tag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post3502127212358260687..comments2022-03-23T12:26:26.965-07:00Comments on Estetika Jawa: 2. Sejarah Perkembangan EstetikaYusro Edy Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/14457770686941656722noreply@blogger.comBlogger73125tag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-10200958955054969592009-04-03T05:53:00.000-07:002009-04-03T05:53:00.000-07:00SUSANNE K LANGER (1950)“Art is : Expressive Symbol...SUSANNE K LANGER (1950)<BR/>“Art is : Expressive Symbolism”<BR/><BR/> “Simbol” dalam arti yang umum adalah suatu pertanda, pernyataan mengenai sesuatu dalam wujud yang mengandung arti sesuai dengan pernyataan itu. Bila wujud dari simbol itu sangat mirip dengan apa yang dimaksudkan, seperti misalnya rambu lalu lintas yang berwujud tanda plus (+) untuk menyatakan bahwa dekat didepan kita ada perempatan jalan, simbol yang demikian disebut simbol ikonik. Kalau simbol itu mempunyai wujud yang sangat berlainan dengan pesan yang dimaksudkan, seperti misalnya burung dara untuk menyampaikan pesan damai, palang merah untuk peri kemanusiaan, bendera putih untuk tanda menyerah, tanda itu disebut tanda non ikonik. Pendeknya simbol itu adalah sesuatu yang mewakili pesan, pernyataan. Arti dari masing-masing simbol non ikonik harus sudah terlebih dahulu dimengerti dan disepakati oleh semua pihak bersangkutan.<BR/> Definisi yang diberikan oleh Susanne K Langer tentang kesenian berbunyi : Art is the creation of form symbolic of human feeling, yang diterjemahkan : “Kesenian adalah penciptaan wujud-wujud yang merupakan simbol dari perasaan manusia”. Dalam kata lain, yang dituangkan oleh seniman dalam karyanya adalah simbol dari perasaannya, sesuatu yang mewakili perasaannya. Tergantung dari sang pengamat apakah ia bisa mengartikan simbol itu, mengerti apa yang dimaksudkan oleh Sang Pencipta.<BR/> Banyak orang ahli yang kurang setuju dengan definisi Susanne Langer itu karena penggunaan kata simbol dirasakan terlalu samar dan menyimpang dari pengertian yang layak dikaitkan dengan kata itu dalam masyarakat pada umumnya. Oleh karena dalam pembahasan kesenian banyak hal-hal yang beraneka ragam muncul, dimana tidak mungkin semua arti simbolnya dapat persetujuan sebelumnya antara semua pihak, maka pengertian kata simbol yang dipergunakan oleh Langer dalam kesenian dirasakan kabur. Kata simbol memang mempunyai daya tarik yang cukup besar, gampang diucapkan, mengandung gengsi, wibawa, tetapi sama halnya seperti kata-kata lain yang berwibawa (misalnya : partisipasi, pelestarian) mudah mengelabui pemakaiannya sendiri. Penggunaan kata yang agak samar sering membuat keliru dan mengundang segala pertanyaan.<BR/> Disamping mencoba untuk merumuskan apa kesenian itu, Susanne Langer juga menyelidiki bagaimana kesenian itu berfungsi didalam indera estetika kita. Ia mengatakan bahwa apa yang disajikan oleh kesenian kepada kita hanya “illusi” atau “bayangan”, artinya bukan keadaan sesungguhnya. Bukan hanya apa yang kita lihat pada waktu menikmati keindahan lukisan, tetapi juga apa yang kita nikmati sebagai keindahan dalam musik, atau rasakan sebagai indah waktu membaca (seni sastra) dianggap bayangan belaka. Disini lagi dipergunakan suatu kata yang menjebak. Kalau dikatakan bahwa meja yang kita lihat pada suatu lukisan bukan meja sesungguhnya, hal itu mudah dimengerti. Tetapi sebutan bahwa seni musik adalah illusi agak susah untuk menangkapnya bagi keseluruhannya. Sungguh pun benar bahwa kita dengan suatu instrumen bisa menciptakan suara burung sebagai illusi karena burungnya tidak ada. Sangat susah lagi untuk mengerti apa yang dimaksud dengan illusi perasaan.<BR/> Di lain tempat uraian Langer tentang ‘bayangan’ agak menyerupai konsep ‘imitasi’ dari filsuf-fisuf klasik Yunani Plato dan Aristoteles.<BR/> Mengenai ‘simbol’dan ‘simbolisme’ banyak karya seni ditemukan yang tidak dapat digolongkan sebagai simbol dalam arti “pernyataan sang seniman”. Contoh misalnya seni potret perseorangan , seni ornamentik, seni musik yang hanya menyajikan keindahan nada dan lagu tanpa bobot.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-79765602181438174112009-04-03T01:49:00.000-07:002009-04-03T01:49:00.000-07:00Aprilia Kurniawati2102407157Rombel 6Kelompok Keahl...Aprilia Kurniawati<BR/>2102407157<BR/>Rombel 6<BR/><BR/>Kelompok Keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni (Aesthetics and The Sciences of Arts) adalah kelompok keahlian yang melingkupi wilayah kajian yang lebih bersifat keilmuan - dan berkaitan dengan praktik seni rupa - ia menjadi penafsir dan penjelas fenomena kehidupan seni rupa. Tercakup dalam kelompok keahlian ini adalah wilayah keilmuan Sejarah Seni, Estetika, Kritik Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni, Filsafat Seni, dan Manajemen Seni yang selama ini telah mapan. Selain itu, keilmuan lain yang sangat terkait dengan seni rupa dan mulai di rintis adalah Semiotika dan Hermeneutika. Bila KK Seni Rupa lebih terkait dengan profesi kesenimanan, maka KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni banyak bergerak dalam wilayah keprofesian lainnya, seperti kritikus, sejarawan seni, kurator, dosen, manajer seni dan ahli konsevarsi seni.<BR/>Menimbang aspek penelitian dan pemberdayaan masyarakat, KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni tidak hanya bergerak dalam wilayah teoritik semata. Kajian yang bersifat lintas disiplin menjadi salah satu kunci penting. Kecenderungan semacam ini dapat dilihat dari banyaknya kajian yang membahas fenemona seni rupa dari berbagai sudut pandang dan pendekatan, seperti teori gender dan teori poskolonial. Selain itu, seni rupa saat ini telah menjadi wilayah kajian menarik karena ia tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu di mana ia berada. Hal inilah yang menyebabkan seni rupa menjadi wilayah kajian strategis sebab bisa menjadi bagian dari wacana kultural. Contoh semacam ini tampak dalam fenomena seni rupa dewasa ini yang sangat lekat dengan wacana identitas kultural. Wilayah strategis ini menjadi tantangan bagi KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni dalam mengidentifikasi persoalan identitas kultural Indonesia di tengah iklim dunia di masa globalisasi. Antisipasi terhadap kenyataan inilah yang menjadi pertimbangan KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni dalam mengembangkan proyeksi kepakaran dan program-program penelitiannya. Di sisi lain, aspek yang terkait dengan wilayah pemberdayaan masyarakat dalam KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni dapat dilihat misalnya dalam Psikologi Seni yang berhubungan dengan seni sebagai terapi, atau dalam wilayah pendidikan seni sebagai ruang pembentukan kreativitas.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-75770974455696556632009-04-02T08:51:00.000-07:002009-04-02T08:51:00.000-07:00Periode Postmodernisme (Derrida, gagasan Dekonstru...Periode Postmodernisme (Derrida, gagasan Dekonstruksi)<BR/> <BR/>Dekonstruksi dalam dunia filsafat secara langsung tidak berhubungan langsung dengan dunia dekonstruksi dalam dunia desain. Jika dekonstruksi menurut gagasan Derrida bahwa manusia manusia hakikatnya berpikir melalui “jejak” tanda dengan penafsiran subjektivitasnya. Artinya, apapun yang dipikirkannya tidak terlepas dari “jejak-jejak” masa lalu. Untuk mengamatinya, pengamat “diberi” peran menafsirkan dan merekonstruksi secara bebas. Pemikiran dekonstruksi ini merupakan kritik terhadap strukturalisme, karena strukturalisme dinilai terlalu mematikan subjek (diri manusia). Melalui sipirit Dekonstruksi inilah Derrida mencoba menghidupkan kembali, subjek (aku ada) karena manusia bukanlah zombi, robot atau benda mati, tetapi makhluk yang memiliki kebebasan untuk memilih dan mengekspresikan dirinya. <BR/><BR/><BR/>HENDI ANGGORO <BR/>2102407012<BR/>Rombel 1Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-64546235658208927102009-04-02T05:53:00.000-07:002009-04-02T05:53:00.000-07:00Periode KlasikMimesis menurut Plato (428-348)Panda...Periode Klasik<BR/>Mimesis menurut Plato (428-348)<BR/><BR/>Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Pertama Yang Indah adalah benda material, umpamanya tubuh manusia dan jiwa. Kedua ada dalam Philebus. Bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana.<BR/>Pandangan Plato terhadap karya seni dalam Politeia (Republik) dalam penilaiannya ada dua unsur,yaitu teoritis dan praktis. Unsur teoritis menyatakan bahwa segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli. Karya seni merupakan tiruan dari "mimesis memeseos". Oleh karena itu, Plato menilai rendah karya seni. Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua.<BR/><BR/>Nama : Galih Wicaksono<BR/>NIM : 2102407088<BR/>Rombel : 02Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-46924230777977573152009-04-02T05:36:00.000-07:002009-04-02T05:36:00.000-07:00Subjektivisme, gagasan Imanuel Kant pada masa Peri...Subjektivisme, gagasan Imanuel Kant pada masa Periode Kritik<BR/>Dalam sejarah filsafat, Imanuel Kant seorang filsuf kebangsaan Jerman mempunyai kedudukan yang sangat penting di Eropa. Disamping menghasilkan tulisan yang meliput secara luas dan mendalan mengenai segala bidang falsafah, ia sangat berpengaruh dalam perkembangan Falsafah Keindahan Dan Teori Kesenian.