bermutu,satu-satunya yang dapat mereka capai ialah gambar-gambar yabg kosong yang mengambang.
2. Pandangan Aristoteles Mengenai Mimesis
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979: 13).
DEFIANA LUTFITASARI /2102407011
BalasHapusROMBEL 1
PANDANGAN PARA TOKOH MENGENAI MIMESIS
1.PANDANGAN PLATO MENGENAI MIMESIS
Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Pertama Yang Indah adalah benda material, umpamanya tubuh manusia dan jiwa. Kedua ada dalam Philebus. Bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana.
Pandangan Plato terhadap karya seni dalam Politeia (Republik) dalam penilaiannya ada dua unsur,yaitu teoritis dan praktis. Unsur teoritis menyatakan bahwa segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli. Karya seni merupakan tiruan dari "mimesis memeseos". Oleh karena itu, Plato menilai rendah karya seni. Tafsiran Plato tentang karya seni sebagai tiruan "mimesis" dari kenyataan yang ada di dunia ini tidak hanya jauh dari pandangan karya seni dewasa ini, tetapi sudah pada jaman Plato dan dalam karyanya sendiri tafsiran ini mengalami kesulitan.
Karya seni rupa dan sebagian karya sastra bisa ditafsirkan sebagai tiruan / mimesis dari kenyataan, tetapi karya seni musik amat sulit ditafsirkan sebagai tiruan.
Plato melawan karya sastra (umpamanya Homeros) dan seni drama, karena yang dipentaskan dan disyairkan hampir senantiasa hal-hal yang tidak baik dan tidak benar. Misalnya, tingkah laku kasar para dewa, bohong-membohong, bunuh-membunuh. Plato bersedia menerima keberadaan seniman dan penyair dalam negara yang ia idamkan, asal mereka menyajikan apa yang benar, baik, sopan dan adil, dan ikut mendidik rakyat.
2.PENDAPAT ARISTOTELES MENGENAI MIMESIS
Salah satu penggagas Yunani yang penting adalah Aristoteles, yang beranggapan bahwa keindahan suatu benda hakikatnya tercermin dari keteraturan, kerapihan, keterukuran, dan keagungan. Keindahan yang dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Bagi Aristoteles, karya seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih dibandingkan keindahan yang terjadi di alam, meskipun tidak tertutup terdapatnya karya seni yang lebih rendah daripada alam. Konsep mimesis (peniruan alam) kemudian menjadi ciri utama estetika Yunani dalam percaturan filsafat. Pendapat ini merupakan bias dalam menafsirkan pendapat Aristoteles. Aristoteles justru menyatakan “tragedi” ketika manusia harus meniru alam, atau meniru bentuk makhluk-makhluk di alam (“Puisi”, pasal 15 dan pasal 2). Beberapa karya seni memang menunjukkan “imitasi” alam yang membawa kebaikan, karena dibuat untuk memperbaiki sesuatu yang dinilai buruk. Melalui seni, manusia harus mampu membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sebenarnya. Menurut Aristoteles, ciri khas seni adalah kemampuannya membedah alam dan mengupas esensinya.
Tresno Dwi Candra Suciana
BalasHapus2102407158
Rombel 06
Sejarah Perkembangan Estetika Periode Klasik
Gagasan Mimesis:
PANDANGAN PLATO DAN ARISTOTELES MENGENAI MIMESIS
Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunoni Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif.
Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain.
Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan
( Ravertz.2007: 12).
A. Pandangan Plato mengenai mimesis
Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.
Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio,tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah.
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair (sastrawan) karena mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-Idea mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal. (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew. 1984:221). Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg:16).
B. Pandangan Aristoteles Mengenai Mimemesis
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya. Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979: 13).
PANDANGAN PLATO
BalasHapusAjaran Plato mengatakan bahwa seni adalah pencarian dan penemuan secara spontan, wajar dan penuh kejujuran. Seni berkaitan dengan penemuan keselarasan (harmoni) yang sebenarnya ada pada diri semua orang.Namun juga mencakup seni dan pengalaman estetis, karena baik seni dan keindahan dipandang sebagai gejala (fenomena) yang kongkrit dan dapat ditelaah secara empirit dan sistimatik ilmiah.
Konsep bahwa seni selalu indah, bahwa seni adalah idealisasi dari alam oleh manusia (ars homo additus nature) seperti yang dianut kebudayaan Yunani kuno sebenarnya adalah salah satu dari yang ada. Ia berbeda dengan ideal seni Cina dan seni India yang cendrung kepada bentuk yang metafisik, abstrak, religius dan lebih bertumpu pada intuisi daripada rasio. Pada dasarnya seni bukanlah sekedar ekspresi dari setiap ideal yang spesifik dalam bentuk yang plastis. Seni adalah ekspresi dari semua ideal yang dapat diungkapkan oleh seniman kedalam tata bentuk plastis yang berkualitas estetis, baik yang serba menyenangkan maupun menakutkan, mengharukan bahkan memuakkan. Nampak bahwa seni tidak selalu mesti indah dan menyenangkan, keindahan harus diartikan sebagai kualitas abstrak yang merupakan landasan elementer bagi kegiatan artistik. Eksponen penting dalam kegiatan ini adalah manusia sedangkan kegiatannya diarahkan untuk menghayati serta menjiwai tata kehidupan (diantaranya termasuk kehidupan estetis).
Dalam peristiwa kegiatan terjadi tiga tahapan,
1.Proses pengamatan perseptual (indrawi) terhadap kualitas materi dari unsur-unsur gerak, warna suara,bentuk dan reaksi-reaksi fisiologis lain yang kompleks.
2.Tata susunan dari kualitas materi tersebut yang tejalin secara organik dalam tatanan bentuk dan pola yang harmonis. Melalui kedua tahapan penghayatan tersebut muncullah kesadaran estetis.
3.Apabila tata susunan yang harmonis tersebut dengan sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dengan perasaan (emosi). Maka dapat dikatakan, bahwa emosi atau perasaan itu akan memberikan ekspresi sebagai unsur komunikasi . dalam hal inilah dikatakan bahwa seni adalah ekspresi dan bahwa tujuan sebenarnya dari seni adalah untuk mengkomunikasikan perasaan melalui tatanan bentuk plastis yang harmonis. Sedangkan arti dari keindahan, sebenarnya lebih mengacu pada perasaan yang dikomunikasikan lewat tata bentuk itu. Keindahan adalah unsur emosional sesuatu perasaan terpesona yang menyenangkan pada diri kita, yang ditimbulkan dari unsur-unsur karya keindahan merupakan kesadaran yang bersifat apresiatif, suatu sensasi yang membangkitkan kekaguman dan penghargaan.
Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah lebih unggul.
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada.
ARISTOTELES (384-322)
Pandangan Aristoteles tentang Estetika. menurut Aristoteles, keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia. Titik pangkal pandangan Aristoteles ialah bahwa karya seni harus dinilai sebagai sutu tiruan yakni tiruan dunia alamiah dan tiruan dunia manusia. Dangan karya tiruan, Aristoteles tidak memaksudkannya sekedar "tiruan belaka". karya seni seharusnya memiliki keunggulan "filsafi"yakni bersifat dan bernada "Universal". dengan begitu karya seni diharapkan menjadi lambang atau simbol yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali oleh si penggemar karya seni itu., berdasarkan pengalamannya sendiri. Entah itu ia dalam posisi sebagai pemain atau penonton. Pokok pandangan Aristoteles yakni tentang "katarsis" artinya "pemurnian" yang diasalkan dari kata "katharos" artinya "murni" atau "bersih". Menurut Aristoteles,"katharsis" adalah puncak dan tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Pandangan Aristoteles tentang "katharsis" sangat mempengaruhi filsafat tentang karya seni, bahkan teori drama. Biasanya "katharsis" diharapkan terjadi dalam diri penonton dan yang kemudian dibawanya pulang sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia. Sebagai pembebasan batin juga dari segala pengalaman penderitaan. Dengan begitu "katharsis" memiliki makna terapeutis dari segi kejiwaan, bahkan didalamnya kerap kali terdapat unsur penyesalan dan perubahan, semacam pertaubatan dalam rangka religius. selain pengrtian diatas dewasa ini kerap kali ditekankan bahwa "katharsis" secara obyektif pertama-tama terjadi pada "diri" paran dalam susunan tragedi itu sendiri.