<BR/>Ia tidak setuju dengan pengobyektifan konsep keindahan, yang ia anggap akan menimbulkan kekeliruan dalam mencari jawaban tentang apa keindahan itu. Ia tidak membantah bahwa dengan cara empiris, dengan menyelidiki sebanyak mungkin orang, bias didapatkan standard of taste, atau ukuran tentang apa yang pada umunya dirasakan sebagai indah oleh orang-orang. Namun, dengan menemukan standard of taste itu, belum terjawab pertanyaan tentang apakah yang disebut keindahan itu. Cara ini hanya menemukan cirri-ciri dari benda indah yang pada umumnya memberi perasaan nikmat-indah pada manusia.<BR/>Kant lebih mempersoalkan tentang apa sebab adanya persamaan sekian banyak manusia terhadap benda yang dirasakan indah itu. Malahan bukan hanya saja tentang persamaannya, yang menyolok juga ialah bahwa rasa indah itu terhadap objek yang sama ternyata berbeda-beda antara golongan manusia. Oleh karena itu ia menarik kesimpulan bahwa bukan objek atau benda yang dinikmati, tetapi subjek, yakni manusia yang menikmatinya, yang menentukan keindahan objek tersebut.<BR/>Setiap manusia mempunyai nilai rasa keindahan yang berbeda dan bahkan ada yang sama, maka Kant menyusun teori keindahan yang memakai sebagai dasar bahwa memang apriori (berarti : telah hadir dari asalnya) ada suatu tanda unsur daya dalam budi manusia yang budi peka terhadap “keindahan”. Daya ini sudah tersusun dalam struktur budinya. Konsep apriori ini merupakan hal paling mendasar dalam falsafah keindahannya dan tercermin dalam uraian selanjutnya yang membahas tentang prinsip-prinsip penangkapan keindahan oleh manusia. Menurut teorinya, Kant didalam struktur budi manusia tersusun beberapa jenis “daya” atau “kemampuan” (Ing. : faculy) yang masing-masing berfungsi menurut hukum tersendiri. Antara lain ada kemampuan berfikir, logika, kemampuan menilai moralitas, etika dan kemampuan menikamati keindahan, sense of beauty. Menurut Kant pengalaman indah yang dihasilkan oleh daya estetika ini pada hakekatnya memberi kesenangan, dan rasa senang ini terletak pada si pengamat (subjek) dan tidak terletak pada benda yang dinikmati (objek). (A.A.M. Djelantik, 1999)<BR/>Jadi, secara ringkas konsep keindahan terlahir dari hasil perasaan manusia itu sendiri yang menikmati sebuah objek. <BR/><BR/>Miftah Farid<BR/>2102407020<BR/>Rombel 1Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-65649967514491844382009-04-01T20:02:00.000-07:002009-04-01T20:02:00.000-07:00NAMA : DENY PUSPITASARI NINGTYASNIM : 2102407147RO...NAMA : DENY PUSPITASARI NINGTYAS<BR/>NIM : 2102407147<BR/>ROMBEL : 05<BR/>PRODI : PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA<BR/><BR/>TUGAS II<BR/><BR/>GAGASAN ESTETIKA MENURUT SUSANNE K.LANGER DARI ALIRAN MODERNISME.<BR/><BR/>PROSES SIMBOLISASI DALAM KARYA SENI<BR/>Modernisasi dipandang sebagai gerakan penghapusan dan pembongkaran seni yang telah berjalan beberapa dekade. Bagi seniman Modernis, konsep seni rupa klasik bahwa seni rupa harus indah, seni rupa harus menghadirkan sensasi menyenangkan mata, harus memiliki subyek penggambaran(subject matter), seni rupa harus merupakan produk magis dari aura sang seniman dan seterusnya, selangkah demi selangkah mulai dicampakkan.<BR/>Ciri penting yang menandai pemikiran estetika aliran modernisme ini ialah sifatnya yang rasional. Selain itu segala sesuatu harus dapat dijelaskan dengan menggunakan data atau fakta yang bersifat empiris. Secara umum aliran estetika modernisme mengembangkan narasi-narasi besar dalam isme-isme yang berkembang antara lain rasionalisme, kapitalisme, individualisme, kubisme, realisme, abstrakkisme, ekspresionisme dan sebagainya yang berdampak terjadinya dehumanisasi yaitu kehidupam dan kreativitas yang terkotak-kotak, diplot-plot dan kaku seakan kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang berada di wilayah narasi-narasi besar ini.<BR/>Aliran pemikiran estetika modern menggunakan pendekatan induktif dalam persoalan keindahan adalah hasil rampatan atau generalisasi atas data atau fakta-fakta empirik yang diperoleh melalui suatu proses pengamatan seperti layaknya yang terjadi dalam tradisi ilmu pengetahuan ilmiah.<BR/>Teori estetika yang dikemukakan Langer merupakan pemikiran lanjut dari filsafat simbol. Langer dalam hal ini masih searah dengan Ernst Cassirer yang beranggapan bahwa simbol merupakan seluruh kegiatan mental manusia. Dengan anggapan itu, ditolaklah supremasi semantik (ilmu bahasa) yang menganggap diri sebagai satu-satunya media yang sah dengan didasari oleh penalaran yang ketat. Bahasa sebagai salah satu simbol diskurtif tidak dapat disangkal telah menunjang ilmu-ilmu lain. Bahasa merupakan wadah yang subur dengan ide dilahirkan secara beruntun.<BR/>Simbol yang “diskurtif” atau yang nalar dalam lingkup Neopositivisme, merupakam simbol logika modern untuk melakukan berbagai analisa pengungkapan. Simbol-simbol ini jelas terlihat dalam konstruksi logika kebahasaan. Tiap simbol mewakili satu nama, sehingga deretan simbol akan tersusun menurut aturan sintaksis tertentu yang menghasilkan suatu gambaran mengenai satu kenyataan tertentu.<BR/>Simbol diskurtif menyiratkan suatu struktur yang dibangun oleh berbagai unsur teratur yang dapat dipahami maknanya. Tidak ditaatinya aturan yang menghubungkan unsur tersebut menyebabkan tidak adanya unsur yang jelas dan kaburnya makna simbol itu.<BR/>Dalam hal ini Langer berusaha merumuskan satu teori seni yang didekati dari hasil teori simbol.<BR/>Prinsip penciptaan nilai estetik yang bertolak dari jenis abstraksi yang khas itu, dapat ditebak dalam berbagai jenis simbolisasi sebagai hasil abstraksi gagasan kreatif. Simbol estetik bukanlah suatu struktur atau konstruksi, melainkan suatu kreasi utuh. Dengan kata lain, simbol estetik bukanlah suatu simbol, melainkan kesatuan simbol. Simbol-simbol itu mempunyai maknanya masing-masing, tanpa perlu menjadi unsur-unsur tunggal dari keutuhan makna karya estetik itu, karena makna tersebut tidak bersifat struktural.<BR/>Secara umum, sebuah “susunan” mempunyai “makna”, sedangkan suatu ketaksaan atau ketakteraturan tidaklah mempunyai “makna”. Sebuah kalimat baru memiliki suatu arti jikalau tersusun menurut aturan yang benar. Apabila tidak tersusun secara benar, maka kalimat itu tidak mengutarakan suatu arti atau makna. Akan tetapi, simbol estetik bukanlah suatu susunan, karena itu tidak dapat dikatakan teratur atau tidak teratur. Simbol estetik adalah satu dan utuh karena tidak menyampaikan makna untuk dimengerti, melainkan pesan untuk diresapi. Akan tetapi, dalam pesan penyadaran terdapat nilai-nilai yang hendak dikomunikasikan. Dalam hal itu, terdapat elastisitas yang luas terhadap peresapan pesan komunikasi estetik.<BR/>Menurut Langer, realitas yang diangkat ke dalam simbol seni hakikatnya bukan realitas objektif, melainkan realitas subyektif, sehingga bentuk atau forma simbolis yang dihasilkannya mempunyai ciri amat khas. Forma simbolis yang terbentuk adalah forma yang hidup. Pengalaman subyektif bisa menjadi isu suatu forma simbolis. Jika pengalaman ini adalah suatu perasaan yang kuat, maka pembentukan forma ini akan menunjukkan ekspresivitas yang sedemikian kuat, mengakar sehingga forma itu seolah-olah hidup. Forna akan menjadi forma nilai-nilai estetik suatu obyek atau artifak.<BR/>Demikian pula dengan karya seni rupa atau desain, bukan hanya sekedar benda fungsional atau benda “ekonomis” saja, melainkan memiliki kedudukan sedemikian rupa sehingga memiliki “makna” obyektif. Terutama dalam rangkaian proses penyadaran sehingga desain dalam konteks tersebut merupakan satu model “propaganda” nilai-nilai, baik nilai komunikasi maupun nilai ideologisnya. <BR/>DAFTAR PUSTAKA<BR/>Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol Dan Daya. Bandung. ITBDENY PUSPITASARI N (2102407147) ROMBEL 05noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-9191248982445231182009-04-01T08:51:00.000-07:002009-04-01T08:51:00.000-07:00Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottl...Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan. Baumgarten menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik. Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), penemu ilmu estetika Jerman<BR/>di pertengahan abad 18 mengatakan: "Estetika dibagi tiga: 1. Estetika sastra<BR/>- teori sastra, 2.Estetika Alam dan 3. Estetika Sosiologi. Baumgarten berpendapat bahwa seni dan keindahan tidak terpisahkan.Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari keindahan, Tapi orang<BR/>sekarang sering salah mengkaitkan dengan estetika jaman Antik dan Abad<BR/>Pertengahan atau Renaissance. Estetika terus berubah sesuai jamannya.<BR/>Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.<BR/>Inisiatif Baumgarten tidak dengan segera memunculkan teori yang meyakinkan. Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant ( 1724 - 1804 ), yang membuat estetika menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya "Kritik der Urteilskraft"(1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah".<BR/>Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai estetika terhadap karya Seni. Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber, yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan.<BR/><BR/>Laely Maharani<BR/>2102407113<BR/>R.5Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-31010182665212415212009-04-01T00:57:00.000-07:002009-04-01T00:57:00.000-07:00PANDANGAN PLATOAjaran Plato mengatakan bahwa seni ...PANDANGAN PLATO<BR/><BR/>Ajaran Plato mengatakan bahwa seni adalah pencarian dan penemuan secara spontan, wajar dan penuh kejujuran. Seni berkaitan dengan penemuan keselarasan (harmoni) yang sebenarnya ada pada diri semua orang.Namun juga mencakup seni dan pengalaman estetis, karena baik seni dan keindahan dipandang sebagai gejala (fenomena) yang kongkrit dan dapat ditelaah secara empirit dan sistimatik ilmiah.