IMMANUEL KANT
Dalam Critique Of Judgement (1790) yang dikutip oleh Porphyrios (1991), menyatakan bahwa suatu ide estetis adalah representasi dari imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu. Kant menyatakan adanya dua jenis keindahan, yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam dirinya sendiri, sementara keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan manusiayang dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu.
Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan. Baumgarten menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik. Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), penemu ilmu estetika Jerman
BalasHapusdi pertengahan abad 18 mengatakan: "Estetika dibagi tiga: 1. Estetika sastra
- teori sastra, 2.Estetika Alam dan 3. Estetika Sosiologi. Baumgarten berpendapat bahwa seni dan keindahan tidak terpisahkan.Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari keindahan, Tapi orang
sekarang sering salah mengkaitkan dengan estetika jaman Antik dan Abad
Pertengahan atau Renaissance. Estetika terus berubah sesuai jamannya.
Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.
Inisiatif Baumgarten tidak dengan segera memunculkan teori yang meyakinkan. Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant ( 1724 - 1804 ), yang membuat estetika menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya "Kritik der Urteilskraft"(1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah".
Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai estetika terhadap karya Seni. Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber, yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan.
Laely Maharani
2102407113
R.5
NAMA : DENY PUSPITASARI NINGTYAS
BalasHapusNIM : 2102407147
ROMBEL : 05
PRODI : PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
TUGAS II
GAGASAN ESTETIKA MENURUT SUSANNE K.LANGER DARI ALIRAN MODERNISME.
PROSES SIMBOLISASI DALAM KARYA SENI
Modernisasi dipandang sebagai gerakan penghapusan dan pembongkaran seni yang telah berjalan beberapa dekade. Bagi seniman Modernis, konsep seni rupa klasik bahwa seni rupa harus indah, seni rupa harus menghadirkan sensasi menyenangkan mata, harus memiliki subyek penggambaran(subject matter), seni rupa harus merupakan produk magis dari aura sang seniman dan seterusnya, selangkah demi selangkah mulai dicampakkan.
Ciri penting yang menandai pemikiran estetika aliran modernisme ini ialah sifatnya yang rasional. Selain itu segala sesuatu harus dapat dijelaskan dengan menggunakan data atau fakta yang bersifat empiris. Secara umum aliran estetika modernisme mengembangkan narasi-narasi besar dalam isme-isme yang berkembang antara lain rasionalisme, kapitalisme, individualisme, kubisme, realisme, abstrakkisme, ekspresionisme dan sebagainya yang berdampak terjadinya dehumanisasi yaitu kehidupam dan kreativitas yang terkotak-kotak, diplot-plot dan kaku seakan kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang berada di wilayah narasi-narasi besar ini.
Aliran pemikiran estetika modern menggunakan pendekatan induktif dalam persoalan keindahan adalah hasil rampatan atau generalisasi atas data atau fakta-fakta empirik yang diperoleh melalui suatu proses pengamatan seperti layaknya yang terjadi dalam tradisi ilmu pengetahuan ilmiah.
Teori estetika yang dikemukakan Langer merupakan pemikiran lanjut dari filsafat simbol. Langer dalam hal ini masih searah dengan Ernst Cassirer yang beranggapan bahwa simbol merupakan seluruh kegiatan mental manusia. Dengan anggapan itu, ditolaklah supremasi semantik (ilmu bahasa) yang menganggap diri sebagai satu-satunya media yang sah dengan didasari oleh penalaran yang ketat. Bahasa sebagai salah satu simbol diskurtif tidak dapat disangkal telah menunjang ilmu-ilmu lain. Bahasa merupakan wadah yang subur dengan ide dilahirkan secara beruntun.
Simbol yang “diskurtif” atau yang nalar dalam lingkup Neopositivisme, merupakam simbol logika modern untuk melakukan berbagai analisa pengungkapan. Simbol-simbol ini jelas terlihat dalam konstruksi logika kebahasaan. Tiap simbol mewakili satu nama, sehingga deretan simbol akan tersusun menurut aturan sintaksis tertentu yang menghasilkan suatu gambaran mengenai satu kenyataan tertentu.
Simbol diskurtif menyiratkan suatu struktur yang dibangun oleh berbagai unsur teratur yang dapat dipahami maknanya. Tidak ditaatinya aturan yang menghubungkan unsur tersebut menyebabkan tidak adanya unsur yang jelas dan kaburnya makna simbol itu.
Dalam hal ini Langer berusaha merumuskan satu teori seni yang didekati dari hasil teori simbol.
Prinsip penciptaan nilai estetik yang bertolak dari jenis abstraksi yang khas itu, dapat ditebak dalam berbagai jenis simbolisasi sebagai hasil abstraksi gagasan kreatif. Simbol estetik bukanlah suatu struktur atau konstruksi, melainkan suatu kreasi utuh. Dengan kata lain, simbol estetik bukanlah suatu simbol, melainkan kesatuan simbol. Simbol-simbol itu mempunyai maknanya masing-masing, tanpa perlu menjadi unsur-unsur tunggal dari keutuhan makna karya estetik itu, karena makna tersebut tidak bersifat struktural.
Secara umum, sebuah “susunan” mempunyai “makna”, sedangkan suatu ketaksaan atau ketakteraturan tidaklah mempunyai “makna”. Sebuah kalimat baru memiliki suatu arti jikalau tersusun menurut aturan yang benar. Apabila tidak tersusun secara benar, maka kalimat itu tidak mengutarakan suatu arti atau makna. Akan tetapi, simbol estetik bukanlah suatu susunan, karena itu tidak dapat dikatakan teratur atau tidak teratur. Simbol estetik adalah satu dan utuh karena tidak menyampaikan makna untuk dimengerti, melainkan pesan untuk diresapi. Akan tetapi, dalam pesan penyadaran terdapat nilai-nilai yang hendak dikomunikasikan. Dalam hal itu, terdapat elastisitas yang luas terhadap peresapan pesan komunikasi estetik.
Menurut Langer, realitas yang diangkat ke dalam simbol seni hakikatnya bukan realitas objektif, melainkan realitas subyektif, sehingga bentuk atau forma simbolis yang dihasilkannya mempunyai ciri amat khas. Forma simbolis yang terbentuk adalah forma yang hidup. Pengalaman subyektif bisa menjadi isu suatu forma simbolis. Jika pengalaman ini adalah suatu perasaan yang kuat, maka pembentukan forma ini akan menunjukkan ekspresivitas yang sedemikian kuat, mengakar sehingga forma itu seolah-olah hidup. Forna akan menjadi forma nilai-nilai estetik suatu obyek atau artifak.