<BR/>Konsep bahwa seni selalu indah, bahwa seni adalah idealisasi dari alam oleh manusia (ars homo additus nature) seperti yang dianut kebudayaan Yunani kuno sebenarnya adalah salah satu dari yang ada. Ia berbeda dengan ideal seni Cina dan seni India yang cendrung kepada bentuk yang metafisik, abstrak, religius dan lebih bertumpu pada intuisi daripada rasio. Pada dasarnya seni bukanlah sekedar ekspresi dari setiap ideal yang spesifik dalam bentuk yang plastis. Seni adalah ekspresi dari semua ideal yang dapat diungkapkan oleh seniman kedalam tata bentuk plastis yang berkualitas estetis, baik yang serba menyenangkan maupun menakutkan, mengharukan bahkan memuakkan. Nampak bahwa seni tidak selalu mesti indah dan menyenangkan, keindahan harus diartikan sebagai kualitas abstrak yang merupakan landasan elementer bagi kegiatan artistik. Eksponen penting dalam kegiatan ini adalah manusia sedangkan kegiatannya diarahkan untuk menghayati serta menjiwai tata kehidupan (diantaranya termasuk kehidupan estetis).<BR/>Dalam peristiwa kegiatan terjadi tiga tahapan,<BR/>1.Proses pengamatan perseptual (indrawi) terhadap kualitas materi dari unsur-unsur gerak, warna suara,bentuk dan reaksi-reaksi fisiologis lain yang kompleks.<BR/>2.Tata susunan dari kualitas materi tersebut yang tejalin secara organik dalam tatanan bentuk dan pola yang harmonis. Melalui kedua tahapan penghayatan tersebut muncullah kesadaran estetis.<BR/>3.Apabila tata susunan yang harmonis tersebut dengan sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dengan perasaan (emosi). Maka dapat dikatakan, bahwa emosi atau perasaan itu akan memberikan ekspresi sebagai unsur komunikasi . dalam hal inilah dikatakan bahwa seni adalah ekspresi dan bahwa tujuan sebenarnya dari seni adalah untuk mengkomunikasikan perasaan melalui tatanan bentuk plastis yang harmonis. Sedangkan arti dari keindahan, sebenarnya lebih mengacu pada perasaan yang dikomunikasikan lewat tata bentuk itu. Keindahan adalah unsur emosional sesuatu perasaan terpesona yang menyenangkan pada diri kita, yang ditimbulkan dari unsur-unsur karya keindahan merupakan kesadaran yang bersifat apresiatif, suatu sensasi yang membangkitkan kekaguman dan penghargaan.<BR/>Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah lebih unggul.<BR/>Selanjutnya Plato berpendapat bahwa Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada.<BR/><BR/><BR/><BR/><BR/><BR/>ARISTOTELES (384-322)<BR/><BR/>Pandangan Aristoteles tentang Estetika. menurut Aristoteles, keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia. Titik pangkal pandangan Aristoteles ialah bahwa karya seni harus dinilai sebagai sutu tiruan yakni tiruan dunia alamiah dan tiruan dunia manusia. Dangan karya tiruan, Aristoteles tidak memaksudkannya sekedar "tiruan belaka". karya seni seharusnya memiliki keunggulan "filsafi"yakni bersifat dan bernada "Universal". dengan begitu karya seni diharapkan menjadi lambang atau simbol yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali oleh si penggemar karya seni itu., berdasarkan pengalamannya sendiri. Entah itu ia dalam posisi sebagai pemain atau penonton. Pokok pandangan Aristoteles yakni tentang "katarsis" artinya "pemurnian" yang diasalkan dari kata "katharos" artinya "murni" atau "bersih". Menurut Aristoteles,"katharsis" adalah puncak dan tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Pandangan Aristoteles tentang "katharsis" sangat mempengaruhi filsafat tentang karya seni, bahkan teori drama. Biasanya "katharsis" diharapkan terjadi dalam diri penonton dan yang kemudian dibawanya pulang sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia. Sebagai pembebasan batin juga dari segala pengalaman penderitaan. Dengan begitu "katharsis" memiliki makna terapeutis dari segi kejiwaan, bahkan didalamnya kerap kali terdapat unsur penyesalan dan perubahan, semacam pertaubatan dalam rangka religius. selain pengrtian diatas dewasa ini kerap kali ditekankan bahwa "katharsis" secara obyektif pertama-tama terjadi pada "diri" paran dalam susunan tragedi itu sendiri.<BR/><BR/>IMMANUEL KANT<BR/><BR/>Dalam Critique Of Judgement (1790) yang dikutip oleh Porphyrios (1991), menyatakan bahwa suatu ide estetis adalah representasi dari imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu. Kant menyatakan adanya dua jenis keindahan, yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam dirinya sendiri, sementara keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan manusiayang dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu.iam the komtinghttps://www.blogger.com/profile/03239695709437643439noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-25783160704116357042009-04-01T00:35:00.000-07:002009-04-01T00:35:00.000-07:00Tresno Dwi Candra Suciana2102407158Rombel 06Sejara...Tresno Dwi Candra Suciana<BR/>2102407158<BR/>Rombel 06<BR/><BR/>Sejarah Perkembangan Estetika Periode Klasik<BR/>Gagasan Mimesis:<BR/><BR/>PANDANGAN PLATO DAN ARISTOTELES MENGENAI MIMESIS<BR/><BR/> Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunoni Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif.<BR/> Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain.<BR/>Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan <BR/>( Ravertz.2007: 12).<BR/><BR/>A. Pandangan Plato mengenai mimesis<BR/><BR/> Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.<BR/>Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio,tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah.<BR/> Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair (sastrawan) karena mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-Idea mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal. (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew. 1984:221). Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg:16).<BR/><BR/> B. Pandangan Aristoteles Mengenai Mimemesis<BR/> Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya. Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.<BR/> Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979: 13).Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-52967260590261701722009-03-31T20:17:00.000-07:002009-03-31T20:17:00.000-07:00DEFIANA LUTFITASARI /2102407011ROMBEL 1PANDANGAN P...DEFIANA LUTFITASARI /2102407011<BR/>ROMBEL 1<BR/><BR/>PANDANGAN PARA TOKOH MENGENAI MIMESIS<BR/><BR/>1.PANDANGAN PLATO MENGENAI MIMESIS<BR/>Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Pertama Yang Indah adalah benda material, umpamanya tubuh manusia dan jiwa. Kedua ada dalam Philebus. Bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana.<BR/>Pandangan Plato terhadap karya seni dalam Politeia (Republik) dalam penilaiannya ada dua unsur,yaitu teoritis dan praktis. Unsur teoritis menyatakan bahwa segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli. Karya seni merupakan tiruan dari "mimesis memeseos". Oleh karena itu, Plato menilai rendah karya seni. Tafsiran Plato tentang karya seni sebagai tiruan "mimesis" dari kenyataan yang ada di dunia ini tidak hanya jauh dari pandangan karya seni dewasa ini, tetapi sudah pada jaman Plato dan dalam karyanya sendiri tafsiran ini mengalami kesulitan.<BR/>Karya seni rupa dan sebagian karya sastra bisa ditafsirkan sebagai tiruan / mimesis dari kenyataan, tetapi karya seni musik amat sulit ditafsirkan sebagai tiruan.<BR/>Plato melawan karya sastra (umpamanya Homeros) dan seni drama, karena yang dipentaskan dan disyairkan hampir senantiasa hal-hal yang tidak baik dan tidak benar. Misalnya, tingkah laku kasar para dewa, bohong-membohong, bunuh-membunuh. Plato bersedia menerima keberadaan seniman dan penyair dalam negara yang ia idamkan, asal mereka menyajikan apa yang benar, baik, sopan dan adil, dan ikut mendidik rakyat.<BR/><BR/>2.PENDAPAT ARISTOTELES MENGENAI MIMESIS<BR/>Salah satu penggagas Yunani yang penting adalah Aristoteles, yang beranggapan bahwa keindahan suatu benda hakikatnya tercermin dari keteraturan, kerapihan, keterukuran, dan keagungan. Keindahan yang dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Bagi Aristoteles, karya seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih dibandingkan keindahan yang terjadi di alam, meskipun tidak tertutup terdapatnya karya seni yang lebih rendah daripada alam. Konsep mimesis (peniruan alam) kemudian menjadi ciri utama estetika Yunani dalam percaturan filsafat. Pendapat ini merupakan bias dalam menafsirkan pendapat Aristoteles. Aristoteles justru menyatakan “tragedi” ketika manusia harus meniru alam, atau meniru bentuk makhluk-makhluk di alam (“Puisi”, pasal 15 dan pasal 2). Beberapa karya seni memang menunjukkan “imitasi” alam yang membawa kebaikan, karena dibuat untuk memperbaiki sesuatu yang dinilai buruk. Melalui seni, manusia harus mampu membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sebenarnya. Menurut Aristoteles, ciri khas seni adalah kemampuannya membedah alam dan mengupas esensinya.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-87244802943320866942009-03-31T20:06:00.000-07:002009-03-31T20:06:00.000-07:00HANY USWATUN NISA / 2102407001rombel 1Komentar sej...HANY USWATUN NISA / 2102407001<BR/>rombel 1<BR/><BR/>Komentar sejarah perkembangan estetika pada periode klasik mengenai Mimesis.<BR/>1. Pandangan Plato Mengenai Mimesis<BR/>Menurut plato: seni hanya nenyajikan suatu ilusi(khayalan) tentang kenyataan dan tetap jauh dari kebenaran.<BR/>Dalam kenyataan setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide asli,kenyataan yang dapat diamati dengan panca indera selalu kalah dengan dunia ide.