Demikian pula dengan karya seni rupa atau desain, bukan hanya sekedar benda fungsional atau benda “ekonomis” saja, melainkan memiliki kedudukan sedemikian rupa sehingga memiliki “makna” obyektif. Terutama dalam rangkaian proses penyadaran sehingga desain dalam konteks tersebut merupakan satu model “propaganda” nilai-nilai, baik nilai komunikasi maupun nilai ideologisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol Dan Daya. Bandung. ITB
Subjektivisme, gagasan Imanuel Kant pada masa Periode Kritik
BalasHapusDalam sejarah filsafat, Imanuel Kant seorang filsuf kebangsaan Jerman mempunyai kedudukan yang sangat penting di Eropa. Disamping menghasilkan tulisan yang meliput secara luas dan mendalan mengenai segala bidang falsafah, ia sangat berpengaruh dalam perkembangan Falsafah Keindahan Dan Teori Kesenian.
Ia tidak setuju dengan pengobyektifan konsep keindahan, yang ia anggap akan menimbulkan kekeliruan dalam mencari jawaban tentang apa keindahan itu. Ia tidak membantah bahwa dengan cara empiris, dengan menyelidiki sebanyak mungkin orang, bias didapatkan standard of taste, atau ukuran tentang apa yang pada umunya dirasakan sebagai indah oleh orang-orang. Namun, dengan menemukan standard of taste itu, belum terjawab pertanyaan tentang apakah yang disebut keindahan itu. Cara ini hanya menemukan cirri-ciri dari benda indah yang pada umumnya memberi perasaan nikmat-indah pada manusia.
Kant lebih mempersoalkan tentang apa sebab adanya persamaan sekian banyak manusia terhadap benda yang dirasakan indah itu. Malahan bukan hanya saja tentang persamaannya, yang menyolok juga ialah bahwa rasa indah itu terhadap objek yang sama ternyata berbeda-beda antara golongan manusia. Oleh karena itu ia menarik kesimpulan bahwa bukan objek atau benda yang dinikmati, tetapi subjek, yakni manusia yang menikmatinya, yang menentukan keindahan objek tersebut.
Setiap manusia mempunyai nilai rasa keindahan yang berbeda dan bahkan ada yang sama, maka Kant menyusun teori keindahan yang memakai sebagai dasar bahwa memang apriori (berarti : telah hadir dari asalnya) ada suatu tanda unsur daya dalam budi manusia yang budi peka terhadap “keindahan”. Daya ini sudah tersusun dalam struktur budinya. Konsep apriori ini merupakan hal paling mendasar dalam falsafah keindahannya dan tercermin dalam uraian selanjutnya yang membahas tentang prinsip-prinsip penangkapan keindahan oleh manusia. Menurut teorinya, Kant didalam struktur budi manusia tersusun beberapa jenis “daya” atau “kemampuan” (Ing. : faculy) yang masing-masing berfungsi menurut hukum tersendiri. Antara lain ada kemampuan berfikir, logika, kemampuan menilai moralitas, etika dan kemampuan menikamati keindahan, sense of beauty. Menurut Kant pengalaman indah yang dihasilkan oleh daya estetika ini pada hakekatnya memberi kesenangan, dan rasa senang ini terletak pada si pengamat (subjek) dan tidak terletak pada benda yang dinikmati (objek). (A.A.M. Djelantik, 1999)
Jadi, secara ringkas konsep keindahan terlahir dari hasil perasaan manusia itu sendiri yang menikmati sebuah objek.
Miftah Farid
2102407020
Rombel 1
Periode Klasik
BalasHapusMimesis menurut Plato (428-348)
Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Pertama Yang Indah adalah benda material, umpamanya tubuh manusia dan jiwa. Kedua ada dalam Philebus. Bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana.
Pandangan Plato terhadap karya seni dalam Politeia (Republik) dalam penilaiannya ada dua unsur,yaitu teoritis dan praktis. Unsur teoritis menyatakan bahwa segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli. Karya seni merupakan tiruan dari "mimesis memeseos". Oleh karena itu, Plato menilai rendah karya seni. Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua.