<BR/>Menurut plato: seorang tukang lebih dekat pada kebenaran dari pada seorang pelukis atau penyair.Seorang tukang menjiplak kenyataan yang dapat disentuh dengan panca indera,sedangkan seorang pelukis atau penyair menjiplak suatu jiplakan,membuat copy dari sebuah copy,jiplakan tersebut tidak bermutu,satu-satunya yang dapat mereka capai ialah gambar-gambar yabg kosong yang mengambang.<BR/><BR/> 2. Pandangan Aristoteles Mengenai Mimesis<BR/>Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.<BR/>Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.<BR/>Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979: 13).Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-84830701393728367492009-03-31T02:07:00.000-07:002009-03-31T02:07:00.000-07:00MOCHAMMAD IRFAN LUTHFI2102407039R.06Senjakala Mode...MOCHAMMAD IRFAN LUTHFI<BR/>2102407039<BR/>R.06<BR/><BR/>Senjakala Modernisme<BR/><BR/>Untuk mengkaji ulang apa itu "modernisme" mungkin baik juga kita menengok ke belakang dahulu. Seorang kritikus seni terkemuka tahun 1940-an , Clement Greenberg, mempopulerkan istilah "modernisme" itu dalam bidang wacana kesenian. Dalam essaynya "Avant-Garde and Kitsch" (1939) dan " Towards a Newer Laocoon" (1940), Greenberg menyatakan bahwa karya seni yang maju adalah yang bergerak dari kompleksitas tinggi ke arah yang lebih sederhana.1 Karya seni macam ini biasanya berfungsi serentak sebagai perlawanan terhadap kecenderungan totaliterisme standarisasi penilaian dan degradasi nilai oleh "kitsch" kultur pop. Sementara dalam essaynya yang lain yaitu "Modernist Painting" (1961) Greenberg menulis lagi :<BR/>"Essensi Modernisme terletak pada ......digunakannya suatu metode dari<BR/>disiplin tertentu justru untuk mengkritik disiplin itu sendiri. .....Apa yang harus ditampilkan adalah hal yang unik dan tak terreduksikan dari karya seni itu. Setiap seni itu harus menampilkan kekhasan effek-effeknya..."2<BR/><BR/>Pendeknya Greenberg menghendaki agar setiap medium artistik itu merujuk dirinya sendiri dan dari sana bergerak dengan proses abstraksi menuju hal yang essensialnya. Misalnya, kekhasan lukisan yang mesti di eksplorasi seorang pelukis adalah bidang datar dan pembatasan bidang datar itu. Maka katakanlah Greenberg ini menganggap khas kemodernan terletak pada keterpilahan bidang-bidang kesenian itu secara tegas. Tentu saja pandangan macam ini langsung terasa sangat miskin, dan karenanya menjadi bahan perdebatan yang ramai juga.<BR/>Satu hal yang jelas adalah kenyataan bahwa sejak tahun 1900-an hingga 1970-an kesenian, terutama seni rupa, mengalami perubahan konseptual sangat cepat yang tak pernah ada padanannya sebelumnya dalam sejarah. Secara garis besar perubahan itu dapat dikategorikan sebagai berikut ini : Pertama, seni sebagai representasi realitas, yang isi konsepnya berubah-ubah diwakili oleh Impressionisme, Cubisme, Dadaisme dan akhirnya Surrealisme. Masing-masing dari aliran yang disebut ini sesungguhnya pun sangat berbeda satu sama lain pandangannya mengenai apa itu "representasi" namun pada dasarnya mereka masih dapat dimasukkan dalam kategori besar "representasi" ini. Kedua, seni sebagai presentasi dari realitas yang tak terpresentasikan . Dapat dimasukkan dalam kategori-payung (umbrella category) ini adalah Abstrak Ekspressionisme, Konstruktivisme, De Stijl dan Minimalisme. Dan akhirnya , ketiga, adalah seni yang berpusat justru pada "non-representasi" dimana proses estetik cenderung tak dianggap perlu. Konsep ini agaknya diwakili terutama oleh Konseptualisme.<BR/>Semua itulah yang kerap disebut sebagai seni "modern". Maka menjadi jelas disana bahwa kemodernan lebih ditandai oleh kecenderungan "diskontinuitas" dalam rangka mencari "originalitas". Kecenderungan yang biasa disebut juga sebagai kecenderungan "Avant-garde" ini adalah kecenderungan untuk senantiasa ber-eksperimentasi mencari kebaruan tak habis-habisnya, eksplorasi kemungkinan baru terus-menerus. Yang menarik adalah bahwa kecenderungan macam ini membawa konsekuensi logis disangkalnya terus-menerus konsep-konsep sebelumnya, hingga akhir yang sudah terraba adalah disangkalnya kata "kesenian" itu sendiri : "The end of art", seperti kata Arthur Danto.3 Tidaklah mengherankan bila orang menganggap bahwa modernisme sudah selalu mengandung konsep "post" ( sesudah), sehingga kelak ketika muncul istilah "post-modern" pengertiannya menjadi kacau balau.<BR/>Sebagai paradigma sebetulnya kekhasan modernisme terletak pada konsep humanismenya yang liberal dan rasional, serta pada keyakinannya yang agak naif terhadap idealisme "kemajuan" ala Pencerahan ( Enlightenment). Di balik keyakinan ini terdapatlah praandaian bahwa dasar objektif baik bagi nilai-nilai dasar dan universal, maupun bagi tindakan-tindakan yang otonom itu mungkin.4<BR/>Lepas dari persoalan apakah sebagai kerangka filsafati idealisme modern itu dapat terpenuhi atau tidak , dalam kerangka kesenian proyek modernisme itu telah menggelindingkan arus eksperimentasi diatas tadi yang pada dasarnya merupakan gerakan-gerakan yang hendak menjadikan seni sebagai wilayah otonom . Yang dianggap sebagai "kemajuan" dalam bidang seni ternyata umumnya adalah aneka perubahan dan inovasi teknis guna mendapatkan pengalaman "estetik" yang lebih murni. Di balik hingar-bingar aliran-aliran baru itu , dalam perjalanannya kesenian modern macam itu ternyata makin jauh dari perkara-perkara sosio-kultural real dan makin masuk dalam suatu wilayah teknis dan imajiner tersendiri, wilayah kenikmatan reflektif ideal yang asing.<BR/>Namun barangkali yang membuatnya makin hari makin kehilangan wibawa adalah kenyataan bahwa kegilaan melabrak pola-pola baku sebelumnya yang terkandung dalam semangat avant-garde itu akhirnya juga melembaga. Modernisme menjadi suatu institusi kultural tersendiri yang menguasai sekolah-sekolah kesenian . Keradikalannya hilang dan ia menjadi kultur resmi, tempat berkumpul justru kaum neokonservatif. Memang ironis. Karya-karya Picasso, Joyce, Lawrence, Brecht, Pollock dan Sartre misalnya akhirnya menjadi karya-karya standard yang digunakan sebagai acuan baku studi akademis sedemikian hingga berbagai bentuk dan kegiatan seni yang tak bersesuaian dengan kanon tersebut menjadi tersisih, dianggap tak penting. Modernisme menjadi hegemoni kultural yang monolitis.<BR/>Itulah sebabnya kegiatan seni maupun kritik-kritik seni yang muncul sejak tahun 1960-an umumnya berkecenderungan justru untuk membongkar mitos modernisme yang monolitic itu , menumbangkan hegemoni gagasan dari para "empu" modern. Dominasi Abstrak ekspressionisme, Nouveau Roman, Eksistensialisme, film-film Avant-garde, New Criticism,dsb. segera digerogoti oleh bentuk-bentuk kesenian baru yang umumnya ( sengaja) bertolak belakang terhadap konsep-konsep modern itu. "Pop-art", misalnya, dengan sengaja mengolah tema-tema dan objek dari wilayah budaya-pop yang bisanya dianggap budaya rendahan oleh modernisme; "Minimalisme" misalnya, kendati sering dianggap juga produk modernisme akhir, toh di sisi lain justru merupakan sinisme karikatural atas kecenderungan formalistik modernisme yang berlebihan. Ada pula kecenderungan untuk justru memadukan berbagai disiplin seni seperti tarian di campur dengan lukisan dan sastera,misalnya. Dari gerakan-gerakan ini semua akhirnya yang dirombak bukanlah hanya "gaya" yang bersifat teknis, melainkan konsep tentang apa itu "seni" sendiri.<BR/>Gagasan-gagasan kritis di wilayah filsafat lantas seperti menggarisbawahi semua kecenderungan mendobrak paradigma modernisme itu. Pemikiran-pemikiran dari Sekolah Frankfurt, Roland Barthes, Michel Foucault, Jean Baudrillard, Jaques Derrida, Jaques Lacan dsb. akhirnya menggeser fokus dari kritik terhadap para "empu" dan "adikarya" modern ke arah cara kerja Modernisme itu sendiri, dan dari pemilahan modern yang ketat atas disiplin-disiplin ke arah pola interaksi dan kajian interdisipliner atas dinamika bentuk-bentuk representasi kultural manusia kontemporer. Misalnya saja dibukalah kajian-kajian atas peran mitos-mitos kultural dalam representasi, konstruksi representasi dalam sistem-sistem sosial, dsb.<BR/>Demikian dalam situasi dimana paradigma modern kian luruh, bentuk-bentuk ungkap kesenian tampil sangat berbeda kini karena konsep maupun materi yang diolahnya pun berbeda : pengolahan tubuh dalam seni "performance", penggunaan gas, telepati, dan skala-skala besar dalam seni yang berkaitan dengan isu lingkungan, intervensi-intervensi terhadap intitusi sosial-politik, penggunaan komputer dan media-media elektronik, dsb. Seniman telah menciptakan pula kartu-pos, rekaman-rekaman CD Rom, bahkan menulis buku,dst. Dan makin hari makin jelas bahwa kecenderungan pembauran interdisipliner kian kuat, seperti pada model seni "installasi", "performance art", "Action" dsb.dsb.. Kian kuat pula kecenderungan seni untuk terlibat dalam persoalan-persoalan sosio-kultural konkrit.<BR/>Di Indonesia, kendati denyutnya tak sehingar-bingar itu toh pergeseran yang serupa terjadi juga. Kesenian "modern" yang sempat diwakili sejak Raden saleh, Basuki Abdullah lantas Soedjojono, Affandi, Hendra Goenawan, dsb. hingga generasi A.D. Pirous, Sadali, dsb. sempat digebrak oleh Gerakan Senirupa Baru tahun 1975-an dan Pameran "senirupa Kepribadian apa" tahun 1977-an, yang menampilkan kecenderungan jauh lebih bebas dalam pola-pola ungkap keseniannya, serentak memperkarakan kiblat dan konsep dasar kesenian di Indonesia umumnya. Sejak itu para seniman generasi berikut hingga kini praktis berkiblat dan berkiprah sesuai dengan kecenderungan kontemporer seperti di dunia Barat. Sebut misalnya Heri Dono, Krisna Murti, Agus Suwage, Marintan Sirait, Dadang Kristanto, dsb.dsb. Adapun dalam dunia musik , pola musik kontemporer menjamur pula dengan sosok-sosok utamanya seperti Paul Gutama Soegiyo, Harry Rusli, Tony Prabowo,Sukahardjana, dsb. Dalam bidang teater kita kenal Putu Wijaya, sedang di bidang sastera ada Sutardji Calzoum Bachri, Danarto dan Budidarma; di bidang seni tari kita kenal Sardono W.Kusumo, dst.<BR/>Yang menarik adalah bahwa di Indonesia kecenderungan kontemporer itu serentak berpadu dengan upaya menggali inspirasi-inspirasi dasar dari khasanah tradisi. Hasilnya seringkali sangat memikat dan mencengangkan . Berbagai pencapaian sangat berarti dalam hal perpaduan itu misalnya : G.Sidharta dalam seni patung; Dadang Kristanto , Heri Dono dan Krisna Murti dalam seni installasi; Sardono dalam seni tari; Garin Nugroho dalam film; Sukahardjana dan Tony Prabowo dalam musik; Danarto , Putu Widjaja dan Sutardji dalam sastra. Untuk menyebut beberapa saja yang langsung terasa menonjol.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-54633030075293178542009-03-31T00:18:00.000-07:002009-03-31T00:18:00.000-07:00Septian Riztiana2102407021Rombel 01Sejarah Perkemb...Septian Riztiana<BR/>2102407021<BR/>Rombel 01<BR/><BR/><BR/>Sejarah Perkembangan Estetika<BR/>1 Periode Klasik<BR/>Kant mengemukakan bahwa didalam budi manusia sudah apriori (dari asal mulanya) terdapat suatu struktur, suatu susunan yg berfungsi untuk menikmati keindahan menurut hukum-hukum tersendiri. Sedangkan khatarsis adalah pembebasan dari kesulitan dan dari ketegangan jiwa yang sedang menekan manusia.<BR/>pembebasan yang dimaksud adalah problem atau kesulitan yang serupa, yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.<BR/>2.Periode Kritik<BR/>Subyetivisme yang terdapat dalam pandangan filsuf khant tentang keindahan. Khant memandang keindahan itu sebagai fungsi daripada struktur yang memang sudah ada di dalam si subyek. struktur dalam budi itu membuat manusia mampu mengentarakan unsur-unsur yang membangkitkan rasa indah estetika dalam budi itu, seolah-olah subyek itu sendirilah yang menciptakan keindahan.<BR/>3.Periode Positivisme<BR/>Nietzche mendasarkan definisi seni di dalam dua kecenderungan jiwa yaitu Apollonian ( dewa mimpi ) dan Dionysian ( dewa mabuk anggur ) yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa seni adalah luapan hasrat jiwa manusia sebagai sebuah tiruan. Jadi seniman menukik ke kedalaman kemabukan Dionysian dan peniadaan diri dan terpisah dari kebanyakan orang yang menikmati seni dan kemudian melalui inspirasi impian Apollonian, keadaannya sendiri yaitu kesatuannya dengan dasar alam semesta ini, diwahyukan kepadanya dalam suatu gambaran impian simbolis.<BR/>4.Periode Modernisme<BR/>Modernisme menganggap bahwa kelebihan manusia terletak pada rasionya. Rasio ini digunakan manusia untuk memahami dunia, dan pemahaman atas dunia secara rasional memerlukan bahasa. <BR/><BR/>Pandangan tentang bahasa itu menunjukkan ada dua hal yang diyakini dalam modernisme. Pertama, modernisme percaya bahwa bahasa dapat menjadi media bagi pesan dan makna. Kedua, bahasa adalah media bagi manusia untuk melakukan kegiatan berkomunikasi dengan makna yang rasional. <BR/>Konsekuensi dan fanatisme modernis terhadap kemampuan bahasa dalam menyampaikan makna melahirkan berbagai pemilahan (oposisi) biner. Oposisi tersebut berfungsi menstrukturkan dunia sehingga dapat dengan mudah dipahami. Contoh dari opisisi biner ini adalah laki-laki-perempuan, baik-jahat, gelap-terang, rasional-irrasionaldan sebagainya. <BR/>Dengan adanya berbagai oposisi biner ini kenyataan menjadi dapat dijelaskan. Dengan kata lain, kenyataan yang ada dalam dunia modern adalah kenyataan yang diciptakan dan dibentuk oleh semua oposisi biner. <BR/>5.Periode Modernisme<BR/>Pengertian ekspresi memuncak dalam masa romantik. kalangan kesenian beranggapan bahwa semua seni adalah cetusan emosi yang meluap dari sang seniman. Ekspresi pada masa romantik terutama menyangkut emosi yang dituangkan perasaan yang dicetuskan maka pada masa sekarang ekspresi juga meliputi segala macam pernyataan,perwujudan karya seni, baik secara langsung ataupun tidak langsung.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-68479983218039349992009-03-30T21:56:00.000-07:002009-03-30T21:56:00.000-07:00LITA DWI ARIYANTI2102407033ROMBEL 2 Estetika mul...LITA DWI ARIYANTI<BR/>2102407033<BR/>ROMBEL 2<BR/><BR/> Estetika mulai dikenal pada tahun 1735 oleh Baumgarten, hal tersebut tidak berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam <BR/>sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.<BR/><BR/> Menurut pandangan Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas.<BR/>Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-19573393926674666472009-03-30T21:32:00.000-07:002009-03-30T21:32:00.000-07:00RATNA INDRAWATI (2102407004)1.Periode Klasik (Aris...RATNA INDRAWATI (2102407004)<BR/><BR/>1.Periode Klasik (Aristoteles)<BR/>Salah satu penggagas Yunani yang penting adalah Aristoteles, yang beranggapan bahwa keindahan suatu benda hakikatnya tercermin dari keteraturan, kerapihan, keterukuran, dan keagungan. Keindahan yang dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Bagi Aristoteles, karya seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih dibandingkan keindahan yang terjadi di alam, meskipun tidak tertutup terdapatnya karya seni yang lebih rendah daripada alam. Konsep mimesis (peniruan alam) kemudian menjadi ciri utama estetika Yunani dalam percaturan filsafat. Pendapat ini merupakan bias dalam menafsirkan pendapat Aristoteles. Aristoteles justru menyatakan “tragedi” ketika manusia harus meniru alam, atau meniru bentuk makhluk-makhluk di alam (“Puisi”, pasal 15 dan pasal 2). Beberapa karya seni memang menunjukkan “imitasi” alam yang membawa kebaikan, karena dibuat untuk memperbaiki sesuatu yang dinilai buruk. Melalui seni, manusia harus mampu membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sebenarnya. Menurut Aristoteles, ciri khas seni adalah kemampuannya membedah alam dan mengupas esensinya.<BR/><BR/>2.Periode Kritik (Beardsley, gagasan Relativisme)<BR/>Beardsley telah menerangkan bahwa di dalam masing-masing kriterium ada magnitudenya, “pentarafannya”. Yang menentukan tingginya taraf kehadiran mutu seni dari masing-masing kriterium dalam suatu karya seni adalah sang penilai sendiri. Di samping ketergantungan pada intuisinya, kemahiran masing-masing orang dalam mengukur kehadiran kriterium yang ditentukan ikut berperan. Dengan demikian, telah nyata bahwa sifat relativisme (kenisbian) dari segala penilaian sudah diperhitungkan dalam teori Beardsley.<BR/><BR/>3.Periode Postmodernisme (Derrida, gagasan Dekontruksi)<BR/>Dekontruksi dalam tradisi filsafat – terutama gagasan Derrida – berkeyakinan manusia hakikatnya berpikir melalui ‘jejak’ tanda dengan penafsirn subjektivitasnya. Artinya, appun yang dipikirkannya tidak terlepas dari ‘jejak-jejak’ masa lalu. Untuk mengamatinya, pengamat ‘diberi’ peran menafsirkan dan merekonstruksinya secara bebas.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-84516156752695142912009-03-30T19:36:00.000-07:002009-03-30T19:36:00.000-07:00YUNITA DYAH WAHYUNINGRUM2102407022ROMBEL 11.Period...YUNITA DYAH WAHYUNINGRUM<BR/>2102407022<BR/>ROMBEL 1<BR/><BR/><BR/>1.Periode Klasik<BR/>Menurut Aristoteles khatarsis adalah pembebasan dari sebuah kesulitan dan ketegangan jiwa yang sedang menekan manusia. Aristoteles menegaskan bahwa tujuan dari semua kesenian (puisi atau drama) adalah baik: sambil menikmati keindahan seni yang disajikan, para penonton membayangkan apa yang bisa terjadi pada dirinya sendiri, seolah-olah mereka sendiri yang mengalami peristiwa dan masalah yang disajikan. Dengan ikut merasakannya, mereka mengalami “pembebasan” dari problem atau kesulitan yang serupa, yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut yang dinamakan khatarsis.<BR/><BR/>2.Periode Kritik<BR/>Subjektivisme menurut Imanuel Kant adalah keindahan itu dipandang sebagai fungsi daripada struktur yang memang sudah ada dalam diri si “subyek”. Struktur dalam budi itu membuat manusia mampu mengentarakan unsur-unsur yang membangkitkan rasa indah estetika dalam budi itu, seolah-olah subyek itu sendirilah yang menciptakan keindahan. <BR/><BR/>3.Periode Positivisme<BR/>Nietzche mendasarkan definisi seni di dalam dua kecenderungan jiwa yaitu Apollonian ( dewa mimpi ) dan Dionysian ( dewa mabuk anggur ) yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa seni adalah luapan hasrat jiwa manusia sebagai sebuah tiruan. Jadi seniman menukik ke kedalaman kemabukan Dionysian dan peniadaan diri dan terpisah dari kebanyakan orang yang menikmati seni dan kemudian melalui inspirasi impian Apollonian, keadaannya sendiri yaitu kesatuannya dengan dasar alam semesta ini, diwahyukan kepadanya dalam suatu gambaran impian simbolis.<BR/> <BR/>4.Periode Modernisme<BR/>Modernisme menganggap bahwa kelebihan manusia terletak pada rasionya. Rasio ini digunakan manusia untuk memahami dunia, dan pemahaman atas dunia secara rasional memerlukan bahasa. <BR/><BR/>Pandangan tentang bahasa itu menunjukkan ada dua hal yang diyakini dalam modernisme. Pertama, modernisme percaya bahwa bahasa dapat menjadi media bagi pesan dan makna. Kedua, bahasa adalah media bagi manusia untuk melakukan kegiatan berkomunikasi dengan makna yang rasional. <BR/><BR/>Konsekuensi dan fanatisme modernis terhadap kemampuan bahasa dalam menyampaikan makna melahirkan berbagai pemilahan (oposisi) biner. Oposisi tersebut berfungsi menstrukturkan dunia sehingga dapat dengan mudah dipahami. Contoh dari opisisi biner ini adalah laki-laki-perempuan, baik-jahat, gelap-terang, rasional-irrasionaldan sebagainya. <BR/><BR/>Dengan adanya berbagai oposisi biner ini kenyataan menjadi dapat dijelaskan. Dengan kata lain, kenyataan yang ada dalam dunia modern adalah kenyataan yang diciptakan dan dibentuk oleh semua oposisi biner. <BR/><BR/><BR/>5.Periode Postmodernisme<BR/>Teori ekspresi dan intuisi:<BR/>teori ekspresi adalah pencetusan emosi sang seniman dalam karyanya yang juga bermaksud untuk menyampaikan pesan yang lebih mendalam pada masyarakat yang terkandung dalam hati sanubarinya.