Nama : Galih Wicaksono
NIM : 2102407088
Rombel : 02
Periode Postmodernisme (Derrida, gagasan Dekonstruksi)
BalasHapusDekonstruksi dalam dunia filsafat secara langsung tidak berhubungan langsung dengan dunia dekonstruksi dalam dunia desain. Jika dekonstruksi menurut gagasan Derrida bahwa manusia manusia hakikatnya berpikir melalui “jejak” tanda dengan penafsiran subjektivitasnya. Artinya, apapun yang dipikirkannya tidak terlepas dari “jejak-jejak” masa lalu. Untuk mengamatinya, pengamat “diberi” peran menafsirkan dan merekonstruksi secara bebas. Pemikiran dekonstruksi ini merupakan kritik terhadap strukturalisme, karena strukturalisme dinilai terlalu mematikan subjek (diri manusia). Melalui sipirit Dekonstruksi inilah Derrida mencoba menghidupkan kembali, subjek (aku ada) karena manusia bukanlah zombi, robot atau benda mati, tetapi makhluk yang memiliki kebebasan untuk memilih dan mengekspresikan dirinya.
HENDI ANGGORO
2102407012
Rombel 1
Aprilia Kurniawati
BalasHapus2102407157
Rombel 6
Kelompok Keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni (Aesthetics and The Sciences of Arts) adalah kelompok keahlian yang melingkupi wilayah kajian yang lebih bersifat keilmuan - dan berkaitan dengan praktik seni rupa - ia menjadi penafsir dan penjelas fenomena kehidupan seni rupa. Tercakup dalam kelompok keahlian ini adalah wilayah keilmuan Sejarah Seni, Estetika, Kritik Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni, Filsafat Seni, dan Manajemen Seni yang selama ini telah mapan. Selain itu, keilmuan lain yang sangat terkait dengan seni rupa dan mulai di rintis adalah Semiotika dan Hermeneutika. Bila KK Seni Rupa lebih terkait dengan profesi kesenimanan, maka KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni banyak bergerak dalam wilayah keprofesian lainnya, seperti kritikus, sejarawan seni, kurator, dosen, manajer seni dan ahli konsevarsi seni.
Menimbang aspek penelitian dan pemberdayaan masyarakat, KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni tidak hanya bergerak dalam wilayah teoritik semata. Kajian yang bersifat lintas disiplin menjadi salah satu kunci penting. Kecenderungan semacam ini dapat dilihat dari banyaknya kajian yang membahas fenemona seni rupa dari berbagai sudut pandang dan pendekatan, seperti teori gender dan teori poskolonial. Selain itu, seni rupa saat ini telah menjadi wilayah kajian menarik karena ia tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu di mana ia berada. Hal inilah yang menyebabkan seni rupa menjadi wilayah kajian strategis sebab bisa menjadi bagian dari wacana kultural. Contoh semacam ini tampak dalam fenomena seni rupa dewasa ini yang sangat lekat dengan wacana identitas kultural. Wilayah strategis ini menjadi tantangan bagi KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni dalam mengidentifikasi persoalan identitas kultural Indonesia di tengah iklim dunia di masa globalisasi. Antisipasi terhadap kenyataan inilah yang menjadi pertimbangan KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni dalam mengembangkan proyeksi kepakaran dan program-program penelitiannya. Di sisi lain, aspek yang terkait dengan wilayah pemberdayaan masyarakat dalam KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni dapat dilihat misalnya dalam Psikologi Seni yang berhubungan dengan seni sebagai terapi, atau dalam wilayah pendidikan seni sebagai ruang pembentukan kreativitas.