<BR/>Teori intuisi adalah “bisikan hati” atau “daya batin” untuk mengerti atau mengetahui sesuatu tidak dengan berfikir atau belajarAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-12260599811387209622009-03-29T05:10:00.000-07:002009-03-29T05:10:00.000-07:00Sejarah perkembangan Periode Positivisme :Secara u...Sejarah perkembangan Periode Positivisme :<BR/>Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya.<BR/><BR/>Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. P<BR/>Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999)<BR/>Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.<BR/><BR/>Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah. Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu ‘indah’ dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Terhadap hal ini, tugas tugas yang diberikan pada perkuliahan Nirmana 3 Dimensi adalah bentuk bentuk yang memiliki nilai betul, walaupun pada beberapa tugas tertentu sebagian siswa dapat mencapai nilai indah.<BR/>Banyak pemikir Seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood.(Sutrisno,1993)<BR/><BR/>Deddy Dwi Wijaya <BR/>2102407095<BR/>R.2Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-62062831177009133922009-03-29T04:45:00.000-07:002009-03-29T04:45:00.000-07:00Sejarah perkembangan estetika periode kritikMenuru...Sejarah perkembangan estetika periode kritik<BR/><BR/>Menurut Immanuel Kant estetika dipandang sebagai usaha untuk menjembatani "jurang" antarana "keniscayaan alam", hasil pemikiran Critique of pure reason. Jadi, keindahan analog dengan keniscayaan alam, dan sublim analog dengan kebebasan. Pemikiran estetika Kant menjadi kulminasi dari permasalahan estetika pra-Kant.<BR/>Pokok-pokok permasalahan di dalam pemikiran estetika Kant dapat dibagi menjadi 2 yaitu:<BR/>1. Permasalahan keindahan dan sublim<BR/>Pembahasan permasalahan keindahan dan sublim dimulai dengan menggunakan sarana judgment of teste. Keindahan dan sublim merupakan objek-objek yang menghasilkan peristiwa estetis.<BR/>2. Permasalahan seni dan genius<BR/>Maksud kedudukan seni dan genius di dalam "deduksi aesthetic judgment" adalah bahwa pertama-pertama genius di dalam seni menunjukan peran atau sumbangan alam dalam "peristiwa keindahan" di dalam seni. Kedua "seni" dalam arti Kantian adalah bukan objek khusus yang hadir dihadapan kita. "seni" dalam arti kantian adalah semacam "proses" ia adalah "gangguan" di satu atau dua panca indra kita.<BR/><BR/>Widiana<BR/>2102407008<BR/>Rombel 1Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-32268847533348847012009-03-29T03:17:00.000-07:002009-03-29T03:17:00.000-07:00Rizqiya A.N.2102407103R.4 ...Rizqiya A.N.<BR/>2102407103<BR/>R.4 <BR/>Pemikiran dalam postmodernisme<BR/>Di era postmodern, estetik kembali menjadi bahan kupasan yang luas sebagai bagian dari filsafat nilai. Dalam eara ini estetika kembali memposisikan diri dalam situasi chaos dan anomaly. Tidak ada lagi nilai, makna, kebenaran, dan keindahan yang absolute. Estetik menglami kebuntungan paradigma, karena tatanan kebudayaan yang bernilai telah mengalami perubahan yang substansial. Bingkai falsafahnya mengalami keretakan yang besar. Masyarakat tidak lagi peduli dengan nilai, norma, kepatutan, kebaikan ataupun kearifan. Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi komuniksi ang berkembang pesat. Situasi ini mempercepat keruntuhan nilai konvensional, karena apapun yang dilakukan dapat di anggap sebagai karya estetik, seperti horror, terror, pornografi, pembajakan, despritualisasi, dehumanisasi sampai demoralisasi. <BR/>Pada dasarnya Grenz (2001:200) menjelaskan, bahwa sebenarnya ada tiga tokoh yang menonjol sebagai pemikir postmodernisme, yaitu Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Richard Rorty. Mereka bertiga adalah trio nabi postmodernisme, kadang-kadang bernyanyi bersama dengan harmonis, tetapi lebih sering menghasilkan musik yang tidak harmonis yang merupakan ciri postmodern. Postmodernisme tidak mempunyai dunia pemikiran. Intinya adalah penolakan adanya realitas yang utuh sebagai objek dari persepsi kita. Postmodern menolak usaha untuk menyusun sebuah cara pandang tunggal. Secara khusus, era postmodern menandai berakhirnya konsep “universe” – berakhirnya cara pandang yang total dan utuh (Grenz 2001:68). Dalam beberapa contoh misalnya, arsitektur postmodern sengaja memberikan ornament (hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Ditekankan kembali oleh Grenz (2001:40) bahwa arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik gaya seni tradisionil, sedangkan arsitektur modern membuang segala gaya dan teknik seni tradisionil. Hal itu juga ditegaskan oleh Umberto Eco (2004:375) bahwa elemen-elemen ini tidak memiliki fungsi struktural: elemen-elemen tersebut tidak menyokong apa pun. Elemen-elemen tersebut murni dibubuhkan sebagai perhiasan, seraya berlagak memiliki fungsi. Di dalam kasus-kasus tertentu, bahkan terjadi pembunuhan arsitektur. Hanyalah style-nyalah yang diberi kesempatan hidup.<BR/>Oleh karena itu, Jones (1970) menegaskan: “mendesain bukan lagi sekedar meningkatkan stabilitas dunia buatan manusia: mendesain berarti mengubah, secara lebih baik atau lebih buruk, hal-hal yang menentukan arah perkembangannya” (Lawson 2007:125). Demikian arsitektur bertutur untuk menjawab dimensi keruangan alam semesta ini. Perjalanan pemahaman dan pemikiran telah berlangsung lama dalam merancang lingkungan maupun bangunan. Pemikiran dan teori berkonsultasi menjadi sebuah konsep yang harus diimplementasikan dalam sebuah rancangan. Nuansa pendekatan akademis dan intuitif menjadi sebuah komponen dalam perjalanan ‘berarsitektur’, kapan harus dimulai dan kapan harus diakhiri. <BR/><BR/><BR/>Ekspresi dan intuisi<BR/>Croce menyebutkan bahwa ekspresi tidak dapat dipisahkan dari intuisi. Kita dapat mengidentifikasi seni melalui fakta estetik contohnya karya seni yang memiliki ciri intuitif. Namun para filsuf menentang anggapan bahwa semua intuisi adalah seni. Menurut mereka, seni merupakan sebuah intuisi yang sangat khusus. Jadi intuisi artistik berbeda dengan intuisi pada umumnya karena memiliki faktor X yang lebih. Tidak ada perbedaan spesifik sehingga tidak seorangpun mampu menunjukkan apa faktor X itu. Ada yang merumuskan seni adalah intuisinya intuisi namun anggapan ini tidak mencukupi. <BR/>Intuisi artistik sama dengan intuisi biasa. Namun fungsi artistik jangkauannya lebih luas sehingga perbedaannya tidak bersifat intensif tetapi lebih pada ekstensif. Menurut Croce, dimana batas dari ungkapan intuisi yang disebut seni sifatnya empiris dan tidak dapat didefinisikan. Bagi Croce hanya ada satu estetika, sains tentang pengetahuan intuitif atau pengetahuan ekspresif yang merupakan fakta artistik. Kejeniusan artistik atau intuitif seperti bentuk aktivitas manusia lainnya adalah selalu sadar. Jika tidak ia akan menjadi suatu mekanisme buta. Croce menentang pandangan bahwa ketidaksadaran (unconsciousness) sebagai kualitas utama dari kejeniusan artistik. Kelebihan para jenius artistic terletak pada kesadaran reflektif.<BR/>Fakta estetik bukan hanya terdiri atas isi dan juga bukan merupakan titik temu antara bentuk dan isi, yaitu impresi plus ekpresi. Dalam fakta estetik, aktivitas ekspresif tidak hanya menambah impresi namun lebih pada elaborasi dan pemberian bentuk pada impresi. Peniruan alam bukan berarti seni membuat reproduksi mekanis (membuat duplikat objek alami yang sempurna). Ilusi dan halusinasi tidak ada kaitannya dengan wilayah intuisi artistik. Jika seniman melukis pemandangan maka kita melihat suatu aktivitas spiritual dan intuisi artistik.<BR/>Intuisi merupakan pengetahuan dan seni adalah pengetahuan. Pernyataan bahwa seni tidak menunjukkan kebenaran dan bukan termasuk dunia teoritis adalah klaim yang muncul dari ketidakmampuan untuk mengerti ciri teoritis dari intuisi biasa. Menurut Croce, teori bahwa ada kemampuan indera estestis khusus juga timbul dari kegagalan untuk mendudukkan dengan benar, perbedaan karakter antara ekspresi dan impresi (bentuk dan materi). Ungkapan estetis adalah sebuah sintesis dan tidak dapat dibedakan mana yang langsung dan mana yang tidak langsung masuk ke dalam indera estetik. <BR/>Setiap ekspresi merupakan ungkapan yang utuh, melebur, menyatukan impresi – impresi menjadi kesatuan organic. Fakta ini yang selalu dicari orang ketika mereka mengatakan bajwa karya seni memiliki kesatuan dalam keragaman meskipun hal ini bertentangan dengan fakta bahwa kita membagi karya seni menjadi puisi yang terbagi menjadi kalimat, kata, dan lainnya. Pembagian merusak karya seni, karena karya seni harus mendeduksi bagian dan membangun bagian menjadi ungkapan utuh. Dengan menggabungkan impresi, manusia dapat membebaskan diri dari impresi tersebut. Fungsi seni sebagai yang membebaskan merupakan sisi lain dari karakternya sebagai aktivitas. Aktivitas berfungsi sebagai pembebas karena aktivitas menghasilkan kepasifan.<BR/>*Teori Croce sangat idealis bahwa seni adalah suatu intuisi yang utuh, pembebas dan memurnikan. Seni tidak berbeda dengan pengetahuan dan berisikan kebenaran. Hal ini membuat kedudukan seniman dengan ilmu sains menjadi setara sehingga seni tidak dapat diremehkan. Selama ini masyarakat amat merendahkan kedudukan seni. Dengan teori Croce kita dapat membalikkan sains yang kaku dan terlalu berkuasaAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-87629080628867463882009-03-29T02:29:00.000-07:002009-03-29T02:29:00.000-07:00RESTU MARDHIKAWATI2102407015ROMBEL 01Periode Klasi...RESTU MARDHIKAWATI<BR/>2102407015<BR/>ROMBEL 01<BR/><BR/>Periode Klasik<BR/> Pandangan objektif tentang karya seni di mulai semenjak plato, konsepnyayang terkenal yaitu tentang mimetis atau meniru. Seorang seniman tidak menciptamelainkan meniru, sehingga tidak produktif. Keindahan yang sebenarnya hanyadapat ditangkap dalam dunia idea, sebab itu usaha seniman mencapainya akansia-sia belaka, karena mereka terkungkung dalam batas pengalaman duniawiyang tidak dapat mereka hindari. Seni hanya sebagai bukti akan adanya keinginandan usaha yang tidak pernah berhasil untuk mencapai rewalitas yang benar(actual reality) dan nilai-nilai yang hakiki. Dunia ini adalah suatu realita yang mendahului keaktifan manusia. Siseniman bukannya mencipta melainkan hanya mengimitasi. Mimesis atau imitasimenjadi prinsip pokok bukan saja dalam estetika plato tetapi bahkan seluruhperiode klasik. Abad pertengahan dan renaisans. “realitas” lah mempersyaratiseniman, yang kemudian merenungkan dan memprodusir kembali. Mula-mula iahanya mengira-ngirakan rewalita duniawi yang kemudian menggambarkannyalebuh mendekati kenyataan atau realita Ilahi (heavenly realirty) yang tetap, yaknisuatu taraf dimana keduniaan hanya merupakan refleksi semu. Bagi Aristoteles,imitasi adalah wajar pada manusia sejak keecil. Ia memandangnya sebagai suatukelebihan manusia dari mahkluk yang lebih rendah (binatang). Manusia adalahmahkluk imitator, sehingga iminitasi adalah intrinsik pada seniman. Semuamanusia pada dasarnya tidak dapat mencipta, melainkan hanya memperhatikandan mengetahuinya kemudian mengiminitasi. Bagi Aristoteles imnitasi bukansekedar deskripsi dari apa yang telah terjadi, apa yamng telah terjadi adalah tugasahli sejarah. Para seniman harus mengkonsentrasikan pada masalah kemungkinan(probability), keharusan (necessity), kesatuan (coherence), dan keselesaian(completeness) (Abdulkadir, 1947: 5, 11-14). Pandangan objektif tentang karya seni juga terdapat pada pendapat bahwaseni sebagai representasi dari kualitas. Seorang seniman pada awalnyaberhadapan dengan objek. Objek itu dapat berupa benda-benda atau kejadian-kejadian konkret. Seorang seniman melihat atau mencerap kualiatas yangterdapat pada sesuatu. Kualitas yang ditangkap oleh seniman iitu kemudiandiwujudkan dalam ungkapan karya seni seperti : likisan, sajak, musik, atau tarian. <BR/>Dalam mewujudkan kualitas itu seniman harus bergulat dengan mediumnya<BR/>untuk mencapai bentuk representasi yang pas atau cocok. Representasi seni<BR/>bukan merupakan deskripsi atau informasi tentang kenyataan. Seni harus<BR/>berbeda dengan informasi fakta belaka (Jacob Sumarjo, 2000: 53-54). Seperti<BR/>yang dikatakan Aristoteles bahwa pada pada pengalaman kita sering menjumpai,<BR/>wlaupun objek yang ditampilkan mungkin tidak sedap dipandang, kita kagummelihat representasi realistiknya dalam seni. Sebagai contoh : Gambaran bentuk-brntuk binatang terendah dan bangkai-bangkai (Abdul kadir, 1974: 11-12).Jelaslah disini bahwa representasi suatu karya seni walaupun bersifat mimesisatau meniru tidak sekedar mendeskripsikan atau menempilkan objek apa adanya,seperti halnya tujuan ilmu pengetahuan. Mungkin seorang yang tinggal danterbiasa ditepi pantai atau dipegunungan tidak menangkap kualitas itu danmewujudkannya dalam lukisan, syair, musik sehingga keindahan itu dapat diapresiasi oleh orang lain. Disamping itu, di Italia terdapat beberapa seniman yang merangkapsebagai teoritikus dan dan filsuf ksenian. Perintisnya adalah Leon Battista Alberti(1409-172), seorang arsitek yang menelidiki ayarat-ayarat yagng harus dipenuhidalam karya seni lukis, seni pahat dan arsitektur dari sudut pengolahan materi.Ayarat tersebut adalh keselarasan yang terdapat diantara segala bagian karayaseni yang membentuk kesatuan. Buonarotti (1475-1564 ), Sanzio Raphael (1483-1520 ) dan Donatto Bramante (1444- 1415), yakni bahwa dalam mencuptakankarya seni, seniman perlu berpegang pada pedoman umum bahwa karya senimanapun akan takluk pada ilham. Asal ilham tersebut adalah alam sehingga harus“ta’at” pada alam. Ini bererti harus meniru alam begitu saja, namun representasiilham si seniman dalam karya seni harus terjadi berdasarkan pengamatan danpenelitiannya terhadap alam, khususnya tubuh manusia. Makin taat pada alammakin berhasillah dia “berbicara” lewat karya seni (udji Sutrisno, 1993;44 ).<BR/>Pandangan Subjektif tentang Karya Seni.<BR/> Pandangan eststika dan karya seni bersifat objektif atau teori mimetis dalam<BR/>karya seni, berlangsung semenjak periode yunani klasik dimulai oleh plato<BR/>selanjutnya, Aristoteles, bahkan Platonos masih meneruskan tradisi ini. Abad<BR/>pertengahan dan zaman Renaisan masih meneuskan tradisi ini, namun pada<BR/>zaman Renaisan, mulai nampak benih-benih yang hendak mengalihkan prinsip<BR/>estetika dan karya seni objektif menuju prinsip subjektif. Terdapat usaha-usaha<BR/>untuk merubah anggapan seni yang dipandang sebagai mimesis dengan yang<BR/>difahamkan sebagai kreasi.<BR/> Perpindahan tersebut paling nampak pada karya Leonardo da Vinci.<BR/>Baginya seniman itu mencipta bukan mengimitasi. Ia yakin bahwa Tuhan tidak<BR/>sedemikian absolut, sehingga manusia juga dapat melatih kemampuan kreatifnya<BR/>sendiri. Kemampuan kreatif manusia menyerupai kemampuan kreatif Tuhan.Penggambaran tentang dunia natural bukanlah suatu ciptaan, tetapi sekedarrekreasi artistik. Namun demikian, diatas kanvas dan dengan kuasnya si pelukisbenar-benar dapat menciptakan dunia atau alam yang sebenarnya tidak ada. Iadapat menciptakan fantasi personal yang berisi mahkluk-mahkluk yang samasekali berbeda dengan figur-figur malaikat dan fiur-figur setan buas. Usaha-usahauntuk memindahkan problem estetika ke dalam pandangan realitas subjektif,meluas pada abad 17. Pandangan subjektif ini awalnya tidak mendapat dukungankonsep metafisik yang juga berorientasi subjektif pada masa Leonardo da Vincimaupun jaman renaisan (Abdul Kadir, 1974:24-28).<BR/>Walaupun problematik objektivitas dan subjektivitas tidak langsung<BR/>berjalan sejajar dengan problematik bentuk dan isi dalam karya seni, namun ada<BR/>hubungan antara keduanya. Teori mimesis yang menganggap bahwa seni itu<BR/>meniru alam seperti diawali oleh Plato dan Aristoteles jelas menunjukkan bahwa<BR/>pendapat ini mendasarkan pada representasi seni yang menggambarkan<BR/>kenyataan. Artinya bahwa wujud dari seni itu berupa gambaran atas realitas<BR/>konkret atau bertumpu pada peristiwa-peristiwa konkret. Sedangkan pandangan<BR/>subjektif tenteng karya seni lebih menekankan pada kreativitas atau suasana batin<BR/>subjektif seniman.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-80862100893227817142009-03-27T21:22:00.000-07:002009-03-27T21:22:00.000-07:001.Periode Klasik (Aristoteles, gagasan Mimesis)Sal...1.Periode Klasik (Aristoteles, gagasan Mimesis)<BR/>Salah satu penggagas Yunani yang penting adalah Aristoteles, yang beranggapan bahwa keindahan suatu benda hakikatnya tercermin dari keteraturan, kerapihan, keterukuran, dan keagungan. Keindahan yang dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Bagi Aristoteles, karya seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih dibandingkan keindahan yang terjadi di alam, meskipun tidak tertutup terdapatnya karya seni yang lebih rendah daripada alam. Konsep mimesis (peniruan alam) kemudian menjadi ciri utama estetika Yunani dalam percaturan filsafat. Pendapat ini merupakan bias dalam menafsirkan pendapat Aristoteles. Aristoteles justru menyatakan “tragedi” ketika manusia harus meniru alam, atau meniru bentuk makhluk-makhluk di alam (“Puisi”, pasal 15 dan pasal 2). Beberapa karya seni memang menunjukkan “imitasi” alam yang membawa kebaikan, karena dibuat untuk memperbaiki sesuatu yang dinilai buruk. Melalui seni, manusia harus mampu membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sebenarnya. Menurut Aristoteles, ciri khas seni adalah kemampuannya membedah alam dan mengupas esensinya.<BR/>2.Periode Kritik (Beardsley, gagasan Relativisme)<BR/>Beardsley telah menerangkan bahwa di dalam masing-masing kriterium ada magnitudenya, “pentarafannya”. Yang menentukan tingginya taraf kehadiran mutu seni dari masing-masing kriterium dalam suatu karya seni adalah sang penilai sendiri. Di samping ketergantungan pada intuisinya, kemahiran masing-masing orang dalam mengukur kehadiran kriterium yang ditentukan ikut berperan. Dengan demikian, telah nyata bahwa sifat relativisme (kenisbian) dari segala penilaian sudah diperhitungkan dalam teori Beardsley.<BR/>3.Periode Postmodernisme (Derrida, gagasan Dekontruksi)<BR/>Dekontruksi dalam tradisi filsafat – terutama gagasan Derrida – berkeyakinan manusia hakikatnya berpikir melalui ‘jejak’ tanda dengan penafsirn subjektivitasnya. Artinya, appun yang dipikirkannya tidak terlepas dari ‘jejak-jejak’ masa lalu. Untuk mengamatinya, pengamat ‘diberi’ peran menafsirkan dan merekonstruksinya secara bebas.<BR/> VANIA KUMALASARI<BR/>2102407005<BR/>rombel 1Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-32245684012020982272009-03-27T01:25:00.000-07:002009-03-27T01:25:00.000-07:00Periode KlasikMimesis menurut Plato (428-348)Panda...Periode Klasik<BR/>Mimesis menurut Plato (428-348)<BR/><BR/>Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Pertama Yang Indah adalah benda material, umpamanya tubuh manusia dan jiwa. Kedua ada dalam Philebus. Bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana.<BR/>Pandangan Plato terhadap karya seni dalam Politeia (Republik) dalam penilaiannya ada dua unsur,yaitu teoritis dan praktis. Unsur teoritis menyatakan bahwa segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli. Karya seni merupakan tiruan dari "mimesis memeseos". Oleh karena itu, Plato menilai rendah karya seni. Tafsiran Plato tentang karya seni sebagai tiruan "mimesis" dari kenyataan yang ada di dunia ini tidak hanya jauh dari pandangan karya seni dewasa ini, tetapi sudah pada jaman Plato dan dalam karyanya sendiri tafsiran ini mengalami kesulitan.<BR/>Karya seni rupa dan sebagian karya sastra bisa ditafsirkan sebagai tiruan / mimesis dari kenyataan, tetapi karya seni musik amat sulit ditafsirkan sebagai tiruan.<BR/>Plato melawan karya sastra (umpamanya Homeros) dan seni drama, karena yang dipentaskan dan disyairkan hampir senantiasa hal-hal yang tidak baik dan tidak benar. Misalnya, tingkah laku kasar para dewa, bohong-membohong, bunuh-membunuh. Plato bersedia menerima keberadaan seniman dan penyair dalam negara yang ia idamkan, asal mereka menyajikan apa yang benar, baik, sopan dan adil, dan ikut mendidik rakyat.<BR/><BR/><BR/>ANIS HARTURI<BR/>2102407110<BR/>Rombel 04Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-77585577959041833812009-03-26T08:47:00.000-07:002009-03-26T08:47:00.000-07:00TEORI SEMIOTIKA Semotik (dari kata Yunani: ...TEORI SEMIOTIKA<BR/><BR/> Semotik (dari kata Yunani: semeion yang berarti tanda) adalah ilmu yang meneliti tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmu yang mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979: 6). Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bersifat representatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvesi tertentu. Konvensi yang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan menjadi tanda itu disebut juga tanda sosial. (Yosep Yapi Yaum, 1997: 40)<BR/><BR/> Meskipun kajian mengenai tanda dilakukan sepanjang abad, tetapi pengkajian secara benar-benar ilmiah baru dilakukan awalabad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama, tetapisama sekali tidak saling mengenal. Kedua sarjana tersebut adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1914). Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Pierce adalah ahli filsafat dan logika, tetapi disamping itu ia juga menekuni bidang ilmu kealaman, psikologi,astronomi, dan agama. Saussure menggunakan istilah semiologi (sebagai mzhab Eropah Kontinental), sedangkan Pierce menggunakan istilah semiotika (sebagai mazhab Amerika, mazhab Anglo Sakson). Dalam perkembangan berikut, istilah semiotikalah yang lebih populer.<BR/><BR/> Semiotika tidak hanya diterapkan dalam karya seni, tetapi dalam semua bidang kehidupan praktis sehari-hari, juga dalam mode show atau reklame, seperti tata busana, tata hidangan, perabot rumah tangga, asesori, seperti model, dan sebagainya.(Nyoman Kutha Ratna, 2007: 97-101)<BR/> Semiotikus kontemporer yang cukup berwibawa adalah Umberto Eco, lahir di Italia tahun 1932. pada dasarnya Eco menjadi terkenal melalui dua novelnya yang mempermasalahkan masa lampau yang berjudul The Name of The Rose dan Foucault Pendulum. Menurut Eco (1979:7) semiotika berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tidak harus eksis atau hadir secara aktual. Jadi, semiotika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Batu, sebagai semata-mata batubukanlah tanda, melainkan benda, material, tetapi apabila batu tersebut dimanfaatkan untuk mewakili sesuatu yang lain, misalnya, sebagai jimat, maka batu tersebut sudah berubah menjadi tanda.<BR/> Dengan adanya tanda-tanda sebagai ciri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia, dari komunikasi yang paling alamiah hingga sistem budaya yang paling kompleks, maka bidang penerapan semiotika pada dasarnya tidak terbatas. Eco menyebutkan beberapa bidang penerapan yang dianggap relevan, di antaranya:<BR/>semiotika hewan, masyarakat nonhuman,<BR/>semiotika penciuman,<BR/>semiotika komunikasi dengan perasa,<BR/>semiotika pencicipan, dalam masakan,<BR/>semiotika paralinguistik, suprasegmental,<BR/>semiotika medis, termasuk psikiatri,<BR/>semiotika kinesik, gerakan,<BR/>semiotika musik,<BR/>semitika bahasa formal: morse, aljabar,<BR/>semiotika bahasa tertulis: alfabet kuno,<BR/>semiotika bahasa alamiah,<BR/>semiotika komunikasi visual,<BR/>semiotika benda-benda,<BR/>semiotika struktur cerita,<BR/>semiotika kode-kode budaya,<BR/>semiotika estetika dan pesan,<BR/>semiotika komunikasi massa,<BR/>semiotika teks.<BR/>(Nyoman Kutha Ratna, 2007: 105-107)<BR/><BR/><BR/>chafid ibnu abdillah<BR/>2102407134<BR/>R.4Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/00116695995822703647noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-65600554366905547352009-03-26T05:07:00.000-07:002009-03-26T05:07:00.000-07:00Dewi Noverawati E2102407097Pend.Bhs.JawaRombel :4G...Dewi Noverawati E<BR/>2102407097<BR/>Pend.Bhs.Jawa<BR/>Rombel :4<BR/><BR/>Gagasan Baumgarten tentang Estetika<BR/><BR/>Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999)<BR/>Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.<BR/><BR/>Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah. Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu ‘indah’ dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Terhadap hal ini, tugas tugas yang diberikan pada perkuliahan Nirmana 3 Dimensi adalah bentuk bentuk yang memiliki nilai betul, walaupun pada beberapa tugas tertentu sebagian siswa dapat mencapai nilai indah.<BR/>Banyak pemikir Seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood.(Sutrisno,1993)Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-41220165734510000.post-76340438798940218822009-03-26T03:06:00.000-07:002009-03-26T03:06:00.000-07:00Menjelajahi Estetika dalam Ruang tanpa Batas MENDI...Menjelajahi Estetika dalam Ruang tanpa Batas<BR/> MENDISKUSIKAN estetika berarti membincangkan manusia dan kebudayaan, yang juga berarti membicarakan sesuatu yang kompleks. Seperti halnya manusia yang mengalami peralihan besar kebudayaan dari budaya modern ke arah budaya pos-modern, estetika juga mengalami peralihan besar dari estetika modernisme menuju pos-modernisme. Peralihan inilah yang kemudian menjadi perdebatan yang tak berkesudahan tentang estetika, khususnya perdebatan mengenai konsep, metode dan teori estetika.<BR/> Teori estetika baru lahir pertengahan abad ke-18 melalui pemikiran yang memisahkan estetika dari filsafat oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1750). Sejak kelahirannya, teori estetika telah melalui jalan panjangnya yang berliku-liku dengan warna dan semangat zamannya hingga hari ini. Di era modern misalnya, estetika dipandang sebagai sesuatu yang terbebas dari segala determinasi di luar dirinya. Ia adalah sesuatu yang otonom, artinya bentuk estetik (sastra, seni) harus memutuskan dirinya dari realitas sosial, dan secara murni bergelut dengan persoalan-persoalan formal; pemisahan seni tinggi dan rendah, yang estetis adalah seni tinggi.<BR/> Berbeda halnya di era pos-modernisme yang menolak adanya oposisi biner dalam bentuk-bentuk estetis, tidak ada seni tinggi atau seni rendah. Dalam pandangan ini, bentuk-bentuk estetika tidak lepas dari persoalan-persoalan di luar dirinya. Di dalamnya, bermain tanda-tanda yang penuh dengan persoalan sosial politik. Sastra dan seni tidak lagi dapat dipahami hanya dengan mengadakan analisis teks saja, tetapi analisis konteks juga sangat diperlukan untuk mengungkap makna-makna ironis yang terselubung.<BR/> Untuk melacak perjalanan atau periodisasi estetika secara lengkap dan runut memang sangat sulit dilakukan. Meskipun demikian, ia dapat dilacak melalui tokoh-tokoh yang telah menggali berbagai konsep tentang estetika dalam periodenya masing-masing. Hal inilah yang telah dilakukan oleh Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. melalui bukunya yang berjudul “Estetika Sastra dan Budaya” ini.<BR/> Ia telah membawa pembaca menjelajahi estetika dari periode modern ke pos-modern, dari Barat ke Timur, dari estetika dalam sastra ke estetika budaya. Buku ini adalah buku yang keempat yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Pelajar. Ketiga buku sebelumnya berjudul “Paradigma Sosiologi Sastra” (2003), “Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif” (2004), dan “Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta” (2005).<BR/><BR/>Perkembangan Periode Modernisme<BR/>Oleh Sussane Langer<BR/><BR/> Sussane Langer menyelidiki bagaimana kesenian bisa berfungsi di dalam dunia estetika kita. Ia mengatakan bahwa apa yang disajikan kesenian kepada kita hanya”ilusi” atau “bayangan”, artinya bukan sesungguhnya. Bukan hanya apa yang kita lihat pada waktu meniikamati keindahan lukisan, tetapi juga apa yang kita nikmati alam keindahan musik, atau perasaan indah sewaktu membaca{seni sastra} dianggap bayangan belaka. Di sini lagi dipergunakan kata yang menjebak. <BR/> Menurut Sussane Langer kesenian adalah penciptaan wujiud-wujud yang berupa simbol dari perasaan manusia. Dalam kata lain: yang dituangkan oleh seniman dalam karyanya adalah simbol dari perasaannya, sesuatu yang mewakili perasaannya. Tergantung dari sang pengamat apakah dia bisa mengartikan simbol itu, mengerti apa yang dimaksud oleh pencipta.<BR/><BR/>ARIE IKHA SAFITRI<BR/><BR/> 2102407060<BR/>R 3Anonymousnoreply@blogger.com