SUSANNE K LANGER (1950)
BalasHapus“Art is : Expressive Symbolism”
“Simbol” dalam arti yang umum adalah suatu pertanda, pernyataan mengenai sesuatu dalam wujud yang mengandung arti sesuai dengan pernyataan itu. Bila wujud dari simbol itu sangat mirip dengan apa yang dimaksudkan, seperti misalnya rambu lalu lintas yang berwujud tanda plus (+) untuk menyatakan bahwa dekat didepan kita ada perempatan jalan, simbol yang demikian disebut simbol ikonik. Kalau simbol itu mempunyai wujud yang sangat berlainan dengan pesan yang dimaksudkan, seperti misalnya burung dara untuk menyampaikan pesan damai, palang merah untuk peri kemanusiaan, bendera putih untuk tanda menyerah, tanda itu disebut tanda non ikonik. Pendeknya simbol itu adalah sesuatu yang mewakili pesan, pernyataan. Arti dari masing-masing simbol non ikonik harus sudah terlebih dahulu dimengerti dan disepakati oleh semua pihak bersangkutan.
Definisi yang diberikan oleh Susanne K Langer tentang kesenian berbunyi : Art is the creation of form symbolic of human feeling, yang diterjemahkan : “Kesenian adalah penciptaan wujud-wujud yang merupakan simbol dari perasaan manusia”. Dalam kata lain, yang dituangkan oleh seniman dalam karyanya adalah simbol dari perasaannya, sesuatu yang mewakili perasaannya. Tergantung dari sang pengamat apakah ia bisa mengartikan simbol itu, mengerti apa yang dimaksudkan oleh Sang Pencipta.
Banyak orang ahli yang kurang setuju dengan definisi Susanne Langer itu karena penggunaan kata simbol dirasakan terlalu samar dan menyimpang dari pengertian yang layak dikaitkan dengan kata itu dalam masyarakat pada umumnya. Oleh karena dalam pembahasan kesenian banyak hal-hal yang beraneka ragam muncul, dimana tidak mungkin semua arti simbolnya dapat persetujuan sebelumnya antara semua pihak, maka pengertian kata simbol yang dipergunakan oleh Langer dalam kesenian dirasakan kabur. Kata simbol memang mempunyai daya tarik yang cukup besar, gampang diucapkan, mengandung gengsi, wibawa, tetapi sama halnya seperti kata-kata lain yang berwibawa (misalnya : partisipasi, pelestarian) mudah mengelabui pemakaiannya sendiri. Penggunaan kata yang agak samar sering membuat keliru dan mengundang segala pertanyaan.
Disamping mencoba untuk merumuskan apa kesenian itu, Susanne Langer juga menyelidiki bagaimana kesenian itu berfungsi didalam indera estetika kita. Ia mengatakan bahwa apa yang disajikan oleh kesenian kepada kita hanya “illusi” atau “bayangan”, artinya bukan keadaan sesungguhnya. Bukan hanya apa yang kita lihat pada waktu menikmati keindahan lukisan, tetapi juga apa yang kita nikmati sebagai keindahan dalam musik, atau rasakan sebagai indah waktu membaca (seni sastra) dianggap bayangan belaka. Disini lagi dipergunakan suatu kata yang menjebak. Kalau dikatakan bahwa meja yang kita lihat pada suatu lukisan bukan meja sesungguhnya, hal itu mudah dimengerti. Tetapi sebutan bahwa seni musik adalah illusi agak susah untuk menangkapnya bagi keseluruhannya. Sungguh pun benar bahwa kita dengan suatu instrumen bisa menciptakan suara burung sebagai illusi karena burungnya tidak ada. Sangat susah lagi untuk mengerti apa yang dimaksud dengan illusi perasaan.
Di lain tempat uraian Langer tentang ‘bayangan’ agak menyerupai konsep ‘imitasi’ dari filsuf-fisuf klasik Yunani Plato dan Aristoteles.
Mengenai ‘simbol’dan ‘simbolisme’ banyak karya seni ditemukan yang tidak dapat digolongkan sebagai simbol dalam arti “pernyataan sang seniman”. Contoh misalnya seni potret perseorangan , seni ornamentik, seni musik yang hanya menyajikan keindahan nada dan lagu tanpa bobot.